Memberangus Azariyah, Memperkokoh Ibrahimiyah

oleh
Johansyah (Dok. Pribadi)

Oleh : Johansyah*

Allah SWT berfirman :

“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata”. Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam”. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat”. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS. Al-An’am: 74-29)

Ayat di atas mungkin agak panjang. Dalam kesempatan ini saya kutip karena ada hal yang menarik yang untuk diuraikan. Ayat tersebut adalah cerita nabi Ibrahim AS dalam proses pencarian Tuhan. Dari kutipan ayat di atas, terlihat bagaimana sosok beliau yang begitu kritis dalam melihat berbagai realitas kehidupan, terutama yang terkait dengan Tuhan.

Sudah sejak lama Nabi Ibrahim AS memperhatikan aktivitas keagamaan nenek moyang yang diwarisi oleh sang ayah yang bernama Azar dan masyarakat pada waktu itu. Mereka menyembah patung berhala. Patung-patung itu dibuat oleh sang ayah, lalu dipajang dan menjadi sesembahan.

Hal itu menurutnya tidak masuk akal. Mana mungkin Tuhan yang maha hebat itu dibuat dari benda mati, lalu dijadikan sesembahan. Karena sudah tidak tahan dengan itu semua, Nabi Ibrahim AS lalu mengajukan protes kepada ayahnya; ‘ayah kenapa kalian menyembah patung-patung itu?

Bukankan mereka engkau yang buat, mereka tidak bernyawa dan tidak berdaya, tapi kenapa lalu di sembah? Itu sungguh perilaku yang menyesatkan’, kata beliau.

Ayahnya Azar tentu tidak terima dengan penghinaan sang anak hingga dengan nada yang keras mengatakan; ‘wahai Ibrahim, kenapa engkau menghina Tuhan kita yang selama ini sudah diajarkan dan diwariskan kepada kita. Sungguh engkau telah merendahkan, dan engkau akan mendapat laknat dari tuhan-tuhan ini’.

Meski harus bersilang pendapat dengan sang ayah, Ibrahim tetap kokoh dengan pendiriannya. Walau belum menemukan hakikat Tuhan, beliau memiliki keyakinan bahwa Tuhan tidak mungkin dibuat oleh manusia. Sebab kalau tuhan dibuat manusia, lalu manusia siapa yang buat. Pasti ada Dzat Yang Maha Segala-galanya. Begitu dalam pikiran beliau.

Setiap hari Nabi Ibrahim AS berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan seputar siapa Tuhan itu? Dia pun mencoba memperhatikan berbagai fenomena alam dengan harapan mendapatkan data dan fakta yang akurat sekaligus masuk akal tentang Tuhan. Diceritakan pada ayat di atas, manakala muncul bintang, beliau pun mengatakan; ‘inilah Tuhan’.

Namun ketika pagi muncul, bintang tersebut hilang, hingga ia mengatakan Tuhan tidak mungkin tenggelam. Begitu halnya ketika muncul bulan, dan matahari yang pada awalnya muncul, beliau meyakini bahwa itu Tuhan. Namun begitu hilang, beliau pun mengatakan bahwa itu bukan Tuhan.

Setelah melalui pergumulan pemikiran dalam dirinya, barulah kemudian Allah SWT memberikan isyarat siapa sebenarnya Tuhan.
Begitulah pengembaraan beliau yang mencari Tuhan hingga ia menemukannya.

Bagaimana dengan kita yang sudah jelas-jelas sudah diperkenalkan siapa Tuhan sebagaimana diceritakan oleh Al-Qur’an. Rasulullah SAW sebagai perantara telah menunjukkan semuanya. Tapi ketika Tuhan sudah diperkenalkan, seolah-olah banyak di antara kita yang pura-pura tidak kenal dan tidak butuh Tuhan.

Entah alasan logis apa yang dapat digunakan bahwa manusia tidak butuh Tuhan. Hal yang sangat menyakitkan lagi bahwa banyak manusia yang menuhankan makhluk, dan materi, hingga pada akhirnya dia berpaling dari Allah SWT.

Manusia jaman now bahkan banyak yang mengikuti jejak ayahnya nabi Ibrahim AS yang menyembah berhala, meski pun bukan berhala pada wujud sebenarnya. Dunia ini dipenuhi dengan berhala. Ketika manusia mengumpulkan harta dunia sehingga dia lupa dengan siapa yang memberi itu semua, dia telah terjebak pada berhala.

Demikian halnya ketika dia dilalaikan dengan obsesi mengejar kedudukan dan popularitas hingga gila pujian, sesungguhnya dia telah terjebak pada berhala dunia.

Perilaku-perilaku semacam itu bisa dikatakan ‘Azariyah’, yakni orang yang mengikuti perilakunya Azar yang menyembah berhala, hanya saja objek sesembahannya yang berbeda. Hal yang sangat menyedihkan, ketika itu dipraktikkan manusia sekarang di saat mereka sudah tau siapa sebenarnya Tuhan itu.

Kini kita dalam suasana ramadhan, dan alhamdulillah masih diberikan kesempatan mengkutinya. Seharusnya momentum ini kita gunakan sebaik-baiknya untuk melakukan pengembaraan spiritual untuk lebih mengenal Allah SWT sebagaimana dulu nabi Ibrahim AS yang terus-menerus ingin mengenal Tuhan.

Sedangkan kita sejatinya berterima kasih kepada beliau dan Nabi Muhammad SAW yang sudah diperkenalkan kita dengan Allah SWT. Di saat kita sudah kenal, seharusnya kita senantiasa menjalin hubungan yang baik dengannya.

Dengan ungkapan lain, momentum ramadhan adalah kesempatan untuk memberangus sifat-sifat Azariyah yang selama ini menggerogoti batin kita. saatnya kita melakukan perlawanan terhadap diri sendiri yang selama ini tunduk pada berhala-berhala dunia. Sebaliknya, kita harus perkuat spirit Ibrahimiyah untuk memperkokoh tauhid dan keimanan kepada Allah SWT dengan menyingkirkan dominasi nafsu duniawi.

Akhirnya, marilah terus kuatkan mi’raj shalat kita agar lebih dekat kepada-Nya karena sesngguhnya ketika kita semakin mengenal-Nya, itu artinya kita akan menemukan jati diri sebagai manusia. Pertanyaan seputar diri, dunia, dan apa pun itu, semua akan terjawab ketika kita sudah menemukan jawaban siapa Dia yang sesungguhnya. Inilah yang dilakukan nabi Ibrahim AS yang sejatinya diteladani, dan di ramadhan inilah kesempatan yang baik untuk melakukannya. Wallahu a’lam bishawab!

*Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.