Budaya Bersih Orang Jepang, Sampah Plastik di Musara Alun dan Saran Penanganannya

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Musara Alun dulunya saya kenal hanya sebagai lapangan pacuan kuda dan bagian tengahnya dipakai untuk pertandingan sepakbola di sore hari.

Dulu, Takengen tidak seperti kota-kota di tempat lain yang punya alun-alun kota tempat masyarakat berolahraga atau sekedar bersantai di sore hari. Yang saya ingat, sewaktu SD dan SMP sore hari kami bermain bola di halaman berumput di depan kantor bupati.

Setelah tidak lagi tinggal di kota ini dan lapangan pacuan kuda pindah ke Pegasing, bisa dikatakan saya sudah tak pernah lagi ke Musara Alun. Paling dekat saya hanya melongok lapangan dari teras belakang WRB Café.

Tapi kepulangan saya kali ini yang ditandai dengan membengkaknya badan saya, akibat berat badan yang naik 12 kilogram gegara tak pernah bergerak akibat banyaknya pembatasan selama berkecamuknya wabah Corona di pulau Bali, saya memutuskan untuk berolahraga, jogging di Musara Alun.

Dan apa yang saya saksikan setiap kali saya melakukan jogging di Musara Alun adalah perubahan luar biasa lapangan ini dalam konteks positif.

Suasana di lapangan Musara Alun benar-benar hidup dan bergairah, sebagaimana layaknya kota-kota yang masyarakatnya sudah maju.

Selain orang bermain sepakbola, sangat banyak orang melakukan jogging seperti saya, laki-laki dan perempuan, anak-anak, remaja sampai yang pra manula seperti saya tampak beraktifitas di sana.

Kegiatan olahraga yang dulu tak pernah saya bayangkan ada di Takengen, Sepak Takraw, Basket, Memanah, Beladiri bahkan Panjat Tebing hampir setiap hari bisa kita lihat di Musara Alun.

Khusus untuk basket, saya melihat olahraga yang di zaman kami muda dulu belum famililar di Takengen dan di kota lain identik dengan anak muda kelas menengah yang gaul. Sekarang begitu fasih dimainkan oleh anak-anak muda Takengen. Permainan mereka yang saya lihat bukan lagi kelas kaleng-kaleng, sepatu yang mereka pakaipun sudah model sepatu yang harganya jutaan.

Tapi dari semua sisi positif itu ada satu yang sangat disayangkan, sampah plastik bertebaran di mana-mana, di segala penjuru lapangan. Hanya di bagian stadion sepakbola yang berpagar, sampah plastik agak kurang. Meski tidak berarti sama sekali bersih.

Kalau boleh jujur, jika saya bandingkan dengan alun-alun kota lain yang pernah saya kunjungi. Apakah itu dibandingkan alun-alun kota besar seperti Banda Aceh, Medan, Bandung, Malang, Palembang atau Surabaya ataupun kota-kota kecil setara kabupaten layaknya Takengen seperti Cianjur, Wonosobo, Temanggung, Blitar, Tabanan atau Singaraja. Belum pernah saya menemui alun-alun kota lain sekotor Musara Alun, di hari biasa. Lain cerita kalau di sana baru ada event besar, entah itu pagelaran musik atau acara dakwah dari seorang ustadz populer.

Mengingat status kota Takengen sebagai kota wisata, fakta ini tentu sangat tidak mengenakkan. Meski sejauh ini kita masih cukup beruntung karena wisatawan yang datang ke Takengen, tidak menjadikan Musara Alun sebagai salah satu tujuan kunjungannya.
Ketika hal ini saya diskusikan bersama teman-teman nongkrong di WRB, berbagai pandangan dan tawaran solusi bermunculan.

Salah satu pandangan yang paling populer adalah pandangan yang meyakini itu terjadi karena pemerintah kurang banyak menyediakan tempat sampah. Tapi pandangan tersebut langsung patah ketika saya menunjukkan sampah plastik yang bertebaran justru tepat di samping tempat sampah yang sudah disediakan. Sementara di dalam tempat sampahnya sendiri bisa dikatakan kosong.
Jadi, menyediakan tong sampah saya pikir bukanlah solusi.

Terkait keberadaan tong sampah ini, keadaan Musara Alun yang penuh dengan tebaran sampah plastik ini bisa kita bandingkan dengan Jepang, negara yang dikenal sebagai negara terbersih di dunia yang di kota-kotanya, di tempat umum, kita hampir tidak menemukan keberadaan tong sampah.

Bersihnya kota-kota dan perkampungan di Jepang terjadi karena kesadaran warganya.

Bagaimana kesadaran akan kebersihan ini telah menyatu dengan kepribadian orang Jepang, sehingga ketika mereka datang dari negaranya berkunjung ke luar negeri, kesadaran ini tetap mereka bawa.

Tiap kali melihat taburan sampah, saya selalu teringat cerita salah seorang teman saya yang menjadi relawan di stadion tempat Jepang melangsungkan pertandingan di Piala Dunia Prancis 1998. Menurutnya, waktu dia dan teman-temannya mendapat bagian tugas membersihkan stadion di bagian yang diduduki supporter Jepang. Tidak satu potong sampahpun mereka temukan. Stadion itu bersih layaknya baru diresmikan.

Cerita yang sama kita baca berulang kali di tiap negara yang menyelenggarakan Piala Dunia di mana Jepang ikut berpartisipasi sebagai peserta. Bahkan, beberapa waktu yang lalu, pernah beredar foto pasangan Jemaah haji asal Jepang, menenteng kanton plastik untuk mengumpulkan sampah yang ditinggalkan Jemaah haji di seluruh dunia sehabis wukuf di Arafah.

Negara terdekat dengan kita yang juga terkenal dengan kebersihannya adalah Singapura. Seperti di Jepang, di sana pun saya tidak melihat terlalu banyak tong sampah. Singapura bersih, karena warganya sangat sadar yang namanya kebersihan.

Jadi, saya pikir bagaimana supaya Musara Alun bisa bersih dari sampah plastik, kuncinya adalah adanya kesadaran dari masyarakat pengguna Musara Alun agar tidak membuang sampah sembarangan.

Tapi, masalahnya yang namanya kesadaran itu tidak sama seperti Hari Ulang Tahun Kute Takengen yang bisa tiba-tiba muncul dari ruang hampa. Kesadaran hanya bisa muncul kalau ada penggugahnya, atau sengaja diciptakan.

Jepang bisa menjadi seperti sekarang bukanlah secara tiba-tiba. Banyak orang dari negara barat yang kagum dengan mental bersih orang Jepang, berasumsi kalau mental bersih orang Jepang itu datang dari ajaran agama mereka yang berakar pada Buddha yang menekankan perlunya kebersihan.

Saya pribadi tidak sepakat dengan asumsi ini, karena kalau dengan adanya ajaran agama orang bisa muncul kesadarannya secara kolektif untuk menjadi bersih. Islam, agama yang dianut mayoritas sangat besar penduduk Takengen bukan hanya sekedar menganjurkan orang menjadi bersih, tapi bahkan lengkap dengan cara membersihkan yang sangat detail. Jadi, kalau alasannya ajaran agama, kenapa pada penduduk Kute Takengen tak muncul kesadaran kolektif untuk berlaku bersih sebagaimana orang Jepang?

Penjelasan yang lebih masuk akal saya baca di salah satu tulisan Goenawan Mohammad yang saya sudah lupa judulnya. Di dalam tulisan itu, pendiri majalah Tempo ini mengulas kalau ternyata Jepang juga dulunya tidaklah sebersih sekarang, masyarakatnya juga jorok. Tapi akibat dari satu peristiwa, serangan penyakit yang sangat parah, pemerintah Jepang di masa itu mewajibkan warganya untuk menjadi bersih seperti sekarang. Yang melanggar dihukum dengan hukuman yang tidak ringan. Lama kelamaan, itu menjadi budaya dan akhirnya menjadi kesadaran yang bersifat kolektif.

Contoh paling jelas bagaimana kesadaran akan kebersihan itu diciptakan adalah Singapura. Saya ingat sekali bagaimana ketika saya pertama kali berkunjung ke Singapura, kami menaiki bus yang kami sewa untuk membawa kami dari Changi ke pantai Marina. Pengumuman pertama yang tampak paling mencolok, digantungkan di dalam bis itu sehingga semua penumpang bisa membacanya adalah daftar denda yang harus dibayar jika kita membuang sampah di Singapura. Mulai dari puntung rokok sampai plastik dan botol kaca. Saya lupa berapa denda per item itu, tapi tidak murah.

Menurut sopir yang membawa kami, itu sengaja dia pajang supaya penumpangnya yang bukan warga Singapura yang belum memiliki kesadaran akan kebersihan seperti mereka, tidak menjadi korban dari aturan itu akibat masih terbawa suasana di negara asalnya.

Kesadaran inipun meski sudah melekat, tapi tidak permanen sifatnya. Jepang dan Singapura, bisa begitu bersih karena ketatnya penegakan aturan dan juga kultur masyarakatnya yang memandang rendah orang yang membuang sampah sembarangan, sehingga siapapun, termasuk kita yang baru datang ke sana akan merasa risih sendiri kalau kita membuang sampah secara sembarangan seperti di sini.

Ketika masyarakat dan aturan di suatu tempat tidak seperti itu, kesadaran yang sudah terbentuk itupun biasanya lama-lama akan luntur sendiri.

Bukti dari bisa lunturnya kesadaran ini saya saksikan sendiri di Bali. Pada awal kedatangannya, saya lihat orang-orang Jepang maupun Singapura memang masih sangat terpengaruh oleh kebiasaan di negara asalnya, tidak membuang sampah sembarangan. Tapi lama-lama, melihat orang di sekitarnya membuang sampah sembarangan dan sampah juga bertebaran di mana-mana, akhirnya mereka juga bersikap lebih longgar. Tidak separah kita, tapi lama-lama akhirnya kelakuan mereka mereka makin mirip kita, tak lagi terlalu kaku dalam hal membuang sampah.

Contoh sebaliknya yang membuktikan kalau kesadaran akan kebersihan itu bisa dibentuk adalah Surabaya.

Saya pertama kali berkunjung ke kota ini pada bulan Ramadhan di tahun 1999. Waktu itu saya yang masih terbiasa berkelana sendirian hanya ditemani tas ransel dan isinya, seperti biasa, di tiap kota yang saya kunjungi menginap di sekretariat Mahasiswa Pecinta Alam setempat.

Di Surabaya saya menginap di sekretariat MAPALSA, IAIN Sunan Ampel. Siang harinya saya diajak jalan-jalan berkeliling kota ini oleh salah seorang anggota MAPALSA.

Kesan saya ketika itu, persis seperti ketika mendengar lagu Franky Sahilatua yang menceritakan bagaimana kota ini panas dan berdebu. Seperti Medan dalam versi sedikit lebih ramai. Sampah juga berserakan, tidak ada keteraturan.

Kemudian antara tahun 2005 – 2013, karena urusan pekerjaan saya rutin mengunjungi kota ini paling tidak sekali setiap bulan. Saat itupun kesan saya masih sama, kota ini kumuh dan tidak teratur, warga masih membuang sampah semaunya.

Setelah lama tak berkunjung ke kota pahlawan ini, Desember 2019, saya kembali ke Surabaya, menemani anak saya mengikuti kejuaraan Panjat Tebing yang diikuti peserta dari seluruh Indonesia. Waktu itu kami menyewa hotel tidak jauh dari lokasi pertandingan, kira-kira satu kilometer jaraknya, sehingga kami tak perlu menyewa kendaraan, cukup berjalan kaki saja untuk sampai di sana.

Pada saat itulah saya mendapati Surabaya yang sangat berbeda. Kota yang dulu begitu kumuh, saat itu saya dapati seperti sulap menjadi sangat bersih. Sungai-sungai di kota itu yang dulu begitu kotor, penuh dengan sampah yang mengambang, saat itu saya lihat sudah sangat berbeda. Nyaris tak ada sampah yang hanyut menyumbat alirannya.

Ketika anak saya minta ke kebun binatang, saya menyewa Go-car dan berbincang dengan sopirnya. Dari sang sopir inilah saya mendapatkan cerita bagaimana kota Surabaya bisa bermetamorfosa jadi seperti itu. Ternyata pada saat itu, sang Walikota membayar mahal para pekerja petugas kebersihan. Tiap mereka digaji 4,5 juta per bulan. Sehingga orang-orang yang bekerja sebagai tenaga kebersihan bekerja sangat rajin karena tidak mau kehilangan pekerjaan.

Karena sudah bersih, saat di Kebun Binatang saya perhatikan, tidak seperti dulu yang seenaknya membuang sampah sembarangan. Warga Surabaya juga saya perhatikan, tak ada lagi yang membuang sampah sembarangan. Ada rasa risih membuang sampah di tempat yang sangat bersih.

Kembali ke Musara Alun, berkaca pada cerita di atas saya berpikir kalau kita menginginkan Musara Alun bersih, mau tidak mau kesadaran itu harus ditanamkan pada para pengunjungnya.

Karena yang namanya peradaban itu memang berkembang dengan pola ATM, Amati, Tiru dan Modifikasi. Saya pikir tidak ada salahnya kita mengadopsi dari apa yang berlaku di Jepang, Singapura dan Surabaya meski tidak ditiru mentah-mentah melainkan dicocokkan dengan situasi kita.

Karena untuk membayar pekerja kebersihan dengan gaji tinggi seperti di Surabaya, mungkin terlalu memberatkan bagi Pemkab Aceh Tengah. Saya menyarankan agar Pemkab Aceh Tengah meniru Singapura, menerapkan denda bagi siapapun yang membuang sampah sembarangan di Musara Alun.

Tapi dendanya jangan semahal di Singapura, karena itu akan sulit sekali menegakkannya. Kenakan saja denda yang tak terlalu besar, tapi cukup mengganggu. Sebut saja misalnya, Rp.10.000 atau bahkan Rp. 5000 untuk setiap botol plastik yang dibuang sembarangan. Denda ini tidak terlalu memberatkan, tapi cukup mengganggu, sebab daripada dibayarkan untuk denda, uang lima ribu kan bisa dipakai membeli Chip yang setidaknya dapat 50 juta.

Untuk menjadi kolektornya, tunjuk saja petugas penjaga lapangan Musara Alun dengan konsep bagi hasil. Dari setiap uang denda yang berhasil dia pungut, berikan 40% atau bahkan 50% sebagai insentif buat dia. Dengan begitu, diapun akan termotivasi untuk giat bekerja.

Meski efektifitas dari cara kita belum tahu seperti apa, dan kalaupun sudah dibuat, masih perlu evaluasi dalam pelaksanaannya. Saya pikir, kalau cara ini dijalankan, tebaran sampah plastik di Musara Alun akan berkurang secara signifikan.

*Dewan Redaksi LintasGAYO.co

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.