Covid -19 Itu Nyata, Jangan Dibuat Bercanda

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Ketika Covid – 19 mulai merebak dan heboh di media pada tahun 2019 silam, saya ada di Bali yang merupakan pintu paling aktif untuk keluar masuk orang asing ke Indonesia.

Pada waktu kasus aktif Covid – 19 di Wuhan meledak. Tepat malam, satu hari sebelum semua turis Tiongkok di Bali ditarik pulang. Saya sepulang mengantarkan Lintang, salah satu anak kembar saya latihan panjat tebing, berada di Carrefour, Sunset Road, supermarket langganan para turis asal Tiongkok.

Berada di supermarket itu. Di sepanjang lorong dan koridor, kami berpapasan dengan para turis asal Tiongkok yang satupun tak memakai masker. Gencarnya pemberitaan tentang bahaya virus Corona waktu itu membuat Lintang anak saya, was-was berada di tempat itu.

Waktu itu, Corona benar-benar seperti momok. Saya sendiri merasa ajaib, dalam situasi itu tidak tertular (atau mungkin sudah tertular tapi karena imun bagus, tak terlihat gejalanya)

Setelah itu, karena tuntutan pekerjaan, saya masih beberapa kali terbang ke luar dari Bali, (kebanyakan ke Jakarta) yang semuanya tentu saja harus dengan mengikuti standar prokes. Waktu itu, syarat terbang harus diperiksa darah, jadi kedua tangan saya sudah bolong di mana-mana karena selalu harus ambil darah tiap kali mau terbang.

Saat itu, berita tentang berbagai daerah di Indonesia yang masyarakatnya cukup parah terpapar Covid sedang marak di media. Bali salah satu yang menjadi sorotan.

Di saat yang sama, di beberapa grup WA dan laman facebook yang mempromosikan pentingnya ghirah beragama, banyak menampilkan informasi tentang Aceh, tempat kelahiran saya yang katanya masyarakatnya sangat religius, taat beragama, tak tersentuh Covid – 19, meski mereka tak menerapkan protokol kesehatan, tetap rajin shalat berjamaah dan seterusnya.

Ditambahi berbagai bumbu-bumbu dari orang yang pernah berkunjung ke Aceh, yang mengatakan kalau orang Aceh makanannya segar, sayur organic dan ikan segar dari laut yang dilimpahkan Allah karena orang Aceh taat beragama. Intinya, saat itu banyak sekali cerita tentang Aceh ini, yang intinya mengatakan, kalau ingin selamat dari wabah Corona, tidak perlu itu segala prokes, cukup taat pada Allah dan rajin beribadah seperti orang Aceh.

Dan cerita ini tidak hanya berkembang di Indonesia, bahkan di berbagai grup medsos di Malaysia pun, cerita ini sangat laku dijual dan disambut dengan gegap gempita oleh orang-orang yang sangat tinggi ghirah beragamanya.

Sementara, sampai saat ini saya masih belum tertular.

Kemudian saya pulang ke Takengen, dan di sinipun mobilitas saya masih lumayan tinggi. Saya masih sering ke Banda Aceh, Medan atau Jakarta.

Sebelum Ramadhan, dari Takengen saya berangkat ke Jakarta untuk urusan pekerjaan dan berada di ibukota RI ini selama sebulan.

Saat itu Jakarta sedang santer disebut-sebut sebagai daerah yang parah dihantam Covid – 19. Di sana saya yang kemana-mana naik moda transportasi umum, mulai dari MRT, Trans Jakarta sampai Commuter. Untuk MRT, karena prokes diterapkan sangat ketat, sejak mulai masuk ke stasiun dan di dalam gerbong. Memang kecil kemungkinan untuk tertular.

Tapi untuk Transjakarta apalagi Commuter Line, di waktu-waktu traffic tinggi, meski tempat duduk dijarangkan, setegah dikosongkan tak boleh diduduki dua orang berjejer, tapi yang berdiri tetap berhimpitan. Waktu pulang kerja di halte pusat Manggarai, meski sebisanya menerapkan prokes, tapi kadang berhimpitan dan berdesakan tak bisa dihindari. Kalau Commuter Line, tidak usah cerita lagi, di jam-jam sibuk di stasiun-stasiun ramai seperti Tanah Abang, Depok dan Bogor, nggak usah cerita lagi bagaimana berimpitannya untuk sekedar bisa mendapatkan ruang.

Cuma begitupun, saya belum tertular.

Sampai saya pulang ke Takengen, bolak-balik beberapa kali ke Banda Aceh, bahkan sempat main bola lagi setelah gantung sepatu selama 13 tahun akibat cedera lutut. Saya belum tertular. Entah mungkin sebenarnya saya sudah tertular, tapi karena imun saya masih bagus, gejalanya tidak tampak.

Sampai kemudian ketika saya sudah berada di Takengen selama kurang lebih 10 hari. Selama 10 hari itu, cuaca tidak menentu, saya yang biasanya rutin lari sejauh 7 kilometer per hari di Musara Alun, selama 10 hari itu tidak pernah olahraga sama sekali. Tidur juga sering larut malam dan makan juga tidak teratur.

Sementara itu, saya tetap bertemu dengan kawan-kawan, di warung kopi. Beberapa menjaga prokes, tapi lebih banyak lagi yang tidak.

25 Juni 2021, tepat sehari setelah hari ulang tahun saya ke 47, malam itu saya merasa menggigil, biasanya cukup satu selimut, ini. Sege, kata orang Gayo.

Saya pikir itu hanya flu biasa, saya beli obat flu yang dijual bebas di kede di depan rumah. Gejala flu-nya mereda. Badan saya lebih enak, malamnya saya pergi ke Banda Aceh.

Di Banda Aceh, badan tetap tidak enak dan saya tetap mengkonsumsi obat flu yang dijual bebas. Biasanya, kalau saya minum obat itu, paling lama dua hari gejala flu langsung hilang. Apalagi ini, saya sudah dua tahun lebih tidak pernah sakit, bahkan sekedar pilek, jadi biasanya minum obat itu langsung sembuh.

Tapi ini di Banda Aceh, saya belum merasakan kesembuhan. Tinggal di Ulee Kareng, di rumah adik saya, saya yang biasanya tidur kepanasan melepas baju kalau ruangan tidak ber-AC malah harus tidur mengenakan jaket tebal ala Takengen. Kepala saya pusing, selera makan hilang, makan satu piring nasi saja sudah perjuangan berat, karena rasanya ingin keluar.

Persendian saya mulai sakit, badan rasanya seperti dipukuli orang sekampung. Beberapa hari kemudian, saya mulai diare dan tiap malam mimpi buruk, saya merasa seperti didatangi dua kelompok orang. Satu kelompok ingin membunuh saya dan satu lagi ingin menyelamatkan.

Saya mencoba menghilangkan mimpi buruk itu dengan cara memikirkan hal-hal lain yang sama sekali tidak berkaitan, tapi tidak berhasil, mimpi buruk itu tetap datang dengan variasi scene dan waktu yang berbeda-beda.

Menyadari keadaan seperti itu, saya memilih pulang ke Takengen. Dalam angkutan yang saya tumpangi, saya sebisa mungkin untuk tidak melepas masker saya sepanjang perjalanan. Takut kalau-kalau saya sebenarnya terkena Covid dan menulari penumpang lain. Untuk tempat duduk sendiri, saya memilih tempat duduk yang terisolasi sendirian di belakang. Untungnya, tidak begitu banyak penumpang hari itu.

Sebelum sampai di Takengen, karena sudah curiga kalau saya terpapar Covid-19, saya menelpon adik saya untuk menyiapkan rumah kosong yang biasanya kami gunakan untuk masak-masak untuk besinte, sebagai tempat untuk saya tidur malam itu. Saya takut menulari ayah saya yang sudah berusia 74 tahun dan belum divaksin dan juga anak-anak di panti asuhan yang kami asuh di kampung Dedalu.

Tiba di rumah itu, sekitar pukul 4 pagi, keadaan saya sudah payah. Saya ambil kunci di tempat yang adik saya sebutkan dan masuk ke rumah, langsung menuju ranjang dan mencoba tidur, tapi tidak bisa. Saya menggigil kedinginan meski sudah tidur pakai jaket tebal dan dua lapis selimut.

Di rumah itu, karena saya katakan, saya sudah mulai susah bernafas. Adik saya sudah menyiapkan satu tabung oksigen dan alat penguapan nebula .

Ketika hari sudah terang, adik saya membelikan nasi gurih untuk sarapan yang diletakkan di meja di luar rumah. Dua jam lebih saya coba makan, saya hanya mampu menghabiskan seperempat porsi sarapan favorit saya ini. Pagi itu juga saya menyadari kalau daya penciuman saya sudah hilang sama sekali.

Melihat keadaan saya melalui video call, adik saya akhirnya memutuskan untuk membawa petugas medis untuk melakukan test SWAB kepada saya. Sekitar pukul 10.00 pagi, petugasnya datang dan tak perlu waktu lama, hasil test-nya langsung keluar dan benar, saya sudah terpapar Covid -19.

Saya bolak-balik datang ke dan tinggal di daerah yang parah terpapar Covid-19, Bali yang dipenuhi turis asal Tiongkok di awal pandemi, Jakarta yang tinggal penularannya paling tinggi. Semua bisa saya lewati.

Tapi, justru di Takengen, kota yang sejuk di ketinggian 1250 meter dari permukaan laut tempat di jantung Provinsi Aceh, yang penduduknya tak lebih banyak dari Ubud plus Gianyar, di kota yang selama dua tahun terakhir bisa dikatakan hampir tak pernah disinggahi warga asing inilah saya terpapar Covid -19 yang menjadi momok bagi semua orang, sejak sekitar dua tahun belakangan ini.

Petugas yang sama kemudian memeriksa Saturasi (kadar oksigen dalam darah) saya dan keluar angka 89. Karena berdasarkan pengalaman, orang yang selamat melewati serangan Covid biasanya adalah orang-orang yang memiliki saturasi di atas 92 dan usia di bawah 60 tahun. Sementara saturasi saya sudah di bawah itu, tanpa pikir panjang keluarga memutuskan untuk membawa saya ke rumah sakit. Sebab kalau diisolasi mandiri, oksigen yang dipasok dari tabung oksigen di tempat kami tidak akan mampu menaikkan saturasi saya.

Tak lama kemudian, terdengar raungan ambulance, saat ambulance itu dua orang petugas dengan APD lengkap menjemput dan membawa saya masuk kendaraan khusus orang sakit ini.

Dari Dedalu, dengan raungan sirene dan melaju dengan kecepatan tinggi, ambulance langsung menuju ke RSU Datu Beru di Kebayakan.

Tiba di Datu Beru, karena jadwal test PCR hari itu sudah berakhir. Di sana dada saya di rontgen, lalu saya yang secara medis statusnya masih “suspect Covid-19” dimasukkkan ke ruang perawatan transisi. Hanya satu ruangan tersisa, ruang nomer 4, nomer yang sangat dihindari oleh orang Tionghoa, Jepang dan Korea karena dianggap pembawa sial karena dalam huruf kanji angka itu berarti Mati.

Ruangan ini terletak di pojok kiri ruang Melur yang tadinya sebelum Covid -19 meledak di Aceh Tengah adalah ruang perawatan penyakit dalam pria. Ruang yang saya tempati ini tepat di depan pintu keluar yang langsung berhadapan dengan mesjid RSU.

Di sini saya diberikan oksigen terus menerus, diinfus, diberi infus paracetamol untuk mengurangi gejala demam, ditambah beberapa suntikan obat yang saya tidak paham apa.

Setelah menerima beberapa tindakan medis, melalui injeksi dan berbagai macam obat yang diminum, mulai dari penambah nafsu makan, vitamin, anti mual sampai pereda rasa sakit, saya mulai merasa agak mendingan.

Tapi, tengah malam saya terbangun dan rasa sakit di kepala mulai menyerang kembali, saya kembali menggigil.

Adik saya memberi saya paracetamol, sedikit membantu tapi saya tetap menggigil. Saya mencoba memejamkan mata, beberapa kali berhasil, tapi begitu mata terpejam. Mimpi buruk yang sama seperti yang sudah saya alami sekitar seminggu datang kembali, membuat saya tidak bisa tidur dengan tenang.

Malam berikutnya saya mendapat perawatan dengan infus paracetamol yang lebih banyak, agak mendingan, tapi krisis belum lewat.

Sementara itu, kadar saturasi saya masih belum stabil. Pernah mencapai 97, tapi kemudian turun lagi ke 90 bahkan 89.

Hari selasa 5 Juli 2021, jadwal tes PCR di Datu Beru, saya dites dan dipastikan kalau saya memang terpapar Covid – 19, lalu saya pun dimasukkan ke ruang isolasi di ruang Melur lantai dua. Dan saudara-saudara, kamar yang saya dapat adalah kamar nomer 14.

Di ruangan inilah saya menghabiskan waktu sampai sembilan hari kemudian untuk pemulihan. Beberapa pasien yang masuk di hari yang sama dengan saya, satu per satu mulai meninggalkan ruang isolasi.

Sementara saya, meski sudah tidak demam, diare, mimpi buruk dan kemampuan indera penciuman sudah mulai kembali, tapi merasakan kesulitan bernafas tiap melakukan kegiatan fisik sekecil apapun, sebut misalnya ke kamar kecil. Yang paling berat itu, selepas bangun dari sujud. Nafas langsung terengah-engah.

Ternyata menurut dokter yang memeriksa, virus Covid-19 sudah menyerang paru-paru saya.

Kemudian dokter menyuruh saya untuk lebih aktif berjalan-jalan. Maka sayapun jalan mondar-mandir di ruang isolasi, yang saya hitung dengan Pacers, aplikasi penghitung langkah di smart phone, hari itu saya berjalan sejauh 1,3 km.

Setelah melakukan apa yang diminta dokter, saya merasa agak mendingan dan akhirnya 14 Juli 2021, saya diperbolehkan pulang untuk melanjutkan isolasi mandiri.

Dari pengalaman ini, seburuk apapun. Saya merasa diri saya masih sangat beruntung karena, ketika saya benar-benar membutuhkan, ketika saturasi saya drop sampai 89 dan tingginya tingkat penularn Covid 19 di Aceh Tengah yang membuat pasien membludak, saya masih berhasil mendapatkan satu tempat di ruang perawatan rumah sakit Datu Beru, sehingga saya masih bisa mendapatkan pasokan oksigen untuk meningkatkan saturasi saya.

Seandainya saat itu rumah sakit penuh,atau seandainya saya tinggal di Jamat, Pamar atau Samarkilang, bukan di Dedalu yang hanya sepelemparan batu dari RSU Datu Beru. Jelas, hari ini anda semua tidak akan pernah membaca tulisan ini, karena sejak dua belas hari yang lalu, grup WA, beranda media sosial milik kerabat dan sahabat saya sudah dipenuhi ucapan “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun”, “Semoga khusnul khatimah” “Semoga dilancarkan, dilapangkan, diampunkan dan ditempatkan di tempat yg baik di sisi Allah”, “Semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan serta keikhlasan” , “RIP” , “Amor ing acintya” dan berbagai stiker artistik bernada simpatik dengan emoticon sedih.

Terakhir, saat tulisan ini saya buat, saya baru saja mendapat kabar duka. Kolonel Paskhas TNI AU Yasir Arafat, sahabat saya di UKM PA Leuser Unsyiah yang terpapar Covid dan masuk ruang perawatan di waktu yang bersamaan dengan saya, tidak berhasil melewati krisis dan hari ini sahabat saya ini menghembuskan nafas terakhir di RSAU Halim Perdana Kusumah. Innalillahi wa Inna Ilaihi Rajiun, selamat jalan kawan.

Jadi para pembaca LintasGayo.co yang budiman, apa yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini adalah “Covid – 19 itu nyata” tidak usah SOK BAB di hadapan makhluk satu sel ini. Tetaplah taati prosedur kesehatan. Sebab bisa jadi saat ini anda beruntung imun sedang bagus, sehingga ketika terpapar pun tidak ada gejala. Tapi bagaimana kalau di rumah, adik, anak, kakak, bapak atau ibu anda kebetulan imunnya sedang turun seperti saya. Bagaimana kalau dalam situasi itu ternyata rumah sakit sedang penuh? Sanggupkah anda memperjudikan hidup dengan taruhan semahal itu? []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.