Konflik Pariwisata Sudah Terjadi : Segera Buat Regulasi, Jangan Malu Belajar dari Reje Misriadi

oleh
Sakah Satu Objek Wisata Danau Lut Tawar. (Ist)

Oleh : Win Wan Nur*

14 November 2014, saya diundang oleh Maharadi, pemilik Café Bayaqmi di Temung, Kebayakan untuk mengisi Diskusi Sabtuan yang hari itu merupakan edisi ke-30.

Pada acara yang diberi judul ‘Strategi Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal” yang dimoderatori oleh Razikin ini, saya bersama Gembel sang pemilik Café Seladang dan Rubama yang mengelola Kampung Nusa didapuk menjadi pembicara.

Berbagai persoalan terkait persoalan yang muncul seiring dengan berkembangnya dunia pariwisata di Aceh Tengah dan Gayo secara umum, mengemuka dalam diskusi ini.

Saya pribadi, setelah menyaksikan sendiri bagaimana perkembangan pariwisata Aceh Tengah belakangan ini, menyorot pada besarnya potensi konflik yang akan terjadi, seandainya industri pariwisata berjalan secara autopilot, tanpa ada intervensi pemerintah seperti sekarang ini.

Kekhawatiran saya ini didasarkan pada khittah manusia yang tidak bisa menerima kenyataan ketika dia merasa ikut berkorban tapi tidak ikut mendapatkan keuntungan, terutama secara ekonomi dari berkembangnya sebuah usaha.

Apa yang saya saksikan di pelbagai daerah pariwisata di Indonesia, baik di pulau Jawa, Bali sampai Lombok. Banyak terjadi, ketika pariwisata berkembang. Yang menikmati lezatnya keuntungan ekonomi adalah orang dari luar daerah. Penduduk setempat yang notabene bersentuhan dan memiliki ikatan emosional dan sejarah secara langsung dengan objek wisata yang dikembangkan, justru tidak dilibatkan dalam peran yang cukup signifikan. Hal-hal seperti inilah yang biasanya menimbulkan friksi dan gejolak, akibat masyarakat setempat diperlakukan tidak adil.

Salah satu hal yang tekankan dalam diskusi itu adalah pentingnya regulasi soal pariwisata ini untuk segera dibuat, karena kalau tidak, kita akan segera menghadapi konflik akibat adanya gesekan antara pelaku wisata dan masyarakat setempat, saat ini konflik sudah di depan mata.

Dalam sesi tanya jawab, Razikin selaku moderator menanyakan kepada saya

“Kalau situasi seperti ini terus dibiarkan, apakah menurut abang dalam waktu sepuluh tahun dari sekarang, akan sudah ada konflik antar masyarakat?”

Saat itu saya menjawab “Sepuluh tahun adalah waktu yang sangat lama, kalau situasi seperti ini terus dibiarkan bahkah waktu lima tahun pun sudah sangat lama. Konflik akan terjadi, jauh lebih cepat dari itu.”

Selesai acara itu, apa yang saya utarakan dalam diskusi itu saya tuangkan dalam artikel yang dimuat oleh LintasGAYO.co dengan judul : Pemkab Aceh Tengah Abai Membuat Regulasi Pariwisata, Konflik Antar Masyarakat di Depan Mata

29 November 2020, tepat seminggu setelah tulisan itu saya publikasikan, Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji’un, pariwisata Gayo berduka. Seorang penjaga objek wisata, meregang nyawa akibat dikeroyok oleh warga setempat.

Sampai saat ini, penyebab pasti peristiwa memilukan ini belum diketahui secara persis. Tapi dari komentar-komentar yang kita baca di media sosial pada tautan media yang memberitakan kejadian tersebut, kita bisa membaca kalau tragedi tersebut terjadi akibat masyarakat yang tinggal di tempat terjadinya peristiwa itu merasa terganggu atas aktivitas pengunjung lokasi wisata yang ada di kampung mereka.

Salah seorang yang berkomentar di tautan tersebut menyatakan kalau peristiwa tragis yang sama-sama tidak kita inginkan ini, terjadi karena masyarakat setempat merasa pengelola lokasi wisata membiarkan pengunjungnya menimbulkan suara rebut sampai larut malah, padahal mereka sedang melakukan tahlilan. Di mata penduduk setempat, itu adalah sebuah penghinaan.

Apakah korban benar tidak menghormati aktivitas keagamaan penduduk setempat ? Apakah korban juga tahu di kampung itu ada tahlilan ? Ini semua masih tanda tanya besar dan korban yang sudah menghadap sang Khalik tak lagi dapat ditanyai.

Tapi kita jelas bisa dapat dengan mudah menyimpulkan kalau peristiwa seperti ini bisa terjadi, tidak lain dan tidak bukan karena tidak adanya regulasi. Kalaupun sudah ada regulasi, tapi sosialiasinya tidak berjalan baik.

Hal seperti ini sangat patut kita sayangkan, karena sebenarnya dalam urusan mengelola pariwisata dengan meminimalisir konflik dengan masyarakat setempat, Pemkab dan anggota DPRK yang mengurusi bidang terkait, sebenarnya cukup beruntung. Untuk mengambil contoh pengelolaan wisata yang diterima baik oleh masyarakat, mereka sebenarnya tidak perlu repot-repot melakukan studi banding ke daerah yang jauh. Mereka cukup melihat pengelolaan wisata di Kampung Bale yang berada di bawah komando Reje Misriadi sebagai role model. Di kampung ini pariwisata bisa berkembang tanpa menimbulkan gesekan, sampai diakui sebagai salah satu contoh ideal pengelolaan wisata berbasis kampung secara nasional. Sehingga aneh, kalau Pemkab Aceh Tengah melalui Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga tidak mengadopsi pola-polanya.

Sekarang, konflik antar masyarakat akibat berkembangnya pariwisata sudah bukan lagi potensi, tapi sudah terjadi di depan mata. Seorang anak manusia sudah meregang nyawa.

Para pengambil kebijakan terkait pariwisata di Gayo sudah tidak punya waktu lagi untuk berleha-leha.

Harapan saya, segeralah ambil tindakan cepat, jangan malu, gengsi atau ‘terih gere ker’ untuk belajar dan bertanya pada Misriadi karena meskipun mungkin dari segi jabatan maupun tingkat pendidikan formal, Misriadi jauh berada di bawah para pengambil kebijakan pariwisata Aceh Tengah, tapi terkait pariwisata, dia bukan lagi orang yang sekedar bicara, dia sudah terbukti berhasil mengelola pariwisata di kampung yang dipimpinnya dengan tetap menjaga keharmonisan dalam masyarakatnya. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.