Pertanyaan-Pertanyaan Filsafat

oleh

Oleh : Husaini Muzakir Algayoni*

Anak-anak sering mengajukan pertanyaan kepada orang dewasa, ia lontarkan pertanyaan tersebut secara alamiah. Hasrat ingin tahu yang kuat membuat anak-anak cerewet bertanya dan pertanyaannya pun mengandung makna filosofis yang sulit dijawab oleh orang dewasa.

Anak-anak mengajukan pertanyaan seperti kenapa adik si fulan tiba-tiba ada? dari mana datangnya adik si fulan? Apakah adik si fulan turun dari pesawat atau kapan turunnya? Kenapa si fulan bisa meninggal? Dan seterusnya.

Apakah anda pernah bertanya seperti itu semasa kecil atau pernah mendengar pertanyaan dari anak-anak yang membuat anda sulit menjawabnya?

Nah, apa yang anda pikirkan ketika anak-anak mengajukan pertanyaan?

Bertanya adalah langkah awal dalam dunia filsafat, kajian ini merupakan rasa ingin tahu yang kuat sampai ke akar-akarnya (radik), mendalam, sistematis, dan komprehensif. Dari itu, Aristoteles mengungkapkan bahwa filsafat diawali dengan bertanya-tanya.

Anak-anak gigih bertanya karena rasa ingin tahunya yang kuat dan penasaran terhadap apa yang dilihatnya. Nah, bagaimana dengan orang dewasa sekarang ini? Apakah rajin bertanya atau sudah mulai bosan dengan bertanya karena merasa sudah tahu dan paling tahu atau hanya sekedar sok tahu?

Pertanyaan dari orang dewasa atau mahasiswa jauh lebih luas perspektifnya, mencari tahu dengan pengetahuan literasi tulisan (membaca) dari berbagai sumber dan membaca secara sintopikal (komparasi/perbandingan) atau mencari tahu lewat pengetahuan lisan (mendengar) dan bertanya kepada guru yang lebih tahu.

Adapun tujuan dari bertanya itu sendiri adalah supaya tahu, kalau sudah tahu tidak mudah menyalahkan yang lain dan terhindar dari berita hoaks. Sekarang ini hidup di zaman penuh bahaya dengan segala informasi adu domba dan fitnah, dari itu sungguh memalukan bagi mahasiswa bisa terpapar hoaks, generasi Indonesia tersebut bisa jadi sedang malas bertanya atau minimnya literasi filsafat.

Filsafat membantu seseorang menelaah sesuatu dengan baik sebelum bertindak atau dengan kata lain bahwa berpikir dahulu sebelum berbicara/bertindak (think today and speak tomorrow), bukankah hari ini kita lebih suka berbicara/bertindak terlebih dahulu dengan sesuka hati yang berujung pada kegaduhan dan keonaran. Setelah hancur berantakan baru berpikir, kenapa ini bisa terjadi?

Dari tulisan-tulisan sebelumnya dalam pembahasan filsafat di media ini, saya sudah menulis bahwa bertanya erat kaitannya dengan dunia filsafat. Dalam sejarah filsafat, filsuf pertama yang mengajukan pertanyaan kritis adalah Thales (624-546 SM) atau dikenal dengan filsuf alam (pra-Socrates). Bapak filsafat ini mengajukan pertanyaan ketika itu apa sebenarnya bahan alam semesta ini?

Begitu juga dengan Nabi Ibrahim as, pernah mengajukan pertanyaan filosofis. Nabi Ibrahim sering berpikir dan merenungkan berhala-berhala dari batu yang dipuja dan disembah oleh orang-orang masa itu. Kemudian timbul pertanyaan dari Nabi Ibrahim, mengapa benda-benda yang tidak dapat berbuat apa-apa disembah? Di manakah Tuhan yang sebenarnya?

Dunia Sophie, novel populer bergenre filsafat karya Jostein Gaarder disebutkan bahwa cara terbaik untuk mendekati filsafat adalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan filosofis. Bagaimana dunia diciptakan? Adakah kehidupan setelah kematian?

Pertanyaan-pertanyaan aneh juga bisa saja mengemuka ke dalam pembahasan filsafat dan teologi serta menambah aura ngeri-ngeri sedap belajar filsafat, seperti pertanyaan jika Allah memang Mahakuasa, mampukah Allah memasukkan bumi dan seisinya ke dalam sebutir telur, tanpa telur itu dibesar-besarkan atau bumi itu dikecil-kecilkan?

Sementara itu para filosof mengajukan pertanyaan seperti apa itu kebahagiaan, apa perbedaan antara ada (eksis) dan tidak ada (tidak eksis), apa yang terjadi di setiap perubahan, buruk dan baik, apa itu manusia, dan lain sebagainya. Ada juga yang bertanya apa itu cinta, seperti banyak dijelaskan para filosof tentang cinta.

Mana lebih mudah mengajukan pertanyaan secara filosofis atau menjawabnya? Tentunya lebih mudah mengajukan pertanyaan dibandingkan dengan menjawab pertanyaan, kenapa harus malas bertanya?

Bukankah mencari sesuatu itu diawali dengan mengajukan sebuah pertanyaan? Setidaknya bertanya itu untuk diri sendiri dalam rangka mencari tahu agar tahu sehingga tidak mudah dibohongi (terpapar wabah hoaks) atau lebih mendalamnya lagi bertanya secara filosofis yang mempunyai tingkatan-tingkatan bertanya dalam ranah filsafat.

Seperti pertanyaan ada apa dan apa yang terjadi di dunia ini atau apa yang seharusnya dilakukan dan dicari oleh manusia, ini merupakan pertanyaan tingkat pertama. Karena ada pertanyaan tingkat pertama, maka tentu ada pertanyaan-pertanyaan tingkat kedua yang dapat ditanyakan. Mortimer Adler dan Charles van Doren (1972).

Bertanya itu sendiri bermula pada masa Socrates (Yunani Kuno) yang disebut dengan zaman mengajukan pertanyaan. Jangan sampai Socrates tertawa melihat manusia hari ini (modern-postmodern) malas bertanya untuk mencari tahu.

Nah, pertanyaan-pertanyaan filsafat, selamat bertanya!.

*Penulis, Kolumnis LintasGAYO.co. Mahasiswa Prodi Ilmu Agama Islam (Konsentrasi Pemikiran Dalam Islam) Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh.


Ikuti channel kami, jangan lupa subscribe :

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.