Oleh : Nanda Winar Sagita*
Ada satu lema unik di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang tertera juga dalam Kamus Budaya Gayo terbitan Kemendikbud tahun 2018. Lema itu adalah kici. Saya kutip secara utuh, artinya seperti ini: “menunjuk orang dengan jari tengah, jari yang lain dibengkokkan untuk mengejek atau menghina.”
Sebenarnya tidak ada masalah dengan definisi tersebut kecuali secara etimologi kata kici berasal dari Bahasa Gayo. Saya penasaran, apa betul orang Gayo sudah menggunakan gestur kici yang sangat identik dengan gestur midfinger (atau kita lebih akrab menyebutnya, mohon maaf, fuck you!) dalam budaya populer.
Saya pernah bertanya pada orang-orang tua yang mengerti adat. Mereka mengaku tidak mengenal kici: baik sebagai kata maupun sebagai gestur.
Sebelum membahas lebih jauh, mari kita tilik terlebih dahulu sejarah jari tengah dijadikan sebagai bentuk cacian yang tidak senonoh.
Mengutip dari David Mikkelson dalam esainya yang berjudul The History of the Middle Finger (1999), awal mula jari tengah dijadikan sebagai bentuk makian tidak senonoh bermula dari pertempuran antara Prancis dan Inggris di Agincourt pada 1415.
Saat itu, senjata yang masih lazim digunakan adalah busur dan panah. Oleh sebab itu, sebagai bentuk penghinaan, pasukan Prancis menghukum pasukan Inggris yang tertangkap dengan memotong jari tengah mereka agar tidak bisa lagi menggunakan busur.
Namun lebih jauh lagi, Anthony Corbeill dalam bukunya yang berjudul Nature Embodied: Gesture in Ancient Rome (1960) menyatakan bahwa jari tengah digunakan di zaman Romawi kuno sebagai isyarat untuk mengajak berhubungan seksual dengan cara merendahkan atau mengintimidasi individu yang menjadi objek dari jari tersebut.
Di samping itu dalam karya drama Aristophanes yang berjudul The Clouds (423 SM), jari tengah juga digambarkan sebagai simbol penghinaan.
Setelah menilik sejarah jari tengah yang memang sudah digunakan sebagai gestur cacian sejak era kuno, tentu kita bertanya-tanya: kalau dilihat dari perspektif kultur Gayo, penggunaan jari tengah atau kici sebagai gestur penghinaan bermula dari mana?
Sejatinya Bahasa Gayo tidak mempunyai dialek tunggal, dalam artian Bahasa Gayo masih mempunyai sub-dialek. Baihaqi, dkk dalam buku yang berjudul Bahasa Gayo (1981), membagi bahasa Gayo dalam lima sub-dialek yaitu Gayo Lut, Gayo Deret, Gayo Lues, Gayo Lokop dan Gayo Kalul.
Setiap sub-dialek tentu memiliki konteks sosial yang berbeda dan tergantung dari wilayah masyarakat yang menggunakan dialek tersebut. Oleh sebab itu untuk mengkaji penerapan kata kici dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita harus melihat juga kepada latar belakang kultural dari tokoh yang berada di balik masuknya kata tersebut ke dalam lema KBBI.
Adapun tokoh yang bertanggung jawab memasukkan kata kici ke dalam KBBI adalah Dr. Rajab Bahri yang pernah menjabat sebagai Kepala Balai Bahasa Banda Aceh. Dia berasal dari Gayo Lues. Sekitar tahun 2007 dia telah mengusulkan 387 kosakata Bahasa Gayo ke dalam KBBI, tapi saat itu Pusat Bahasa hanya menerima 42 kosakata dan kici adalah salah satunya.
Jika berpedoman pada fakta tersebut, kemungkinan cakupan penggunaan kata kici hanya terbatas pada masyarakat yang bicara dengan sub-dialek Gayo Lues semata. Hal ini sepadan dengan penggunaan kata etek untuk menyebut anak perempuan atau itak untuk menyebut lauk yang juga hanya dikenal dalam sub-dialek Gayo Lues.
Namun kita tentu punya pertanyaan baru: kalau memang penggunaan kata kici hanya terbatas pada sub-dialek Gayo Lues, apakah sudah diterapkan sebagai tradisi turun temurun atau hanya terpengaruh oleh fungsinya dalam budaya populer yang baru muncul belakangan?
Jika memang benar kata kici sudah digunakan secara turun-temurun di dalam masyarakat Gayo Lues, tentu hal itu adalah salah satu fenomena budaya yang unik. Hal itu dapat kita analisis melalui konsep Hermeneutika Saussure.
Saussure pernah membuat sebuah penelitian dengan membandingkan kesamaan kata antara satu bahasa dengan bahasa lain. Salah satu contohnya adalah kata calidium dari bahasa Latin dengan kata chaud dari bahasa Prancis. Kedua kata itu memiliki struktur yang hampir sama dengan makna yang juga sama persis, yakni panas.
Dalam kasus kata kici, kita juga bisa membandingkannya dengan kata ngece dari bahasa Jawa Tegal. Dalam Kamus Bahasa Jawa Tegal terbitan Kemendikbud tahun 2017, arti kata ngece adalah mengejek atau melecehkan. Baik ecara fonetik atau bunyi kata maupun secara makna, kici dan ngece tentu memiliki kesamaan. Bisa jadi kata kici dalam bahasa Gayo memang terpengaruh oleh kata ngece dari bahasa Jawa Tegal.
Namun di samping itu, jika penggunaan kici adalah pengaruh dari gestur midfinger yang menjadi bentuk hinaan lazim di negara-negara Barat, tentu akan menimbulkan banyak pertanyaan yang tidak kalah membingungkan.
Memangnya sejak kapan masyarakat Gayo Lues menggunakan jari tengah sebagai bentuk makian?; bagaimana mungkin konsep hinaan dalam budaya populer di negara-negara barat masuk ke dalam ranah kultural masyarakat Gayo Lues?; dan masih banyak pertanyaan lainnya.
Untuk menjawab rentetan pertanyaan tersebut, tentu harus dilakukan penelitian lebih lanjut. Dengan berbesar hati kita harus mengakui kalau itu adalah tugas kita sebagai masyarakat Gayo.
*Guru Sejarah di SMAN 6 Takengon