“Berkiek” Menu Khas yang Hanya Ada Di Aceh

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Sejak masih kecil, ketika saya pertama kali mengingat melakukan perjalanan bis antar kota. Tiap kali berhenti di warung makan di Bireun.

Lauk ini adalah sejenis burung. Orang Aceh menyebutnya “Berkiek” dan orang Gayo menyebutnya “Bleseken”.

Sampai hari ini ketika saya melakukan perjalanan darat di Aceh, saat angkutan yang saya tumpangi berhenti di warung makan, lauk ini selalu saya tempatkan di prioritas pertama. Setelah itu baru sate matang di prioritas kedua.

Soalnya, lauk ini hanya bisa saya temukan di Aceh.

Memang kalau saya sedang rindu dengan rasa makanan khas Aceh di luar sana, saya bisa saja mengunjungi warung-warung di kota-kota seperti Jakarta, Medan, Jogjakarta atau Surabaya, bahkan Bali. Tapi menu burung ini tidak akan mungkin bisa saya temukan.

Soalnya kata ayah saya “Berkiek” bukanlah jenis burung yang diternakkan, melainkan didapat dari alam liar. Kata ayah saya yang di masa mudanya bekerja sebagai sopir bis antar kota, burung yang ukurannya sekitar separuh ukuran burung merpati ini adalah sejenis burung hama pengganggu di sawah.

Kurang lebih seperti burung Pipit yang dulu waktu saya masih tinggal di kampung Fajar Harapan, sering kami tangkap bersama Mulya Di Gayo untuk dijadikan lauk. Cuma ukuran burung Pipit jauh lebih kecil.

Saya sendiri, sampai di usia yang yang sudah 47 tahun, sama sekali belum pernah melihat burung ini dalam keaadaan hidup. Tapi kalau cerita ayah saya benar, bahwa burung ini adalah burung yang didapat dari alam liar, ini luar biasa mengagumkan.

Kenapa? Ini karena sejak saya baru bisa mengingat, pasokan burung ini terus ada. Warung-warung Aceh di sepanjang jalan antara Takengen – Banda Aceh dan Takengen – Medan, masih konsisten menyediakannya dengan harga yang masuk akal. Artinya, pasokan burung ini masih lestari di alam liar. Saya bandingkan dengan burung Pipit kepala putih yang nyaris tak pernah terlihat lagi.

Bandingkan dengan ikan depik yang dulunya adalah lauk masyarakat kelas bawah yang sekarang sudah berubah menjadi makanan mewah, karena harganya melambung tinggi akibat kelangkaan di alam liar.

Di warung-warung makan khas Aceh, burung “Berkiek” ini hanya disajikan dengan satu cara, digoreng kering, tanpa kulit. Sehingga tulang kaki, leher dan sayapnya menjadi crispy dan bisa langsung dikunyah bersama dagingnya yang memberi rasa yang khas.

Ajaibnya, sejauh ini, setiap saya makan burung ini di warung Aceh manapun, rasanya tetap sama. Tidak ada di warung satu garamnya kurang, di warung lain gorengnya kurang kering dan seterusnya. Dari saya kecil sampai sekarang, di manapun saya makan burung ini, entah itu di Pante Raya, Singah Mulo, Bireun atau Sigli, rasanya tetap sama.

Seperti hari ini, ketika Hi-Ace yang saya tumpangi dari Takengen menuju Banda Aceh, berhenti di sebuah warung makan di Pidie, melihat menu ini tersaji di rak, saya langsung mengambilnya tanpa berpikir dua kali.

Kalau saya makan lauk ini, biasanya satu-satunya yang tersisa hanyalah tulang dadanya, karena meskipun tulang dada ini termasuk yang paling tipis dibandingkan tulang-tulang lain, tapi tulang ini dilindungi daging dada yang tebal, sehingga tidak bisa menjadi krispi ketika digoreng.

Setiap kali menyantap lauk ini, saya seolah dibawa kembali ke masa lalu, ketika saya masih kecil, ketika makan di warung makan dan melakukan perjalanan antar kota adalah sebuah kemewahan yang hanya terjadi satu atau dua kali setahun.

Karena sudah lama tinggal di luar Aceh, saya pribadi berharap burung ini terus lestari, tidak seperti warung-warung khas Aceh kelas kaki lima di Banda Aceh yang sudah punah digantikan Ayam Penyet, Warung Burger dan Pecel Lele.

Sehingga, ketika orang seperti saya yang kembali setelah meninggalkan daerah ini dalam waktu lama, bisa kembali ke memori masa lalu, dan mengingatkan bahwa sejauh apapun kami terbang, akar kami tetap di sini. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.