DPRA, Pacar Atau Calon Mertua?

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Sebut saja DPRA itu bernama Dahlan dan pacarnya Zahara. Kehidupan lelaki usia 40 tahun itu, biasa-biasa saja, bahkan cenderung miskin. Hanya satu yang menjadi kebanggaannya, bisa mencintai Zahara, anak semata wayang orang kaya.

Dasar licik; cintanya kepada Zahara hanya sasaran antara untuk menguasai hartanya yang melimpah ruah. Apalagi Ibu Zahara sudah sakit-sakitan dan Dahlan berharap cepat meninggal. Siang malam dia berdo’a agar Malaikat Izrail cepat mencabut nyawanya.

Dengan harapan, Dahlan bisa menikah dengan Zahara dan otomatis bisa menguasai harta peninggalan mertuanya.

Pada satu subuh, terdengarlah bahwa ada orang kaya yang meninggal di kampungnya. Dahlan girang bukan kepalang. Dalam fikirannya pasti yang meninggal itu ibunya Zahara karena kondisinya sedang menderita penyakit komplikasi; ginjal, jantung dan diabetes. Tabib, dokter dan shinsei menyerah, tidak sanggup mengobatinya lagi. Bahkan resep obat mujarab pun tidak merubah keadaannya.

Dahlan pun buru-buru mandi sambil bersiul tanda kegirangan. Dalam fikirannya; impiannya sekali merangkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Dapat istri anak tunggal dari orang kaya, sekali gus kelak bisa menguasai hartanya. Dahlan tidak sabar ingin melayat calon mertuanya. Sebelum berangkat kepada ahli musibah, dia berlatih akting agar wajahnya benar-benar tampak berduka.

“Benarkah juragan meninggal?” tanya Dahlan ketika melihat orang-orang sudah berkumpul di halaman rumah calon mertuanya.
“Benar!” jawab mereka.

Tidak sabar dia ingin melihat wajah mertuanya yang ditutupi kain batik panjang. Lalu dia minta izin kepada orang-orang yang mengitari jenazah sambil yasinan.

“Tuhaaaan!!!” pekiknya.

Ternyata yang meninggal adalah Zahara, pacarnya. Dahlan hampir pingsan di tempat. Pasalnya cita-citanya jadi orang kaya kandas. Dia hampir tidak percaya, calon ibu mertuanya yang sakit berat, tapi justru pacarnya yang meninggal duluan. Qadarullah berlaku. Langkah, rizki, jodoh dan kematian adalah rahasia Allah.

Begitulah perumpamaan cara-cara orang yang duduk di kursi DPRA dalam mengejar kekayaan. Seperti orang miskin, setelah dengan segala daya upaya untuk menguasai proyek itu dan ini, tetap saja tidak cukup, bahkan disinyalir “pengen duit cash”.

Setelah tidak terwujud lalu “berdo’a” siang dan malam agar yang mengelola uang “dimatikan” dengan hak interpelasi yang tidak benar dan arogan.

Sikap DPRA itu didukung beberapa kaum intelektual kampus yang berfikir “rasis”. Kalau orang kampus saja yang dikenal sebagai kaum yang berfikir normatif begitu, bagaimana dengan masyarakat awam? Tentu mereka akan lebih parah lagi dalam menyikapi orang di luar kelompoknya.

Saya berkeyakinan, kalau DPRA terus menerus membangun kebencian, maka tidak mustahil dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, Aceh akan hilang dari peta Indonesia, bukan karena merdeka, tetapi sudah berkeping-keping menjadi beberapa provinsi.

(Mendale, Kamis, 24 September 2020)


Ikuti channel kami, jangan lupa subscribe :

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.