Catatan Jumat : Mahbub Fauzie*
Islam adalah agama ‘langit’ yang ‘membumi’. Agama samawi yang kehadirannya dibawakan oleh Rasulullah Muhammad SAW untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Dalam Al Quran surat Al Anbiya ayat 107, Allah SWT berfirman yang artinya “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”.
Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, “Seorang Muslim itu adalah orang yang orang-orang Muslim lainnya merasa aman dari (kejahatan) lisan dan tangannya.”
Di Hadits lain, juga masih dalam riwayat Bukhari juga diceritakan bahwa, “Seseorang bertanya kepada Nabi, apakah (amalan-amalan) yang baik di dalam Islam? Nabi menjawab: engkau memberikan makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan kepada orang yang engkau tidak kenal.”
Selain itu, dalam hadits riwayat An-Nasa’i, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Seorang muslim itu adalah orang yang orang-orangnya manusia lainnya merasa aman (kejahatan) lisan dan tangannya dan orang mukmin adalah orang yang manusia lainnya merasa aman atas darah (jiwa) dan harta mereka.”
Dari tiga hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam sebagai agama secara normatif memastikan terwujudnya kedamaian dan keselamatan seluruh umat manusia, dan orang muslim tidak lain adalah mereka yang mewujudkan nilai-nilai luhur dan kebajikan dalam hidup dan kehidupannya.
Muslim yang baik, selain taat kepada Allah SWT dengan ibadah mahdahnya juga baik dalam kehidupan sesama manusia. Terlebih lagi dengan sesama Muslim, harus lebih baik jalinan kemanusiaannya (habluminannas).
Beruntunglah menjadi orang Islam yang sekiranya bisa membumikan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari dengan selalu berpedomankan kepada firman Tuhan Allah SWT dalam Al-Qur’an dan ajaran Rasululllah Muhammad SAW sebagaimana termaktub dalam hadits Nabi.
Diyakini, bahwa orang-orang Islam yang Mukmin dan berderajat Muttaqin adalah orang-orang yang istiqamah menjalankan perintah-perintah Allah SWT serta ikhlas menjauhi larangan-Nya. Amalan-amalannya selalu bernilai kebaikan, baik dalam praktik ibadah kepada Allah SWT (habluminallah) maupun dalam efek pergaulan sosial kemanusiaan (habluminannas).
Tidak elok sekiranya menjadi orang Islam yang terlihat taat beribadah seperti rajin mengerjakan shalat, puasa, haji dan ibadah mahdah lainnya; namun ternyata ‘rusak’ dalam hubungan sosial kemanusiaannya. Terlihat necis dengan kealimannya, tapi lalim dalam tatanan masyarakatnya.
Hal inilah yang barangkali pernah digambarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam haditsnya tentang orang-orang yang bangrut. Orang-orang yang sungguh merugi kelak di hari kiamat.
Di suatu kesempatan Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabatnya: “Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab; ‘Menurut kami, orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki uang dan harta kekayaan.’
Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya umatku yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia selalu mencaci-maki, menuduh, dan makan harta orang lain serta membunuh dan menyakiti orang lain.
Setelah itu, pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka hingga pahalanya habis, sementara tuntutan mereka banyak yang belum terpenuhi. Selanjutnya, sebagian dosa dari setiap orang dari mereka diambil untuk dibebankan kepada orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka.’ (HR. Muslim: 4678).
Dari hadits tersebut, jelas bahwa hubungan baik saja kepada Allah dengan menjalankan ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, belum cukup atau bahkan bisa sia-sia jika kita masih belum bisa menjalin hubungan baik kepada sesama manusia.
Masih tersebut juga dalam hadits yang lain bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Tidak akan masuk surga orang yang memutus tali silaturrahim (HR Bukhari). Dalam Al-Qur’an Surat Al-Anfal ayat 1 Allah SWT berfirman: “Bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan kalian dengan sesama manusia.”
Dalam ayat di atas Allah SWT memerintahkan hambanya untuk bertakwa kepada-Nya, yang kemudian diikuti dengan perintah memperbaiki hubungan sesama manusia, yaitu menjalin cinta kasih dan memperkokoh persaudaraan (ukhuwah)
Pelajaran penting yang perlu kita ambil bahwa berperilaku baik kepada sesama manusia merupakan hal yang sangat mendasar untuk bisa dilakukan. Karena pahala ibadah seseorang bisa sia-sia atau hangus lantaran orang tersebut dalam kehidupan kesehariannya suka menyakiti orang lain selama di dunia. Bahkan, orang itupun pun bisa menanggung dosa orang lain yang disakiti jika pahalanya tidak mencukupi. Habis pahala, dosa bertambah.
Sungguh bangkrut. Itulah gambaran orang yang suka menyakiti orang lain kelak di hari kiamat. Maka, mumpung masih hayat di kandung badan, mari kita bersama peduli untuk saling berintrospeksi diri.
Perbaiki hubungan kemanusiaan kita dengan selalu menjalin silaturrahmi, saling memaafkan, meminta maaf kepada mereka yang pernah kita sakiti dan memberikan maaf kepada orang yang pernah menyakiti kita. Maaf-maafkan antar sesama sangatlah penting. Karena dosa seseorang yang dilakukan kepada sesama manusia tidak akan diampuni oleh Allah tanpa pemberian maaf dari orang yang pernah disakiti.
Diyakini, bahwa jika manusia berdosa kepada Allah seperti meninggalkan shalat, tidak berpuasa, tidak berzakat, atau bahkan syirik sekalipun, cukup kepada Allah saja kita memohon ampun. Cukup kepada Allah SWT manusia itu bertaubat nasuha’.
Tidak mengulangi dosa-dosa dan kemudian memperbaiki dan giat beribadahnya. Namun, jika dosa yang kita lakukan melibatkan manusia atau orang lain, yakni dengan menyakiti mereka, maka kita juga harus meminta maaf kepada yang bersangkutan dan mengembalikan haknya yang telah kita ambil.
Dalam kitab “Riyadus Shalihin” Imam Nawawi, seorang ulama masyhur pada zamannya hingga kini tetap menjadi rujukan dalam setiap referensi kitab-nya, merincikan bahwa pertaubatan untuk perbuatan maksiat yang terjadi sesama manusia, dilakukan dengan empat tahapan.
Pertama, bertaubat dan berhenti dari perbuatan tersebut. Kedua, menghadirkan penyesalan dalam diri atas kesalahan dan kemaksiatan yang pernah dilakukannya. Ketiga, berniat sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.
Dan yang terakhir adalah mengembalikan tanggungan atau hak-hak yang telah kita ambil dari orang yang telah kita sakiti. Jika tanggungan itu berupa harta atau sejenisnya, maka wajib mengembalikan harta itu kepada yang berhak. Jikalau berupa suka menuduh tanpa dasar atau tuduhan lainnya, maka hendaklah mencabut tuduhannya tadi dari orang itu, atau meminta maaf kepadanya.
Dan jika berupa pengumpatan, cacian, ghibah, dan kejahatan lisan lainnya, maka hendaklah meminta maaf kepada orang yang yang telah disakitinya.
Semoga dengan menyadari betapa pentingnya memperbaiki, mempererat, dan menjaga hubungan silaturrahmi dengan sesama saudara, kaum kerabat, sahabat dan jiran serta tetangga kita dalam kehidupan sosial kemanusiaan (masyarakat) akan menjadikan kita menjadi hamba-hamba Allah SWT yang bisa meraih derajat Muttaqin dengan segala efek sosialnya. Saling berlaku dan berbuat baik, saling membantu, saling mengingatkan antar sesama seiring sejalan semakin taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Amin.
*Penghulu Madya / Kepala KUA Kec. Pegasing Kab. Aceh Tengah.