Kisah Putri Burung Mergah dan Gelingang Raya (Bag.13) : Pedagang Jujur dan Bukit Kesejatian Cinta

oleh

[Kisah]
Putri Burung Mergah Dan Gelingang Raya
Bagian. 13
Pedagang Yang Jujur dan Bukit Kesejatian Cinta

Diceritakan kembali oleh:
Aman Renggali

Rasa penasaran Gelingang Raya dari hari kehari kian membesar. Bahkan dari rasa penasarannya telah menjelma menjadi semacam sebuah teror baginya. Bagaimana tidak, jam tidurnya semakin singkat karena kepikiran dari malam kemalam.

Hari-harinya yang biasanya tanpa beban pikiran kini dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tentang sosok yang memasak dan menyiapkan makanan di rumahnya. Meskipun ia menyadari misteri selama ini telah membuat pekerjaan hariannya semakin terasa ringan karena Hayya ibunya terurus dengan baik. Berat pada bagian pikiran namun ringan pada tugas dan kewajibannya yang lain.

Hari ini ia telah menyiapkan diri untuk membawa hasil pertaniannya ke pasar kerajaan. Sudah dua minggu ini ia tidak melihat kota, sudah dua minggu ini pula ia tidak melihat keramaian dan keriuhan pasar sebagai sebuah hiburan yang dapat melepaskan lelah pikirannya selama ini.

Meski ia lahir dan besar di Bukit Gentala yang jauh dari pusat Kerajaan Meluem, bukan berarti ia tidak menyukai keramaian orang-orang saling jual beli.

Di pasar ia dapat melihat berbagai keanehan manusia hidup, ada yang dengan bermodal keberanian dapat hidup dengan memungut pajak pedagang untuk kerajaan. Ada yang hidup dengan menjual tenaga sebagai buruh angkut, ada yang dapat hidup meski dengan hanya memungut sisa-sisa barang pedagang yang sudah tidak di jual.

Bahkan ada juga yang hanya bermodal lapak dan menampung barang titipan dapat hidup dengan tidak kekurangan.

Kasha, salah seorang pedagang yang berada di sudut pasar adalah salah seorang yang hanya punya lapak saja. Bentuknya empat persegi dengan menghadap ke jalan utama kerajaan. Setiap dagangan Kasha bukanlah barangnya sendiri, melainkan barang-barang yang dititipkan orang kepadanya untuk dijual.

Ia hanya mengambil keuntungan sedikit dari hasil penjualannya, sementara sisanya seluruhnya ia serakan kepada yang menitip barang. Orang-orang, terutama para petani menjadi langganannya, dan para petanipun mempercainya.

Sebenarnya Kasha hidup dan berjualan hanya dengan modal kepercayaan, bukan sepenuhnya dari hasil barang dagangannya sendiri. Sebab jika tidak ada orang yang mempercayainya tentu tidak akan ada barang yang akan ia jual dan sudah tentu ia akan bangkrut dengan sendirinya.

Sudah puluhan tahun Kasha menggeluti usaha perdangangan di sudut pasar Kerajaan Meluem yang ramai, bahkan sejak ia berusia belasan tahun bersama mendiang ayahnya. Kini ia sudah mempunyai delapan cucu dari lima anak-anaknya. Bisa dibayangkan betapa Kasha sangat setia dan betah menunggui lapak warisan ayahnya itu. Warisan yang menjadi amanah sekaligus menjadi sumber hidup keluarganya.

Setiap penduduk pasti kenal dengan Kasha, sang pedagang yang ramah dan jujur. Ia sangat hafal nama-nama tempat dan nama-nama petani se Kerajaan Meluem, meskipun ia tidak pernah menjejakkan kaki di tempat yang ia sebut atau sekedar melintas.

Kasha memang penunggu pasar kerajaan yang tidak pernah kemana-mana, tetapi ia tau semua wilayah kerajaan yang mempunyai lahan subur berikut nama-nama petaninya. Semua itu ia ketahui dari pergaulannya dengan orang-orang yang menjadi pelanggannya.

Seperti hari-hari sebelumnya, pagi itu dengan tangan rentanya Kasha membuka pintu lapak dagangannya yang terbuat dari papan yang juga sudah berusia. Ia membenahi sejumlah wadah dan membenarkan posisi sejumlah bakul yang terbuat dari jalinan kulit bambu.

Setelah itu ia duduk santai di atas kursi rotan warna kuning tua menghadap ke jalan dan menyapa siapa saja yang melintas. Satu cara bagi Kasha dalam berdagang dan menarik para pembeli. Ia melakukan ritual itu sejak ia masih kanak hingga menjadi kakek, ia melakoni itu juga dari pagi hingga menjelang senja.

Hari itu matahari masih sepenggalah, di langit Kerajaan Meluam dan Ibu Kota Tampon langit terlihat cerah dengan awan gemawan putih bergumpal mengitari. Kasha melihat seorang pemuda tengah berdiri sambil mengusap keringat di seberang jalan. Di sisi kanan pemuda itu terlihat sekeranjang bawaan dibiarkan tergeletak begitu saja. Kasha menyapa dan memanggilnya mampir.

“Wahai pemuda gagah duduk dan istirahatlah disini. Siapakah nama dan dari mana asalmu”, Tanya Kasha ramah.

“Maaf kek saya numpang istirahat. Nama saya Gelingang Raya, saya dari Bukit Gentala”, jawab Gelingang Raya sambal menunduk tanda ucapan terimakasih.

Sejenak Kasha agak terpaku mendengar pengakuan spontan dari pemuda yang baru ia kenal tersebut. Ingatannya masih jernih, lalu dengan girang sambil menunjuk dengan kelima jemari tangan kanannya kea rah sang tamu.

“Oo Bukit Gentala, bukit kesejatian cinta”, celetuk Kasha dengan muka berbinar.

Mendengar ucapan si kakek tua itu Gelingang Raya sempat tertegun. Sepanjang hidupnya baru kali ini ia mendengar sebutan untuk Bukit Gentala sebagai bukit kesejatian cinta. Tetapi lelahnya mengalahkan ketertegunannya sehingga ia tidak demikian menghiraukan kata-kata Kasha.

“Kau anak Basyar?”, tanya Kasha lagi sambil menyodorkan segelas air putih.

Seketika Gelingang Raya tercengang dan reflek berdiri dari tempat duduknya hingga menyenggol tangan Kasha dan membuat air putih dalam gelas tumpah membasahi kain sarungnya.

Gelingang Raya sangat terkejut sekaligus tersentak dari lamunannya. Seketika rasa lelah dan hausnya hilang ketika mendengar nama ayahnya disebut oleh Kasha. Perasaan dan pikirannya seolah dikembalikan kembali setelah sekian tahun ia tidak pernah mendengar nama itu disebut dengan demikian fasih.

Nama itu seperti sebuah mantra ampuh baginya, menenangkan sekaligus membangkitkan semangat membara. Tenang dan teduhnya melebihi tegukan segelas air putih jernih ketika mengaliri tenggorokan yang kerontang. Semangatnya mengalahkan kata lelah meski telah berjalan puluhan kilometer di bawah terik matahari. Gelingang Raya berdiri kaku menatap Kasha. Demikian juga Kasha, ia terkejut dan berdiri kaku di hadapan pemuda itu seolah ia telah mengucapkan sesuatu yang sangat menyinggung perasaan.

“Maaf, maafkan kakek wahai anak muda”, ucap Kasha terbata-bata.

“Maafkan kakek jika telah menyinggung perasaanmu”.

Gelingan Raya masih berdiri tegak di hadapan Kasha. Gelas tempat air putih yang hendak disodorkan kepadanya dibiarkan tergeletak di ujung kakinya. Ia belum dapat berkata apa-apa selain hanya mempelototi Kasha yang semakin kikuk dibuatnya.

Orang-orang yang melintas memandangi mereka berdua seperti tengah berdebat tentang sesuatu yang sangat serius. Tetapi tidak ada seorangpun dari mereka yang berani bertanya atau sekedar menyapa seperti biasanya.

Para pelintas dan pedagang lainnya hanya memandangi mereka berdua dari kejauhan, seolah sedang menunggu apa kejadian berikutnya yang akan terjadi. [SY]

Bersambung…

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.