Keluhan Atas Layanan Bank Syariah dan Syariat Islam Harga Nego

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Hari-hari belakangan ini kalau kita membaca berbagai status di media sosial terutama facebook, penuh dengan keluhan tentang buruknya pelayanan dan fasilitas jaringan serta teknologi informasi pendukung jasa perbankan di BRI syariah. Ragam keluhan, mulai dari kata-kata sinis menunjukkan kedongkolan sampai caci maki kasar ‘menghiasi’ ruang beranda facebook kita warga Aceh.

Membaca berbagai keluhan itu, ada sedikit rasa simpati tapi lebih banyak rasa heran. Kenapa keluhan-keluhan seperti ini harus muncul? Karena bukankah resiko rendahnya kualitas pelayanan perbankan syariah dibandingkan bank konvensional ini memang sudah diperhitungkan sebelumnya?

Bukankah segala ketidak nyamanan ini adalah kompensasi dari jaminan terbebas dari dosa mengkonsumsi riba, kalau kita masih menggunakan jasa perbankan konvensional?

Beberapa waktu yang lalu satu hari sebelum Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 Tentang lembaga keuangan syariah (LKS) efektif berlaku dengan konsekwensi seluruh seluruh bank konvensional diusir dari Aceh, saya menulis artikel terkait hal tersebut di media ini.

Pada tulisan tersebut dan beberapa tulisan sebelumnya, saya memaparkan berbagai kesulitan layanan perbankan yang akan dirasakan masyarakat Aceh ketika aturan ini efektif berlaku. Pada saat artikel itu ditulis, saya menemukan fakta bahwa di tahun 2020 saja, sejak januari sampai oktober, terdapat 1,5 juta keluhan pelanggan yang masuk ke BRI Syariah.

Bukan hanya saya dan beberapa orang yang mengerti tentang keadaan perbankan syariah yang sistem jaringan IT nya berbeda dengan sistem IT perbankan konvensional yang merasakan kekhawatiran akan rendahnya kualitas layanan perbankan yang akan diterima oleh masyarakat Aceh ketika aturan itu nantinya efektif berlaku.

Tapi bahkan Gubernur Aceh Nova Iriansyah sendiripun menyadari hal itu dan mencoba bernegosiasi dengan DPRA, meminta penundaan keputusan ekstrim sampai 2027, sampai jaringan infrastruktur Bank Syariah benar-benar siap untuk melayani kebutuhan perbankan modern yang tak bisa dilepaskan dari gaya kebutuhan hidup manusia di zaman digital sekarang ini.

Tapi sebagaimana kita ketahui bersama, meski di masyarakat Islam generasi awal tidak ada sebutan ekonomi syariah, tapi biasanya menyebut sunnah, hukum nabi, Allah dan rasul, jarang sekali bahkah hampir tidak pernah menyebut kata syariah.

Namun sekarang situasinya sudah berbeda, sekarang kata syariah (apalagi di Aceh) telah menjadi senjata yang tak mungkin dilawan oleh siapapun yang merasa dirugikan oleh sistem yang mengusung nama ini. Semerugikan apapun sistem ini bagi masyarakat dan negara, kalau ada satu individu yang menentang, maka mau tidak mau, dia harus siap dicap dia harus siap dicap sesat, zindik dan kafir.

Jadi sangat bisa dimaklumi kenapa kemudian Nova Iriansyah akhirnya memilih mundur dari idenya yang jelas-jelas sebenarnya dia ajukan untuk kemaslahatan umat.

Ketika saya bertanya kepada beberapa ulama dan juga membaca berbagai buku terkait ekonomi dalam Islam, saya selalu mendapatkan satu kesimpulan yang sama, bahwa Al Qur’an dan hadits tidak memuat apalagi menjelaskan secara detail tentang sebuah sistem ekonomi yang berdasarkan syariat Islam. Al Qur’an dan Hadits ‘hanya’ memuat prinsip-prinsip Islam yang harus dijalankan terkait dengan ekonomi.

Setidaknya ada empat prinsip yang harus dijalankan

1. Jangan merugikan orang lain, prinsip inilah yang memunculkan larangan riba.
2. Jangan banyak spekulasi, prinsip inilah yang memunculkan sistem bagi hasil.
3. Prinsip keadilan, setiap orang bebas berkarya untuk menjadi kaya tapi setelah kaya kemudian kekayaan itu didistribusikan ke orang lain.
4. Bermoral, orang boleh melakukan jual beli, tapi tak boleh menjual sesuatu yang haram, barang curian, minuman keras atau layanan seksual misalnya.

Tapi keempatnya itu baru berupa prinsip, belum menjadi sistem. Berdasarkan prinsip inilah kemudian sistem ekonomi syariat ini dikembangkan dengan ijtihad yang mengacu pada situasi dan kondisi pada saat itu.

Sebagai contoh, ketika Abu Bakar dipilih menjadi khalifah pertama setelah nabi wafat. Beliau menghadapi situasi yang belum ada di zaman ketika Rasulullah SAW masih hidup. Contohnya, adanya pegawai negeri, adanya tentara dan beliau sendiri sebagai khalifah yang menghabiskan waktunya bekerja sebagai khalifah dan tidak lagi punya waktu berdagang. Bagaimana mereka membiayai hidup sehari-hari?

Alhasil, kemudian Abu Bakar berijtihad sendiri bahwa mereka semua harus diberi gaji. Lalu, semua penghasilan yang didapatkan negara setelah dipotong gaji dan berbagai alokasi, didistribusikan secara merata kepada seluruh umat. Ini semua tidak ada diatur dalam Al Qur’an dan Hadits, tapi Abu Bakar mengambil keputusan berijtidad berdasarkan prinsip-prinsip yang ada dalam Al Qur’an dan Hadits.

Ijtihad Abu Bakar ini menjadi sistem syariah pertama dalam Islam.

Tapi kemudian di zaman Umar Bin Khattab, situasi berbeda lagi. Waktu itu kekuasaan Islam sudah berkembang luas menjadi 8 provinsi dan menghasilkan sangat banyak uang. Sebagai contoh, dari provinsi Mesir saja, berhasil menghasilkan uang 20 juta Dinar untuk kas negara. Padahal pada zaman itu, banyak sahabat tidak lagi mampu memahami jumlah uang lebih dari 1000 dinar.

Dalam situasi seperti ini, sebagaimana dimuat dalam kitab Al Kharaj karya Abu Yusuf, yang merupakan salah satu kitab ekonomi fiqih tertua dan terpenting dalam sejarah Islam yang memuat pembaharuan ekonomi di zaman kekhalifahan Umar, diceritakan bahwa ketika menghadapi situasi itu.

Umar mulai berpikir kalau uang sebanyak ini tidak mungkin didistribusikan begitu saja kepada setiap individu, tapi lebih baik disimpan dalam Baitul Mal untuk persiapan masa depan, entah itu nanti digunakan untuk membangun infrastruktur, memperkuat angkatan bersenjata, membuat sebuah sistem birokrasi yang kuat dan menyantuni fakir miskin. Inilah yang kemudian menjadi sistem perbankan pertama dalam dunia Islam.

Tapi, ide Umar ini ditentang keras sebagian sahabat, salah satu penentang terkuatnya adalah Bilal dan Abu Dzar, mereka protes keras kepada Umar karena menurut mereka berdua Umar telah melanggar Syariat Nabi dan pendahulunya, Abu Bakar.

Saat itu Bilal tidak setuju dengan konsep menyimpan untuk masa depan karena menurut Bilal, masa depan sudah dijamin oleh Allah SWT dan menurut syariat, apa yang dihasilkan negara harus segera didistribusikan secara merata berdasarkan prinsip pembagian yang sudah diatur sebelumnya. Umar yang merasa Bilal lebih dekat dengan Rasulullah mundur dan menyerahkan perdebatan kepada Ali.

Akhirnya setelah Ali turun tangan, disepakatilah bahwa uang yang didapat itu disimpan dalam Baitul Mal yang dikelola negara (inilah yang kemudian menjadi sistem perbankan pertama dalam Islam) dengan menunjuk Ibnu Arqam sebagai bendahara (atau sekarang bisa disamakan dengan Gubernur Bank Sentral) lalu cabang-cabang kas ini (setara dengan kantor cabang Bank sekarang) dibuka di setiap provinsi dan kemudian Umar membentuk empat departemen awal yang dibiayai dengan uang itu. Empat departemen itu adalah departemen Kepolisian, Militer, Hukum dan Sosial.

Semua ini menurut Bilal melanggar sitem ekonomi berdasarkan syariat Islam, tapi tetap dijalankan oleh Umar dengan dukungan Ali karena menurutnya sistem ini harus dijalankan karena menurut Umar, ekonomi Islam itu harus dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip yang termuat dalam Al Qur’an dan Hadits yang harus dijalankan berdasarkan kondisi saat itu.

Pada zaman Ustman, aplikasinya jadi berbeda lagi, di zaman Ali juga ada pembaharuan, pada zaman kekhalifahan Umayyah berbeda lagi, pada zaman kekhalifahan Abassyiah berbeda lagi, begitu terus, sistem ekonomi Syariah ini berkembang mengikuti zamannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan di setiap zaman sampai kepada zaman kekhalifahan Ustmaniah.

Perkembangan ini kurang lebih sama seperti perkembangan ekonomi kapitalisme yang menjadi sistem ekonomi paling dominan di dunia modern saat ini.

Awalnya, ekonomi kapitalis yang digagas oleh Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nation, ini belum menjadi sebuah sistem, belum menjadi sebuah isme. Dia hanya mengatakan, perencanaan ekonomi itu adalah tidak terencana dan tidak boleh direncanakan, tidak boleh diatur bahkan tidak boleh diintervensi, biarkan pasar berkembang sendiri dan secara natural “Laissez Faire” sehingga nanti permintaan dan penawaran akan efisien dan keseimbangan akan terbentuk sendiri.

Intinya kapitalisme muncul dan berkembang secara dominan akibat respon kolektif masyarakat atas perilaku individual. Bukan dari sebuah proses yang sistematis dan terencana.

Jadi, di sini kapitalisme hanya berupa gagasan, bukan sebuah isme, tapi kemudian setelah dia dihantam kanan kiri oleh berbagai gagasan yang menentangnya, salah satu Karl Marx dengan Das Kapitalnya, yang menyatakan bahwa gagasan ekonomi kapitalisme-nya Smith adalah sistem ekonomi yang kejam, yang tidak teratur, muncullah penerus-penerus dari Adam Smith semodel Jefford, Wenger sampai Keynes yang menjadikan idenya ini sebagai sebuah Isme.

Artinya, Kapitalisme ini kemudian terus berevolusi dan sistemnya juga terus berubah mengikuti perkembangan zaman.

Sistem ekonomi syariat Islam sejak zaman Abu Bakar juga begitu, terus berevolusi dan berkembang mengikuti perkembangan zaman, mengejawantahkannya dalam ijtihad yang setiap orang dan setiap zaman berbeda-beda sesuai situasi, kondisi dan kebutuhan pada masa tersebut berdasarkan ijtihad yang mengacu pada prinsip-prinsip dasar yang termuat dalam Al Qur’an dan Hadits sampai semuanya terhenti pada masa Al Ghazali ketika pintu ijtihad secara resmi ditutup.

Kalau pintu ijtihad ini ditutup untuk urusan ibadah, mungkin ini tidak masalah. Tapi ini masalahnya untuk muammalah, yang kondisi setiap zaman berbeda-beda, apakah tidak kacau?

Inilah yang kemudian menjadi latar belakang kenapa Ibnu Rushd berkomentar sebagaimana saya sebutkan di atas “Kalau ingin menguasai orang bodoh, bungkuslah sesuatu yang bathil dengan bungkus agama”. Sebab ketika itu, ketika Ibnu Rushd berijtihad, dia malah dipecat sebagai mufti negara dan ide-idenya ditolak di dunia Islam. Ide-ide ini yang kemudian dipungut oleh barat dan menjadikan mereka berkembang menguasai peradaban modern seperti sekarang.

Padahal Ibnu Rushd sangat paham bahwa yang disebut dengan ijtihad adalah, adanya permasalahan di zaman sekarang, tapi penyelesaiannya tidak ada dalam Al Qur’an dan Hadits. Lalu, dengan mengambil prinsip yang ada dalam Al Qur’an dan hadits ditemukan solusi atas permasalahan masa kini.

Nabi Muhammad SAW sendiri menyuruh semua muslim berijtihad (mengambil pertimbangan sendiri atas apa yang belum dia ketahui) dan pada masa generasi awal Islam, ijtihad tidak dibatasi atas status dan posisi.

Tapi lambat laun atas alasan politik dan keamanan, ijtihad dibatasi oleh kelompok orang tertentu. Dan akhirnya pintu ijtihad ditutup. Orang hanya boleh mengikuti pendapat ulama tertentu yang ditunjuk oleh negara tanpa satupun berkesempatan menjalankan syariat nabi yaitu berijtihad.

Alhasil karena Syariat Islam ditetapkan mengacu pada ijtihad yang dibuat berdasarkan situasi dan kondisi yang ada pada 1000 tahun yang lalu, dalam beberapa hal syariat Islam malah lebih kejam dibandingkan sistem kapitalisme.

Contoh paling jelas adalah tentang aturan zakat. Dalam syariat Islam yang mengacu pada situasi dan kondisi 1000 tahun yang lalu, zakat hasil pertanian ditetapkan sebesar 10 %. Artinya, seorang petani bawang yang hidup di bawah garis kemiskinan di Nosar atau petani caplak di Buntul Kemumu, sesuai syariat, harus mengeluarkan 10% dari hasil pertaniannya untuk zakat, agar harta yang dia dapatkan bersih. Sementara, seorang konglomerat seperti Chairul Tanjung, cukup mengeluarkan 2,5 % pendapatannya sebagai zakat.

Bandingkan dengan aturan pajak di negara dedengkot Kapitalis, Amerika yang menetapkan pajak 1,9 % untuk orang berpenghasilan 10.000 dollar setahun dan hampir 34% untuk yang berpendapatan 1 juta dollar setahun.

Ini pulalah yang kemudian kita hadapi di Aceh pada saat ini dengan Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 Tentang lembaga keuangan syariah (LKS)

Ketika kita berhadapan dengan efisiensi transfer antar rekening, ketika kita dalam situasi yang membuat kita bekerja dibayar dengan berbagai macam valuta asing, ketika kita mengenal bit coin. Untuk menghadapi permasalahan itu, kita mengambil solusi ekonomi syariah yang dalil-dalilnya mengacu pada pendapat Ibnu khudama, Imam Ghazali yang hidup pada masa 12 abad yang lalu.

Alhasil, kalau tidak mau disebut sesat, zindik dan kafir, kitapun harus menerima dengan penuh syukur kalau KUK BRI yang hanya menetapkan bunga sebesar 6% untuk pengusaha kecil adalah riba yang dosanya setara dengan berzina dengan ibu kandung dan kredit Bank Aceh sebesar 100 juta yang harus dibayar sebesar 189 juta adalah sistem syariat Islam yang diridhai Allah yang akan menghindarkan kita dari panasnya api neraka.

Kalau tidak mau dicap sesat, zindik dan kafir, kita harus mau menerima kenyataan bahwa pelayanan kelas satu Bank BCA yang sangat membuat nyaman pelanggannya adalah sebuah sistem pelayanan yang dijalankan dengan prinsip yang bertentangan dengan syariat Islam dan membuat kita berdosa kalau kita menikmatinya dan kita harus mau menerima dengan penuh rasa syukur bahwa pelayanan di BRI Syariah yang dari januari sampai oktober 2020 saja menerima 1,5 juta keluhan pelanggan adalah layanan perbankan yang bisa memastikan kita terhindar dari panasnya api neraka.

Dan ini semua disebut oleh para pendukung sistem ini sebagai syariat Islam harga mati.

Tapi kemudian muncul sebuah pertanyaan dalam diri saya, kalau memang para pembuat Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 Tentang lembaga keuangan syariah (LKS) ini benar-benar mendasarkan niatnya untuk memastikan masyarakat Aceh terhindar dari api neraka. Kenapa mereka harus mendasarkan pendapatnya pada dalil yang dibuat 12 abad yang lalu, kenapa mereka tidak langsung saja mengambil posisi seperti Bilal, menuntut semua penghasilan negara didistribusikan merata kepada seluruh rakyat Aceh tanpa peduli itu gaji pegawai dan gaji anggota DPRK, segala tunjangan dan dana aspirasinya?

Bukankah ini syariat Islam harga nego namanya?

[]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.