Antara Malapetaka Cinta, Bumbu Masam Jing dan Pembatasan Kesaktian

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Dalam sejarah yang sengaja disamarkan; hiduplah dengan damai dua orang penasehat raja atau dulu disebut mufti. Seorang penasehat tinggal di barat dan seorang lagi di timur. Semula keadaan biasa-biasa saja, masing-masing larut dalam tugas “kepenasehatan”. Sampai kemudian penasehat raja dari timur jatuh cinta pada putri raja dan ingin melamarnya.

Bagi raja tidak menjadi soal. Siapapun yang menjadi menantunya akan diterima dengan lapang dada; syaratnya harus terlebih dahulu mendengar nasehat mufti yang tinggal di barat. Sayang seribu kali sayang, setelah diselidiki luar dan dalam karena sesuatu dan lain hal, ternyata penasehat raja dari timur tidak boleh menikah dengan putri raja.

Raja pun mengeluarkan titah; lamaran ditolak dengan cara bijaksana. Tentu saja, penasehat raja dari timur merasa sakit hati lantaran lamarannya ditolak akibat pendapat penasehat raja dari barat. Penasehat raja dari timur pun membangun siasat untuk balas dendam, dengan mengirim pengikutnya untuk mencatat semua ceramah penasehat raja dari barat yang lebih banyak berbicara tentang ilmu hakikat.

Berdasarkan bukti dan saksi lengkap, penasehat raja dari timur mengeluarkan fatwa bahwa ceramah-ceramah penasehat raja dari barat bertentangan dengan syariat dan sesat lagi menyesatkan serta harus dihukum mati.

Raja pada waktu itu, meskipun faham tentang ilmu hakikat, tetapi syariat harus ditegakkan, maka menghukum penasehat raja dari barat dengan hukuman mati. Tidak hanya berhenti disitu, murid-muridnya yang berjumlah lebih dari 300 orang juga mengalami nasib yang sama; juga menjalani hukuman mati dan kitab-kitabnya dibakar meski ada sebagian yang diselamatkan.

Sungguh tragedi malapetaka cinta itu, pernah terjadi di negeri kita yang dibungkus atas nama “tingkat kajian keagamaan”. Sehingga kalau pada saatnya terjadi satu pertumpahan darah, patut dicurigai ada unsur “cinta” di dalamnya. Meskipun cinta bukan satu-satunya penyebab malapetaka, tetapi ada dua lainnya yang menduduki tiga besar penyebab malapetaka itu, yaitu; harta dan tahta.

Malapetaka cinta juga pernah terulang kembali, yang korbannya mencapai ribuan jiwa. Ceritanya, raja membawa “tukang bangunan” dari luar negeri. Sang raja menikahkan dengan orang kampung dan lahirlah seorang anak laki-laki yang cerdas.

Pada saat Negerinya diinvasi, raja beserta jajarannya mengungsi ke tengah hutan belantara. Aneh, di manapun bersembunyi musuh selalu mengetahuinya yang menyebabkan beberapa pasukan raja terbunuh. Selidik punya selidik, ternyata “sang tukang” telah menjadi “cuak”. Raja pun membuat siasat untuk menangkap tukang itu dan membunuhnya di depan anaknya.

Sejak ayahnya dibunuh, sejak itu pula “anak laki-laki cerdas” itu sebenarnya sudah menanam benih dendamnya pada raja dan pengikutnya.

Waktu demi waktu, “anak laki-laki cerdas” itu mulai tumbuh dewasa dan memang tergolong anak pinter dalam politik dan agama. Sehingga dengan bakat kepintarannya, dia merasa percaya diri untuk melamar putri raja, tetapi alangkah sakit hatinya lamarannya ditolak mentah-mentah dengan alasan dia anak tukang yang tidak pantas bersanding dengan anak raja.

Dendamnya kepada raja dan pengikutnya semakin subur; sehingga “anak laki-laki yang cerdas” dan sudah dewasa itu membuat siasat dan membangun opini bahwa raja dan pengikutnya telah bekerja sama dengan musuh dan harus dibunuh. Rakyat termakan dengan ucapannya sehingga raja dan pengikutnya diburu dan dibunuh. Fatwanya sangat tegas, haram menikah dengan anak raja beserta anasirnya.

Endingnya sungguh nyata; pada akhirnya soal wajib membunuh dan haram menikahi turunan raja itu ternyata juga soal “malapetaka cinta”. Rakyat pun mulai kendur “perjuangannya” dan pelan-pelan mulai sadar, ternyata “laki-laki yang pinter dan sudah dewasa itu” pada akhirnya menikahi putri raja yang semula menolak lamarannya. Orang Melayu bilang “cakap tidak serupa bikin”.

Sejarah kelam itu patut dijadikan pelajaran masa depan anak cucu kita. Tidak menutup kemungkinan malapetaka cinta terulang kembali. Walaupun secara trah kerajaan tidak ada, tetapi ada satu dua perempuan diciptakan “setara” dengan “ratu”.

Orang-orang di kampung saya mengibaratkan kata “setara” seperti masakan dengan bumbu “masam jing” yang setara khasiatnya dengan “jamu gendong”.

Patutlah pada masa kita sekarang; Allah Yang Maha Kuasa menentukan dengan membatasi kesaktian kepada kita semua karena dikhawatirkan akan terjadi pemusnahan massal terhadap manusia. Apalagi kecenderungan manusia sekarang kurang kesabarannya. Sedikit sakit hati, terutama “soal cinta” akan langsung menggunakan keahliannya untuk balas dendam.

(Mendale, 16 Januari 2021)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.