Buku, Cinta dan Pesta; Mengenang Unsyiah yang Berubah Jadi USK

oleh
Penulis Bersama Alumni Teknil Sipil92, Meri, Dina dan Vera (Foto : Zulfikar Rao Itam)

Oleh : Win Wan Nur*

Baru-baru ini kita dihebohkan dengan perubahan sebutan kependekan resmi Universitas Syiah Kuala, pihak-pihak yang saat ini menjadi penentu kebijakan di “ jantong hatee” rakyat Aceh itu mengubah nama Unsyiah menjadi USK.

Peristiwa ini membawaku kembali kepada kenangan lama, pada satu penggalan masa, ketika Unsyiah masih menjadi akronim Universitas Syiah Kuala.

***

Meski sudah mengenal nama kampus ini sejak SD, tapi aku baru benar-benar menjadi bagiannya pada tahun 1992, ketika aku lulus UMPTN di fakultas teknik yang punya semboyan “Buku, Cinta dan Pesta.” Saat itu aku diterima di jurusan teknik sipil.

Agustus 1992, aku bersama seluruh mahasiswa baru Fakultas Teknik Unsyiah diwajibkan mengikuti penataran P4, selama seminggu penuh, mulai jam 8.00 sampai 18.00. Kami semua diharuskan memakai seragam atasan putih dan bawahan berwarna hitam dengan badge nama yang dijepit di saku kemeja supaya nanti dosen dan sesama mahasiswa baru yang umumnya belum saling mengenal (kecuali anak SMA 3 yang seperti pindah kelas ke fakultas ini) mudah untuk berinteraksi.

Kegiatan penataran P4 ini dilaksanakan di gedung Aula Lama Fakultas Teknik Unsyiah (sekarang USK) di kompleks Kopelma Darussalam.

Awalnya waktu masih SMA, mengetahui nama besar Fakultas Teknik Unsyiah, yang aku bayangkan, gedung-gedung di fakultas teknik ini seperti layaknya gedung-gedung perkuliahan yang kulihat di TV dan di film-film. Tapi, pas sudah tiba di sana, layaknya kena prank.

Yang disebut sebagai aula Fakultas Teknik Unsyiah itu ternyata bangunan kayu jauh kalah bagus dibandingkan gudang beras milik Bulog yang ada di Takengen. Yang membuat ruangan ini berbeda dengan gudang beras, di ruangan Aula Lama, di bagian depannya ada bagian berbentuk panggung setinggi dada yang cukup luas, sebagai tempat dosen mengajar agar mudah dilihat oleh kami, mahasiswa yang duduk di kursi-kursi yang ada di lantai ruangan. Kami mahasiswa teknik menyebut bagian panggung ini dengan sebutan “balkon.”

Salah seorang dosen kami di semester pertama yang pernah mengajar di balkon ini adalah Pak Nova Iriansyah, gubernur Aceh saat ini. Waktu itu, beliau mengasuh mata kuliah Menggambar Teknik, bertiga bersama Pak Muslim dan Pak Bustari.

Konstruksi dan dinding bangunan aula lama 100% berbahan kayu sehingga ketika dilihat sekilas dari luar, gedung aula lama ini tampak rapuh dan mudah goyah, tapi tampilan luar itu jelas menipu, karena sebenarnya konstruksi gedung ini sangat kuat, balok-balok kayu tiang penyangga di bagian dalam gedung ini luar biasa kokoh, karena dibuat dengan kayu-kayu keras berkualitas tinggi, dirancang oleh insinyur-insinyur jagoan lulusan pertama Fakultas Teknik Unsyiah, yang dulunya masih berafiliasi ke UGM.

Mereka merancang gedung ini perhitungan mekanika yang rumit, dengan mempertimbangkan beban angin, beban sendiri, perlemahan akibat sambungan. Untuk menjadi sebuah konstruksi, balok-balok kayu kelas satu itu di sambung dengan baut, kekuatan bahan yang dipakai untuk gedung ini juga telah mereka test di lab konstruksi kayu.

Para insinyur inilah yang saat itu menjadi dosen-dosen senior di Fakultas Teknik Unsyiah dan semua perguruan tinggi swasta yang ada di Aceh. Merekalah suhu dari semua insinyur lulusan perguruan tinggi manapun di Aceh.

Karena kualitas rancangannya yang sempurna itulah, gedung ini tidak pernah goyah dihantam angin Banda Aceh yang terkenal kencang akibat uniknya posisi geografis kota ini yang membuat tiupan angin laut dari samudra hindia ditahan oleh gunung-gunung digugusan Bukit Barisan yang tampak menyerupai benteng raksasa mulai dari Saree sampai ke Lho’nga, dipantulkan kembali dengan tiupan yang lebih kencang ke Banda Aceh yang berada di tengah-tengahnya.

Dibalik penampilannya yang tidak artistik karena dirancang oleh insinyur teknik sipil, bukan arsitek, gedung ini merupakan bagian terpenting dari sejarah engineering di Aceh. Di gedung inilah lahir ribuan insinyur hebat yang merancang hampir semua jalanan, jembatan maupun gedung-gedung serta bangunan air di Aceh, juga tempat manajer-manajer dan teknisi di perusahaan-perusahaan raksasa seperti PT.Arun, PT.Pupuk Iskandar Muda, PT.Mobil Oil Indonesia, mendapatkan ilmu engineeringnya.

***

Dalam pelaksanaan penataran P4 ini, di dalam aula sudah disusun tiga baris kursi dan meja belajar yang akan ditempati mahasiswa dari tiga jurusan, teknik sipil, mesin dan kimia. Teknik sipil dapat jatah duduk di bagian kiri ruangan dalam aula, teknik kimia di tengah dan teknik mesin di bagian kanan. Masing-masing blok terdiri dari lima kursi yang disusun berjajar dari depan sampai belakang.

Aku duduk di deretan ke lima dari depan pada blok teknik sipil, bersama tiga orang teman sesama alumni SMA 2 Banda Aceh, satu namanya Syahrial yang dulu di SMA kami panggil Syeh, dia ranking satu di kelas kami, dua orang lagi anak Bio 5 yang dulu sama-sama dengan aku mengelola majalah sekolah Gema SMA Dua, Kades dan Cut Linda yang berpacaran sejak masih SMA dulu, bahkan bisa dibilang mereka berdua adalah sejoli paling heboh di angkatan kami di sekolah dulu.

Yang seorang lagi cewek yang baru aku kenal waktu penataran ini, anak Banda Aceh, tapi sekolah di Bandung, satu sekolah dengan Nike Ardilla, artis paling terkenal masa itu. Namanya Dina yang kami tambahi Gemini di belakangnya, karena bapaknya adalah pemilik Supermarket Gemini, satu dari tiga supermarket yang ada di Banda Aceh, selain Suzuya dan Metro.

Yang namanya Penataran P4 ini, asli membosankan semembosan-bosankannya. Materi yang dibicarakan muluk-muluk semua, sebuah konsep sangat ideal yang hampir tak pernah kita temui dalam kehidupan nyata. Jangankan aku, Kades, Cut Linda dan Dina yang memang so so. Syeh si anak pintar yang sepanjang aku tahu selalu konsentrasi penuh terhadap mata pelajaran apapun yang diajarkan guru di depan kelas, sampai terbawa situasi dan ikut-ikutan bosan juga.

Beberapa orang yang terbilang istimewa, mentransformasikan rasa bosan ini ke dalam bentuk kreativitas mulai yang standar seperti membuat pesawat terbang dari kertas atau main lempar-lemparan kertas yang diremas sehingga berbentuk seperti bola layaknya anak TK, sampai yang mengaplikasikan jiwa seni mulai melalui karya tulis berupa surat cinta dalam bahasa alay dan puisi-puisi ajaib yang tak jelas genrenya.

Atau seperti sekelompok anak teknik mesin dengan semangat mechanical brotherhood-nya mengganti nama yang tertulis di badge mana mereka dengan Kelelawar, Kalong, Kampret dan Batman sebagai kepala keluarga. Keluarga Batman ini, kemana-mana selalu bersama, di ruangan maupun di kantin, mereka tak terpisahkan.

Bukan cuma mereka, nama-nama di badge milik mahasiswa lainpun tidak kalah kacaunya, ada yang namanya sudah berubah menjadi Tom Cruise, Bill Clinton (yang saat itu santer akan mencalonkan diri jadi presiden Amerika) dan lain-lain.

Beberapa nama di-badge itu abadi melekat jadi nama panggilannya untuk seterusnya sampai akhir hayat. Contohnya Escobar, nama gembong narkotika kolombia, yang dipasang oleh teman kami Almarhum Edy Syahputra yang berasal dari Pidie pada badge-nya. Sejak hari itu, orang nyaris lupa kalau ada nama Syahputra di belakang namanya.

Semua orang mengenal dan memanggilnya dengan nama Escobar. Kelak ketika kami mengikuti turnamen sepakbola legendaris Piston Cup, Escobarlah yang menjadi kapten tim sepakbola Sipil 92, tim dengan dengan julukan Cremona yang sempat meraih juara kedua di tahun kedua keikutsertaannya di turnamen ini. Tapi prestasi kami tak pernah bagus lagi sejak Escobar meninggal dunia.

Aku sendiri tidak mengganti nama, karena namaku sendiri sudah cukup ajaib bagi anak-anak Banda Aceh yang tak mengerti bahasa Gayo. Mendengar nama Win Wan Nur di telinga mereka, mengingatkan mereka pada masa kecil waktu belajar membaca huruf hijaiyah, pada bagian huruf waw, wan win wun, sehingga terdengar seperti nama yang tidak serius. Makanya mungkin mereka agak kaget ketika melihat bentukan aslinya.

Pernah tanpa mereka sadari aku mendengar celotehan teman-teman baru ini di kantin “ Ternyata, anak yang namanya Win Wan Nur itu heboh juga orangnya ya” kata mereka.

Tidak mengganti nama di badge atau membuat surat cinta dengan bahasa-bahasa ajaib, bukan berarti kami tidak bosan seperti yang lainnya. Kami ya bosan juga, cuma kami lebih beruntung saja.

Berbeda dengan mereka, yang tak punya pelampiasan dari rasa bosannya, kami punya kesibukan membaca buku cerita, mulai dari novelnya Sidney Sheldon, The God Father-nya Mario Puzzo sampai komik serial Kungfu Boy yang sedang hit saat itu. Bagi generasi 90-an di Banda Aceh, buku-buku ini sangat bernilai, karena sangat susah ditemui di Banda Aceh sebab di ibukota Serambi Mekkah ini tidak ada toko buku besar seperti Gramedia, dan kalaupun ada, tidak banyak anak SMA Banda Aceh yang punya cukup uang untuk membelinya. Karena itulah, meski buku-buku itu sangat terkenal dan banyak yang ingin membacanya, tapi bendanya terbilang langka.

Cut Linda, Kades dan terutama aku sendiri yang memang sangat suka bacaan sepert ini tapi nggak tega kalau mengeluarkan uangku sendiri yang nilainya setara dengan uang makanku selama seminggu untuk membeli buku-buku seperti itu, benar-benar memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Alhasil, selama sebelas hari penataran ini, aku sukses mengkhatamkan 4 seri Novel Sidney Sheldon, 2 seri The God Father-nya Mario Puzzo dan 12 serial komik Kungfu Boy.

Anak teknik kimia yang duduk di blok sebelah kami juga nggak mau rugi. Salah satunya Elwina,anak SMA 3 yang akrab dipanggil Wiwin, tempat duduknya sejajar dengan baris kami.

Karena posisi duduk kami tidak terlalu jauh, kesamaan nama panggilan kami jadi menarik, ketika orang memanggil “Win,” biasanya yang menoleh kami berdua lalu kemudian sama-sama tertawa dan momen itu aku sangat suka.

Wiwin ini aslinya jenis cewek yang kalau ngomong berhadap-hadapan bisa bikin aku tetiba gagap nggak tahu mau ngomong apa, meski sebelumnya semua kata-kata itu sudah tersusun rapi di kepala dan seolah tinggal keluar secara otomatis dari ujung lidah.

Sebagai gambaran, Wiwin tingginya sekitar 160 cm, badannya terbilang kurus. Hidungnya termasuk mancung menurut standar Indonesia, giginya agak berginsul dan kalau bicara suaranya agak bindeng seperti orang pilek. Rambutnya terhitung pendek kalau dibandingkan dengan cewek-cewek Aceh di masa itu, panjangnya sedikit melewati bahu.

Rambutnya itu biasa dia ikat bagian depannya saja supaya tidak mengganggu pandangan, sementara rambut bagian belakangnya dibiarkan tergerai, seperti gaya Andy Lau mengikat rambutnya ketika memerankan Yoko sang Pendekar Rajawali. Gaya berpakaiannya sangat biasa, wajahnya yang oval cenderung tirus, tidak di-make up, dibiarkan apa adanya.

Pintar? ya jelaslah, mana ada orang yang lulus UMPTN di fakultas teknik Unsyiah yang tidak pintar. Sosoknya membuat imajinasi melayang ke cerita cewek-cewek ideal yang digambarkan Gola Gong di Balada Si Roy, novel legendarisnya yang jadi bacaan wajibku semasa SMA.

Tapi gara-gara buku Dina, aku jadi bisa lancar mengobrol dengan dia tiap kali waktu istirahat tiba, Biasanya setelah selesai makan dan minum di kantin Barret, tapi masih ada sedikit waktu kosong sebelum materi berikutnya dimulai, kami mengobrol bersama, tidak berdua saja, tapi ya kami ngobrol. Yang paling banyak kami bahas, cerita komik Kungfu Boy karya Takeshi Maekawa.

Terima kasih Dina, buku-bukumu itu memang benar-benar terbukti sukses menjadi jembatan penyambung dan mempererat tali silaturrahmi.

Tapi, gara-gara buku-buku milik Dina yang dipinjam sambil antri ini sempat juga terjadi insiden yang tak terlupakan.

Ceritanya, hari itu, almarhum pak Agus Salim, Pembantu Dekan III bidang kemahasiswaan sedang menyampaikan materi. Di buku panduan penataran tertulis kalau pak Agus memberikan materi tentang kegiatan ekstra kurikuler di kampus.

Tapi seperti biasa, daripada mendengar omongan dosen pemateri, aku lebih suka membaca lanjutan serial kungfu boy, milik Dina, di seri yang sedang kubaca ini ‘Chinmi’ sedang bertarung dengan seorang pendekar misterius yang memiliki keahlian jurus kodok, dan sedang berusaha mencari titik kelemahan jurus lawannya itu.

Sedang seru-serunya pertarungan Chinmi, eh…seri ini habis dan bersambung ke seri selanjutnya, sementara seri itu sedang dibaca oleh Wiwin di blok teknik kimia yang terpisah sekitar 5 meter dari tempatku duduk.

“Pssst…psst!”, kataku, mencoba memberi kode pada Wiwin yang kulihat sedang memperhatikan Pak Agus bicara, maksudnya mau menanyakan apa bukunya sudah selesai dibaca, tapi mungkin karena dia sedang serius memperhatikan, sepertinya dia tidak mendengar kode yang aku berikan.

Karena nggak didengar, aku lalu menyobek selembar kertas buku tulis, membuat pesawat kertas. Setelah jadi, aku melemparkannya ke arah Wiwin. Tapi sialnya, pesawat kertas yang kulempar, menolak untuk terbang lurus ke arahnya.

Pesawat kertas yang kulempar dengan cukup bertenaga itu justru terbang jauh ke depan ruangan aula, lewat tepat di depan Wajah Pak Agus yang sedang serius menjelaskan materi penataran yang menjadi tugasnya hari ini.

Melihat itu, seisi ruangan tetiba hening. Pak Agus langsung berdiri sambil menggeleng-geleng kepala, turun dari balkon dan berjalan mendatangi arah datangnya pesawat kertas tersebut, Pak Agus berhenti tepat di barisan bangku tempatku duduk.

“Ini bukan di SMA lagi dik, kalian sudah mahasiswa, tolong hargai saya yang sedang mengajar di depan, kalau kamu tidak senang dengan materi saya silahkan kamu keluar dan ikut lagi penataran P4 tahun depan,” sembur beliau, dengan nada suara yang sama sekali tidak menutupi rasa tidak senangnya.

Tapi yang jadi sasaran ketidaksenangan beliau bukan aku, melainkan Syeh, murid tersopan, paling baik budi, tidak sombong dan suka menabung sekelas 3 fisik 2, kelasnya para berandalan SMA 2. Pak Agus yang jelas belum mengenal karakter kami semua, mengira Syeh pelakunya, karena kebetulan dia duduk di bagian paling luar barisan bangku kami. Aku duduk di sebelahnya.

Semua mata para peserta penataran, termasuk Wiwin, mengarah ke bangku tempatku duduk.

Syeh yang dinasehati jadi serba salah, karena bukan dia yang melemparkan kertas itu. Tapi Syeh yang aku kenal sejak kelas dua SMA bukanlah jenis kawan yang mau menjerumuskan kawan. Aku paham betul karakternya dan mudah menebak apa yang dia rasakan, sebenarnya dia sangat bisa mengatakan kalau bukan dia pelaku pelemparan pesawat kertas itu, tapi dia jelas nggak enak sama aku.

Apalagi tidak seperti kami yang sering bolos dan membuat masalah di SMA dan sudah terbiasa ngeles waktu ketahuan, Syeh yang polos, kelihatan gugup menghadapi situasi yang tidak pernah dia alami sepanjang sejarah masa sekolahnya ini.

Kades, Cut Linda dan Dina yang tahu cerita sebenarnya juga diam saja, tidak berani melihat ke arah Syeh, sedangkan Syeh yang dipojokkan cuma bisa diam dan menundukkan kepalanya.

Melihat situasi yang serba tidak enak ini aku cepat-cepat ambil inisiatif buka suara untuk membela. Lalu dengan penuh percaya diri…“Bukan dia yang lempar, pak!” kataku

“Tapi saya lihat arah datangnya dari sini,” bantah Pak Agus. Ya memang sudah benar datangnya dari sini.

“Saya berani sumpah, kepala di bawah Al Qur’an, bukan dia yang lempar pak, ” lanjutku meyakinkan pak Agus dengan wajah sangat serius dan dengan jujur sejujur-jujurnya.

Kuperhatikan Pak Agus melihat ke arahku seperti mencoba membaca ekspresi roman mukaku, apakah aku berkata jujur atau tidak.

“Sumpah pak, dari tadi saya di samping dia, saya lihat sendiri bukan dia yang lempar Pak,” kataku lagi menegaskan pernyataanku sebelumnya dengan lebih percaya diri dan wajah yang lebih serius dan jujur.

Kulihat Pak Agus diam, sepertinya dia percaya, walaupun kulihat dari raut wajahnya kalau beliau masih tidak senang, tapi Pak Agus kehabisan kata-kata tidak tahu harus berkata apa lagi. Sebagai seorang muslim yang taat, beliau tahu kalau bersumpah di bawah Al Qur’an bukanlah sesuatu yang main-main, tidak ada orang Aceh yang berani melakukannya kalau dia tidak benar-benar yakin pada apa yang dikatakannya. Apalagi beliau sendiri memang tidak tahu pasti siapa pelempar pesawat kertas tadi.

“Ya sudah kalau begitu, tapi kalian jangan ikut-ikutan melempar-lempar kertas seperti orang itu tadi ya!” kata Pak Agus akhirnya.

“Ya Pak…” sahutku dengan tegas, lalu masih dengan perasaan tidak senang Pak Agus kembali ke atas balkon untuk meneruskan penyampaian materinya.

Ketika Pak Agus sudah membalikkan punggungnya, Syeh menginjak kakiku dengan geram dan menunjukkan wajah kesalnya.

“Sialan lah kee Win, gara-gara kee, aku pulak yang dimarahi, ” bisiknya, aku cuma nyengir
“Sorry Syeh, ” ucapku pelan. Habis mau gimana lagi.

“Gila ko, Win,” kata Kades menimpali dengan berbisik juga setelah Pak Agus kembali duduk di balkon.

“Ya, betul kan memang, bukan si Syeh yang lempar, nggak ada bohong kan aku,” sahutku dengan mimik wajah sok polos.

“Memang bukan dia, tapi Ko yang lempar,” sahut Kades tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Aku sekali lagi nyengir, Cut Linda dan Dina cekikikan menahan tawa.

***

Saat yang paling kami tunggu, para mahasiswa baru adalah ketika lonceng sebagai tanda istirahat dibunyikan. Ketika lonceng berbunyi semua mahasiswa baru berseragam hitam putih ini seperti ayam broiler di peternakan besar di waktu pemberian jatah makan, berhamburan ke luar menuju kantin.

Sebagian memilih pergi ke kantin Kosenik yang letaknya di belakang aula. Di situ juga ada Mushalla yang bentuknya seperti dangau di sawah beratapkan daun rumbia. Cewek-cewek lebih suka kantin ini. Tapi sebagian lagi, terutama sosok-sosok yang unik, lebih suka duduk di kantin Barret, yang merupakan singkatan Bar Restaurant Teknik.

Bangunan kantin Barret ini sebenarnya adalah ujung koridor tempat parkir tanpa dinding, yang dipagari sampai kira-kira setinggi bahu dengan papan tegak selebar 10 cm dengan jarak antar papan selebar itu juga. Satu-satunya bagian kantin ini yang ada dindingnya adalah dinding beton dicat kuning yang sudah mengkelupas di sana sini.

Lantai kantin ini, dibuat dari semen yang diplester, lebih tinggi dua anak tangga dari bagian koridor parkir yang lain. Kursi dan meja di kantin ini adalah kursi kuliah yang sudah tidak terpakai lagi atau bangku kayu dari papan tebal panjang yang dipaku ke balok kayu yang berfungsi sebagai kaki bangku. Suasana kantin ini layaknya saloon-saloon di film western yang dibintangi Franco Nero.

Bang Man, penjual sekaligus pemilik kantin ini, juga tak kalah nyentrik dengan bangunan kantinnya. Motto pembeli adalah raja, tidak berlaku di kantin ini. Bang Man yang menjual kopi dan minuman lainnya dan rekannya Bang Lah yang berjualanl Mie, jualan hanya tergantung Mood saja.

Jika suatu hari Bang Man atau Bang Lah merasa sudah cukup dapat uang untuk hari itu, maka dia akan menutup kantinnya, bukan menutup dalam arti yang sebenarnya karena kantin ini tidak ada dinding dan pintu yang ada daunnya. Menutup kantin artinya, kegiatan berjualannya berhenti.

Tidak berjualan bukan berarti mereka ada kegiatan lain di luar yang tidak bisa ditinggalkan. Meski sudah memutuskan untuk tidak berjualan lagi hari itu, mereka tidak kemana-mana, mereka tetap di kantin itu main domino atau main truf dengan mahasiswa angkatan lama. Rengekan anak-anak yang kelaparan dan memesan Mie, tidak mampu menggoyahkan ‘iman’ mereka dari keasyikannya.

Plang nama kantin ini dibuat oleh bang Joel Jazz, anak teknik Mesin 86, mahasiwa yang paling legendaris konyol dan ngocolnya.

Meski ketika perkuliahan sudah dimulai aku lebih sering nongkrong di Barret, tapi semasa penataran, aku lebih suka ke kantin kosenik yang letaknya di bagian belakang gedung dekanat. Aku suka di sini karena ada toiletnya, tapi jangan bayangkan seperti toilet standar, ada ruangan, ada bak air dan ada atapnya, toilet milik Fakultas Teknik ini beratapkan langit dengan dinding pembatas beton setinggi bahu dan hanya bisa untuk buang air kecil untuk cowok. Sedangkan untuk cewek, sampai hari ini masih jadi misteri bagi saya, kemana mereka pergi kalau mau buang air. Apakah meminjam toilet dosen atau bagaimana.

Di kantin Kosenik, aku biasanya memesan ‘teh dingin,’ yang kalau di Banda Aceh berarti teh manis pakai Es dalam gelas besar. Ini berbeda dengan di Medan yang ‘teh dingin’ berarti air putih, biarpun air putihnya hangat, di Medan namanya tetap teh dingin, mereka menyebutnya ‘teh dingin hangat’, kalau air putih panas, mereka menyebutnya ‘teh dingin panas.’

Kalau sedang lapar kadang aku memesan bakso, yang penjualnya seorang bapak setengah baya yang berasal dari Wonogiri, Jawa Tengah yang kupannggil panggil Lilik. Aku sudah akrab dengannya sejak hari pertama penataran karena aku mengobrol dengannya menggunakan bahasa Jawa yang aku pelajari dari pergaulan dengan teman-teman di Kampung Damaran semasa aku sekolah di SD Karang Jadi yang sekarang sudah masuk wilayah kabupaten Bener Meriah.

Berbeda dengan di Takengen, di Banda Aceh tidak terlalu banyak orang Jawa yang sudah menetap turun termurun. Jadi ketika bertemu aku yang berbahasa Jawa, Lilik ini seolah merasa bertemu dengan teman sekampung.

Mengenang suasana kantin di masa penataran ini, sekarang jadi lucu mengingat gaya teman-teman yang perokok di masa penataran ini. Waktu SMA umumnya merokok masih dilarang, kecuali kami di SMA 2, sebelum kepala sekolah berganti ke Pak Sanusi Harun, kawan-kawanku masih biasa merokok di kantin sewaktu jam istirahat, dilihat guru ya santai saja. Beda dengan anak SMA 3.

Nah di sini, karena sudah merasa bebas dari bangku sekolah yang kaku dan mengikat, mereka menikmati rokoknya layaknya seorang perokok pro, dengan asap yang mengepul dari mulut bercerita tentang suasana penataran dan juga suasana sekolah ketika masih SMA dulu, gaya mereka ketika sedang bercerita seolah-olah mereka sudah sangat dewasa padahal jelas dibuat-buat untuk menegaskan personal branding.

Banda Aceh yang bukan daerah perlintasan, membuat orang pada masa itu jarang keluar kota. Di sini pengalaman berkunjung ke kota besar menjadi prestise tersendiri yang membuat pelakunya dipandang tinggi.

Keadaan ini kerap dieksploitasi oleh mereka yang sudah pernah keluar ke kota yang lebih besar untuk menegaskan posisi kelas sosialnya. Di Banda Aceh pada masa itu, pernah ke Medan saja sudah dipandang hebat, apalagi ke Jakarta, apalagi ke luar negeri. Dina yang sekolah di Bandung misalnya, dipandang oleh sebagian besar kami seperti ada di level yang berbeda, seolah dia berasal dari planet lain yang memiliki peradaban yang lebih tinggi, ada rasa minder yang ditutupi.

Naldi yang duduk di belakang kami, salah satu yang mengeksploitasi pengalaman seperti ini, di waktu istirahat, dia menceritakan bagaimana dia bersama teman-temannya jalan-jalan ke Medan naik sepeda motor, belanja di mall-mall di Jakarta, selama liburan panjang saat menunggu pengumuman UMPTN.

Sepeda motor sendiri adalah prestise tersendiri, tidak banyak mahasiswa teknik di masa kami yang punya sepeda motor. Naldi adalah seorang dari yang segelintir itu, dia ke kampus naik Honda GL Pro.

Rokok sendiri adalah simbol pergaulan. Sebagai simbol pergaulan, rokok-rokok inipun ada kasta-kastanya.

Kalau di teknik pada masa itu, kasta rokok terendah adalah Commodore, ini rokok yang masih so so kalau dikeluarkan, nggak malu-maluin, tapi tidak istimewa. Untuk yang kelasnya di bawah Commodore, sebut saja Panamas, Kafilah, apalagi Panama, tidak akan ada yang berani mengeluarkan.

Di kasta menengah ada, Djarum Super, Gudang Garam Surya dan Gudang Garam International yang akrab disebut GP, Sampoerna Mild saat itu belum sepopuler sekarang. Sementara untuk kasta tertinggi, waktu itu bukan Marlboro atau Lucky Strike, tapi Dji Sam Soe rokok paling mahal saat itu.

Naldi merokok Dji Sam Soe.

Aku tahu, banyak yang berasal dari daerah bahkan yang anak Banda Aceh sendiri yang diam-diam merasa kagum sekaligus minder mendengar cerita Naldi, tapi gengsi buat ditampakkan secara terus terang. Ini bisa terbaca bagaimana mereka terus merapat saat Naldi bercerita.

Supaya terlihat ‘cool’ dan gaul, aku yang sebenarnya tidak merokok yang bahkan sampai hari ini tidak tahan dengan bau asap rokok, juga ikut merokok. Tapi berbeda dengan teman-teman yang memang perokok sejati, aku yang punya prinsip “merokok untuk gaya” tidak pernah menghisap asapnya sampai masuk ke paru-paru. Aku hanya mengisap sampai di dalam mulut saja, layaknya orang mengisap cerutu.

Tapi karena tidak pernah membeli, rokok yang aku hisap selalu yang ditawarkan kawan-kawan, jadinya lama-lama aku jadi malu sendiri terutama sama Naldi yang rokoknya Dji Sam Soe, karenanya mulai hari ketiga, aku juga datang membawa rokok sendiri.

Entah mungkin sudah bawaan lahir, sejak kecil aku tidak pernah suka dengan sesuatu yang terlalu biasa alias banal, ketika memilih rokok yang akan dibawa ke kampuspun aku tidak mau membawa rokok yang terlalu umum, aku ingin rokok yang berbeda, tapi ketika mengisapnya tidak tampak murahan.

Waktu itu, bahkan sejak masih SMP aku sangat tertarik melihat iklan Wismilak, yang menampilkan personel Kla Project, Katon, Lilo, Adi dan Ari sebagai bintang iklannya. Pilihan yang menunjukkan dengan jelas, citra apa yang ingin mereka tampilkan dengan mereknya. Bungkusnya terlihat lux dan harganya juga lumayan. Tapi alasan yang paling penting di balik semua keputusan ini, tidak seorangpun kawanku di ruangan penataran ini yang menghisap Wismilak sebagai rokoknya.

Berbeda dengan rokok-rokok merk lain, Wismilak juga tidak dijual di kios-kios rokok kecil, rokok ini hanya bisa dibeli toko-toko besar seperti Sibun Sibreh, Gemini atau Suzuya. Aku sendiri membelinya di Suzuya, Pasar Aceh Shopping Center.

Ketika rokok ini aku bawa ke kampus, efeknya memang seperti yang aku rencanakan, dengan rokok ini aku jadi jadi tampak beda sendiri dan nggak malu-maluin. Tapi efek dari “tidak seorangpun kawanku di ruangan penataran ini yang menghisap Wismilak sebagai rokoknya,” benar-benar terbalik dengan yang aku bayangkan.

Kalau sebelumnya aku bayangkan, karena kawan-kawanku tidak ada yang merokok Wismilak, tidak akan ada yang minta rokok padaku, jadi karena aku nggak benar-benar merokok, aku pikir sebungkus itu cukuplah untuk seminggu.

Tapi yang terjadi malah sebaliknya, karena Wismilak ini sangat tidak biasa, malah semua teman yang ada berebut ingin mencoba. Alhasil, hanya dalam hitungan menit, ludes sudah satu bungkus rokok yang aku bawa.
Tidak seperti aku, Syeh tetap memilih tidak merokok dan hasilnya juga jelas, dia jadi kurang bisa bergaul dan sedikit mendapat teman, paling yang dia kenal hanya yang duduk disekitar bangku saja, itupun tidak terlalu akrab, sementara aku, dalam lima hari sudah kenal hampir semua peserta penataran, bukan hanya anak sipil, tapi juga anak mesin dan anak kimia.

*Penulis adalah novelis pengarang Romansa Gayo dan Bordeaux

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.