Kisah Giok Pak Syukri Di Kementerian PAN dan RB

oleh

Catatan : Fathan Muhammad Taufiq*

Entah karena apa, tiba-tiba saja saya kembali teringat peristiwa yang terjadi hampir 6 tahun yang lalu. Hari Rabu tanggal 1 April 2015, merupakan hari bersejarah yang tidak mungkin saya lupakan, karena pada hari itu, tanpa saya duga sebelumnya, saya bersama pak Muhammad Syukri dan pak Ariansyah bisa tampil di Kantor Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN RB).

Bukan hanya untuk numpang lewat, tapi kehadiran kami disitu dalah membawa “misi” mengangkat nama Kabupaten Aceh Tengah dalam Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (Sinovik).

Sebenarnya nggak ada yang aneh dengan kedatangan kami di kantornya pak Yudhy Crisnandy itu, karena pada waktu itu KemenPAN RB sedang punya hajatan untuk menguji peserta kompetisi inovasi pelayanan public yang masuk dalam nominasi. Alhamdulillah, karya inovasi yang di usung pak Syukri bertajuk “Memanfaatkan Facebook Untuk Mempercepat Pelayanan Publik” termasuk karya inovasi yang masuk nominasi dalam kompetisi tersebut setelah lolos dari lubang jarum di antara 1200an karya inivasi dari seluluh Indonesia.

Terus kenapa staf renul seperti saya kok bisa nyelip kesitu? Ya karena kebetulan karya inovasi yang di angkat oleh pak Syukri memang bersumber dari sebuah terobosan kecil yang kami lakukan di Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan saat pak Syukri menjabat sebagai Pelaksana Tugas di instansinya para penyuluh itu.

Inovasi sederhana yang diangkat oleh pak Syukri berupa sebuah grup facebook bernama Forum Penyuluh Aceh Tengah (Back Office) yang bertujuan untuk membantu para penyuluh menyampaikan informasi dan laporan kegiatan para penyuluh di lapangan secara mudah, cepat dan akurat.

Kebetulan dari awal pak Syukri memang menunjuk saya sebagai admin dalam grup media sosial tersebut, makanya ketika karya inovasi tersebut kemudian masuk nominasi, akhirnya saya juga ikut terbawa untuk presentasi didepan para panelis. Mungkin pihak KemenPAN RB menilai karya tersebut memiliki nilai inovatif, maka akhirnya kami di undang untuk mempresentasikan karya inovasi tersebut di kantor kementerian yang berada di kawasan elite Jalan Jenderal Sudirman Jakarta tersebut.

Ada sedikit kisah unik menjelang keberangkatan kami ke Jakarta, waktu itu anggaran perjalanan dinas belum keluar, karena APBK tahun itu agak terlambat disahan oleh pihak legislatif.

Tapi sebagai aparatur pemerintah, perintah Bupati Aceh Tengah harus tetap kami laksanakan, karena beliau sudah mendisposisikan bahwa undangan dari KemenPAN RB itu dihadiri oleh Asisten II, Staf Bapeluh yang mengusai materi dan Kepala Bagian Organisasi Setdakab. Aceh Tengah. Awalnya saya sudah pesimis untuk bisa berangkat, begitu juga dengan pak Syukri, karena posisi saat itu memang lagi krisis kantong.

Apa boleh buat, terpaksa kami harus menggunakan jurus KKN (Kiri Kanan Ngutang) untuk bisa menjalankan tugas tersebut. Meski begitu kalau soal bahan presentasi, kami sudah siap lahir batin, karena pak Syukri sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari.

Alhamdulillah, presentasi dan tanya jawab dihadapan para panelis yang terdiri dari para akademisi dari berbagai perguruan tinggi ternama itu berjalan lancar dan sukses. Dan perjuangan kami tidak sia-sia, pak Syukri berhasil membawa nama Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah meraih Award “Top 99 Inovasi Pelayanan Publik” Tahun 2015, sebuah capaian yang tentunya membawa nama harum pemerintah dan masyarakat Gayo.

Tapi yang namanya beluh mamang tentu saja ada yang kemudian terlupakan, itu baru kami sadari saat presentasi telah usai dan kami punya waktu beberapa menit untuk bincang-bincang non formal dengan para panelis. Salah seorang panelis dengan bercanda melontarkan pertanyaan,

“Tadi bapak menyebut Kopi dan Jeruk Keprok Gayo sebagai komoditi unggulan daerah dalam presentasi, tapi kok cuma gambarnya yang nyampe, padahal kami kan kepingin mencicipinya juga,” begitu canda sang doktor dari Universitas Pajajaran itu.

Ditodong seperti itu, kami agak kelabakan juga, karena kami memang berangkat secara tiba-tiba dengan persiapan dana yang sangat terbatas, sampai tidak terfikir untuk membawa sekedar bubuk kopi atau buah jeruk untuk oleh-oleh bagi para panelis maupun panitia.

Sementara sebelum masuk ke ruang presentasi, kami sempat ketemu beberapa peserta lain seperti dari Sragen, Jawa Tengah dan dari Kalimantan Selatan, mereka sudah siap dengan oleh-oleh souvenir dan produk pangan olahan khas daerah mereka.

Tapi pak Syukri, selain cerdas juga cerdik dan banyak akal, secara diplomatis, beliau segera menjawab candaan sang panelis,

“Maaf bapak ibu panelis, kalau kopi atau jeruk, pasti bapak ibu sudah sering mencobanya, tapi saat ini ada yang lagi ngetren di daerah kami,” ucap pak Syukri santai, para panelis yang kini giliran penasaran.

“Apa itu pak?” tanya seorang panelis lainnya penasaran, pak Syukri tidak segera menjawab, tapi beliau mengeluarkan sesuatu dari tasnya, seplastik penuh batu Giok Gayo dengan bermacam jenis, corak dan warna.

“Silahkan bapak ibu pilih sebagai kenang-kenangan,” kata pak Syukri kalem, dan luar biasa, para panelis itu segera terkesima oleh giok-giok koleksi pribadi pak Syukri.

“Wow, luar biasa, bagus-bagus semua,” ungkap satu-satunya panelis perempuan dari empat panelis yang menguji kami, merekapun mengambil satu satu giok yang mereka pilih.

“Maaf nih pak, kalau batu-batu giok seperti ini kira-kira harganya berapa ya per buah?” tanya seorang panelis yang sudah mengambil sebuah bio solar, pak Syukri sepertinya agak sungkan menjawab, akhirnya saya yang menjawab, sementara pak Syukri hanya senyum-senyum,

“Yang paling murah 400 ribuan bu,” jawab saya.

“Wow, jadi ini batu mahal semua ya pak? Tapi maaf lho, meski kami ambil oleh-oleh dari bapak, ini nggak akan mempengaruhi penilaian,” sambung sang panelis sambil tersenyum, kami hanya tertawa.

Keluar dari ruang presentasi kami hanya bisa tersenyum kecut, untung saja pak Syukri sempat membawa koleksi gioknya, jadinya muka kami terselamatkan oleh giok-giok itu, kalau tidak ya terpaksa kami harus menahan malu, meski kami tau para panelis itu cuma bercanda.

Giliran di ruang istirahat, saya yang kemudian ditembak oleh panitia, mereka sedikit protes,
“Lho pak, yang di dalam tadi bapak kasih batu giok, untuk kami mana?” tanya seorang panitia bertubuh gempal, untungnya saya juga membawa beberapa koleksi cincin giok saya, meski tak sebagus koleksinya pak Syukri.

“Silahkan dipilih pak, mana yang cocok buat bapak,” jawab saya sambil menyodorkan empat buah cincin koleksi saya, dan setelah mencocokkan dengan jari tangannya, si panitia memilih sebuah cincin nephrite saya dan mengambil sebuah black jade untuk temannya.

“Terima kasih pak, tadi saya cuma bercanda lho,” katanya agak tersipu, saya hanya tersenyum, merelakan cincin saya berpindah jari.

Ya meski bukan karena giok-giok itu akhirnya kami bisa mempersembahkan Award “Top 99 Inovasi Pelayanan Publik” buat daerah ini, tapi setidaknya giok pak Syukri (dan juga cincin saya) sudah menyelamatkan wajah kami, karena mestinya kami mempersiapkan souvenir buat mereka sebelum berangkat, tapi dengan kondisi darurat ditambah persiapan dana yang singket dan cilet-cilet, apa boleh buat.

Tak ada kopi dan kerawang, giok pun jadi, akhirnya jadi pantun guyonan kami, sebuah kenangan manis-manis pahit, yang tak terlupakan. []

 

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.