Meneladani Keluarga Nabi Ibrahim

oleh

Oleh : Zarkasyi Yusuf*

Pandemi menyebabkan dua kali jamaah haji Indonesia tidak dapat menunaikan ibadah haji, gagal berangkat menuju dua tanah haram (haramain). Semoga Allah berikan pahala haji mabrur bagi mereka yang gagal berangkat menunaikan ibadah haji. Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawi dalam Hikmatut tasyri wa falsafatuh menyebutkan bahwa salah satu hikmah pelaksanaan ibadah haji adalah sebagai media pembersih akhlak.

Argumen beliau, andai seorang jamaah haji melakukan dosa misalnya, maka orang orang di sekitarnya akan mengingatkan atau mencelanya karena menurut mereka, ia seorang haji yang tidak patut melakukan perbuatan salah (dosa). Jika direnungi, rangkaian (rukun, wajib dan amalan sunnat) dalam ibadah haji adalah napak tilas perjalanan kehidupan Nabi Ibrahim a’laihissalam.

Salah satu peristiwa besar dalam perjalanan hidup Nabi Ibrahim adalah penyembelihan (qurban) Nabi Ismail. Dalam penyembelihan Nabi Ismail (qurban), sebagaimana dijelaskan dalam kitab hikmatut tasyri wa falsafatuh bahwa Nabi Ibrahim telah menunjukkan ketaatan totalitas kepada Allah sebagai al-Khaliq, sekalipun beliau harus menyembelih anak tercinta.

Nabi Ibrahim, isteri dan anaknya adalah keluarga yang telah mampu membuktikan rasa cintanya kepada Allah, rela berkorba demi menunaikan perintah Allah, sehingga Nabi Ibrahim dijuluki dengan khalilullah (mencintai dan dicintai Allah). Sejatinya, kisah keluarga Nabi Ibrahmi dapat menjadi teladan bagi keluarga kita. Ada tiga hal yang perlu diteladani dari perjalanan hidup keluarga Nabi Ibrahim.

Pertama, Mendidik anak saleh. Nabi Ibrahim menginginkan keturunannya menjadi keturunan yang saleh, keinginannya ini diutarakan kepada Allah melalui doa Rabbi habli minasshalihin (as-shaffat, ayat 100). Kemudian lahirlah anak laki laki yang diberi nama Ismail, didikan Nabi Ibrahim mengantarkan Ismail tumbuh menjadi anak yang saleh.

Kesalehan Nabi Ismail terbukti ketika Nabi Ibrahim mengutarakan keinginan menyembelih Ismail sebagai konsekuensi dari menjalankan perintah Allah.

Nabi Ismail menjawab, “Wahai Ayah, silahkan Engkau kerjakan apa yang telah diperintahkan Allah, insya Allah Ayah akan mendapati saya menjadi bahagian dari orang-orang yang sabar” (as-shaffat, ayat 102). Sungguh jawaban luar biasa, padahal pada saat itu Nabi Ismail paham benar bahwa yang dipertaruhkan adalah nyawa.

Ini membuktikan bahwa Nabi Ismail adalah anak saleh, patuh kepada orang tuanya dan taat kepada Allah. Dalam durratun nasihin dan qishashul al-anbiya dikisahka bahwa Nabi Ismail memberikan pesan yang mendorong semangat Nabi Ibrahim dalam melakukan tugas beratnya, serta pesan keteguhan kepada Ibundanya.

Usaha untuk memperoleh anak saleh sejatinya menjadi program prioritas dalam kehidupan, hanya anak saleh penerus untuk melanggengkan tradisi-tradisi kebaikan dan kesalehan. Usaha melahirkan anak saleh dimulai dari do’a agar Allah anugerahkan anak anak saleh serta selektif dalam memilih pasangan hidup, dalam hadist Rasulullah SAW berpesan agar mengutamakan faktor agama (ad-din) dalam memilih pasangan hidup, ini akan menjadi salah satu jalan melancarkan upaya mendidik anak anak saleh.

Bagi calon pengantin, perkawinan hendaknya tidak hanya melepaskan keinginan hawa nafsu semata, tetapi hendaknya perlu niat yang kuat untuk mencari keturunan yang saleh, keturunan yang siap mengabdikan diri kepada Allah serta taat kepada orangtuanya, sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi Ismail.

Seiring kemajuan zaman, tentu tidak mudah mendidik generasi penerus menjadi anak saleh, apalagi sifat hedonisme yang semakin merasuki jiwa jiwa manusia.

Sebahagian orang berpendapat bahwa pendidikan agama bagi anak tidak terlalu penting, sehingga tidak sedikit orang tua yang khawatir anaknya tidak lancar membaca, tidak mahir matematika, tidak lancar berbahasa inggris.

Padahal pendidikan Agama adalah modal untuk membentuk anak-anak yang saleh. Orang tua (Ayah dan Ibu) seharusnya menjadi tauladan dan model dalam kebaikan bagi anak-anak. Pasti tidak mungkin anak perempuan akan menjaga auratnya, jika Ibunya mempertontonkan auratnya.

Mustahil seorang anak laki laki akan selalu menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah, jika Ayah masih meninggalkan shalat. Dua gambaran ini mungkin persoalan sederhana, tetapi memberikan dampak dalam proses pembentukan anak-anak shaleh. Terkait hal ini, Petuah Aceh mengingatkan “kiban u meunan minyeuk, kiban ma meunan aneuk. Meunyoe tatuoh peulaku, boh labu jeut keu asoe kaya”. Petuah ini bermakna bahwa orang tua menjadi cermin bagi anak-anaknya.

Kedua, teladan lain dari Nabi Ibrahim adalah keluarga yang bersatu dalam ketaatan dan kerelaan berkorban di jalan Allah. Ketika Ibrahim dan keluarganya sepakat merelakan anak tersayang disembelih demi menunaikan perintah Allah. Iblis melancarkan berbagai macam manuver, Iblis menggoda Nabi Ibrahim sendiri, Hajar isteri beliau serta Nabi Ismail.

Akhirnya, Nabi Ismail dan Ibundannya rela dengan ketentuan Allah dan mempersilahkan Nabi Ibrahim menunaikan tugasnya, sungguh keluarga luar biasa. Bersatu dan sepakat untuk berkorban demi mengharap ridha Allah adalah identitas yang mulai langka dan ditinggalkan apalagi dengan kehidupan masyarakat yang materialistis, semua dilakukan mengharap pamrih, semua dihitung dengan materi, semua diukur dengan nilai nominal.

Keengganan berkorban di jalan Allah merupakan penyakit yang diderita oleh kaum muslim, inipun menjadi salah satu faktor penyebab ummat Islam mundur, demikian analisa Amir Syakib Arsalan dalam limaza taakhara al-muslimun wataqaddama ghairuhum (mengapa orang-orang Islam mundur, dan orang-orang non islam maju).

Analisa ini meski ditulis pada tahun 1930-an tetapi masih sangat relevan dengan kondisi masyarakat sekarang, masyarakat yang mulai menilai seolah-olah Allah tidak lagi berperan dalam setiap kehidupan mereka. Revitalisasi semangat yang ditunjukkan keluarga Nabi Ibrahim menjadi keniscayaan, sebab keluarga adalah bahagian terpenting dalam komunitas masyarakat.

Dalam catatan sejarah, spirit pengorbanan demi mendekatkan diri kepada Allah telah membuahkan hasil gemilang dan kemenangan. Sebagai contoh, Abu Bakar As-Siddiq rela menyerahkan seluruh hartanya untuk modal perang, Ali bin Abi Thalib siap tidur pada tempat tidurnya Rasulullah saat peristiwa hijrah terjadi, Rabiah Al-Adawiyah rela tidak menikah, serta sanggup shalat sunnat ratusan rakaat demi mencari keridhaan Allah, tentu masih banyak lagi contoh-contoh mereka yang sukses dengan modal pengorbanan demi mencari keridhaan Allah.

Ketiga; Tiba hari 10 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim mengutarakan mimpi yang selama ini dipendamnya, “Anakku, Allah perintahkan Ayahmu ini untuk menyembelih dirimu, bagaimana pendapatmu?”. Sebenarnya, boleh saja Nabi Ibrahim tidak meminta pendapat anaknya, sebab itu adalah perintah Allah yang wajib dijalankannya. Tetapi, Nabi Ibrahim tetap mengutarakannya serta meminta pendapat Ismail atas perinta tersebut. Inilah pelajaran yang diajarkan Nabi Ibrahim untuk anak cucunya, pelajaran tersebut adalah musyawarah.

Musyawarah berasal dari kata syawara, kata ini dalam berbagai bentuknya dalam al-Qur’an terulang sebanyak tiga kali dengan pola yang berbeda, yaitu tasyawur, syawir dan syura. Secara keseluruhan, tiga pola kata tersebut memiliki makna yang sama, yaitu bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan.

Dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang musyawarah baik secara tekstual maupun kontekstual, diantaranya al-Baqarah/2: 233, Ali ‘Imran/3: 159, al-Syua’ra/42:38, Baqarah/2: 30, Yūsuf/12: 8-10, dan QS al-Naml/27: 29-35. Musyawarah merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, pada prinsipnya musyawarah mencakup semua lingkungan kehidupan manusia.

Petunjuk yang diisyaratkan al-Qur’an dengan mudah dapat dipahami bahwa perintah menjalankan musyawarah ditujukan kepada semua orang. Musyawarah telah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW, Beliau sering melakukan konsultasi dengan sahabat-sahabat senior, terutama dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sosial-keagamaan.

Praktik musyawarah yang dirintis oleh Rasulullah semakin mendapatkan tempatnya secara konstitusional ketika beliau hijrah ke Madinah.

Dewasa ini, musyawarah telah banyak diabaikan, sehingga banyak persoalan tidak dapat diselesaikan, malah terjadi pertentangan yang berlarut-larut yang berakibat rusaknya ukhuwah. Allah memerintahkan untuk selalu melakukan musyawarah pada setiap pekerjaan, musyawarah tentu menjadi landasan kuat dalam melaksanakan kegiatan, kekuatan dan kebersamaan akan timbul dengan bermusyawarah, tidak akan pernah rendah orang yang menerima pendapat orang, tidak akan miskin orang yang memberikan nasehat/pendapat kepada orang lain.

Musyawarah adalah indikator kehidupan sosial yang masih langgeng, jika musyawarah terus diabaikan maka kelanggengan kehidupan bermasyarakat akan terancam, hadih maja mengajarkan “meunyoe tatem duek-pakat, lampoh jeurat jadeh tapeugala”, demikian gambaran kekuatan musyawarah.
Sekarang, bagaimana menerjemahkan keteladanan keluarga Nabi Ibrahim dalam kehidupan kita.

Sehingga akan terbentuk keluarga-keluarga hebat, keluarga yang sanggup mengabdikan seluruh kemampuan untuk mencari keridhaan Allah. Masyarakat yang hebat terbentuk dari kumpulan keluarga keluarga hebat pula. Untuk itu, jagalah keluarga kita dengan meneladani keluarga Nabi Ibrahim.

*ASN Pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.