Pergi dengan Penyakit Ginjal, Pulang dengan Status Jenazah Covid-19

oleh

Ibu Rabumah (51 tahun) yang meninggal dunia beberapa hari lalu, harus dikebumikan dengan menggunakan protokol kesehatan oleh tim pemulasaran jenazah Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Aceh Tengah. Ia katakan tim medis di RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh, terkonfirmasi positif Covid-19 dari hasil SWAB.

Keluarga yang ditinggalkan, punya duka yang mendalam. Kehilangan sosok ibu, pasti akan meninggalkan kesedihan bagi siapa saja yang merasakannya.

Namun, ada sedikit kisah dari riwayat penyakit yang diderita oleh Ibu Rabumah yang merupakan warga Kampung Kelupak Mata, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah.

Kepada LintasGAYO.co, Sabtu 15 Agustus 2020 pihak keluarga mengirimkan sebuah catatan tertulis terkait penyakit yang selama ini diderita oleh Ibu Rabumah dan pada akhirnya juga dinyatakan terinfeksi Covid-19.

Anak almarhumah Andika Putraga mengatakan, bahwa ibunya itu sebelumnya memiliki masalah dibagian ginjal. Pada 11-14 Juli 2020 Ibu Rabumah dirawat di Rumah Sakit Datu Beru Takengon Aceh Tengah dengan diagnosa gangguan ginjal.

Lalu, pihak medis menyarankan untuk dilakukan cuci darah di Banda Aceh. Tetapi pihak keluarga menolak. Kemudian pihak rumah sakit mengeluarkan surat rujukan untuk Ibu Rabumah untuk untuk berobat ke RSUZA di Banda Aceh, bila nanti diperlukan.

“Setelah keluar dari Datu Beru, kami berinisiatif membawa ibu kami ke pengobatan alternatif l, namun tidak membaik. Kemudian pada hari Sabtu tanggal 25 Juli 2020, ibu dibawa ke Banda Aceh berdasarkan rujukan yang dikeluarkan oleh RS Datu Beru,” kata Andika.

Setelah tiba di IGD Zainoel Abidin, pihak Rumah Sakit kemudian melakukan tes SWAB dan hasilnya negatif. Kemudian dirawat di Ruang Aqsa 3 kamar nomor 6.

“Setelah 1 hari berjalan perawatan, ibu saya dipindahkan ke ruangan Aqsa 3 kamar 1. Disana dia mendapatkan cuci darah pertama dan penambahan darah sebanyak 2 kantong. Pada tanggal 2 Agustus 2020, pihak Rumah Sakit merencanakan transfusi darah terhadap ibu saya. Namun seluruh pasien di ruangan tersebut dikeluarkan ke lobby Rumah Sakit Zainoel Abidin. Tersiar kabar bahwa ada petugas kesehatan yang terpapar covid 19. Karenanya ruangan akan dilakukan disinfeksi,” terang Andika.

Menurutnya, setiap tindakan medis setelahnya akan dilakukan setelah pasien mengikuti tes PCR. Rencana dokter yang merawat ibu Rabumah bahwa cuci darah akan dilanjutkan setelah hasil PCR keluar. “Namun setelah kurang lebih 1 minggu hasil PCR dari Jakarta tidak keluar. Pihak rumah sakit mengambil inisiatif melakukan test PCR di lab Unsyiah. Namun hasilnya akan keluar 4 hari setelahnya,” jelas Andika.

Karena kondisi yang terus memburuk, katanya lagi, pihak Rumah Sakit Zainoel Abidin berinisiatif melakukan tes SWAB kembali. Dan hasilnya lagi-lagi negatif Covid-19. “Maka proses cuci darah dapat dilanjutkan kembali,” ujar Andika yang didampingi sang ayah Ibn Thahir.

Menurut Andika, sesaat setelah selesai cuci darah, pihak keluarga mendapatkan info bahwa ibu Rabumah terpapar Covid-19 tetapi pada saat itu pihak keluarga dan pasien tidak mendapatkan hasil tertulis. Mereka hanya mendapatkan informasi lisan bahwa hasil test CPR dari lab Unsyiah samar-samar. Sementara hasil SWAB sebelumnya mengatakan negatif.

“Keluarga tidak bertanya lebih lanjut tentang metode pengambilan kesimpulan antara hasil swab yang negatif dengan hasil PCR yang samar. Apalagi tubuh ibu kami sudah lemah,  dan tidak menunjukan indikasi atau gejala covid (batuk, sesak dan demam tinggi),” katanya.

Setelah dinyatakan positif, pada hari Minggu tanggal 9 Agustus 2020 kemudian ibu Rabumah diisolasi di ruang RICU Pinere dengan keadaan belum sadar penuh.

Sementara itu, sang suami Ibn Thahir yang selalu menemani ibu Rabumah di Rumah Sakit menambahkan, hari senin tanggal 11 Agustus 2020 karena istrinya dinyatakan positif secara lisan, maka ia berinisiatif meminta kepada pihak RS untuk melakukan test Covid-19 kepadanya. Namun, pihak RS menolak.

“Berselang dua hari, direncanakan akan dilakukan cuci darah kepada istri saya. Namun kembali diundur sampai 2 hari berikutnya dengan alasan pemasangan alat baru,” terangnya.

Ketika akan dilakukan cuci darah pada hari Kamis, tanggal 13 Agustus pagi, ibu Rabumah sudah dinyatakan meninggal dunia. Pada hari yang sama, almarhumah dibawa pulang dari Banda Aceh ke Aceh Tengah dengan menggunakan mobil ambulan biasa bantuan dari Bank Aceh.

“Tidak dengan mobil ambulan khusus. Supir atau petugas kesehatan yang membawa pasien ke Aceh Tengah tidak mengenakan pakaian pengaman yang menunjukkan bahwa almarhumah tidak ada terindikasi terpapar virus Corona,” terangnya..

Namun, sebelum tiba di Aceh Tengah telah beredar di media massa bahwa almarhumah terpapar corona. Keluarga besarnya panik. Banyak beberapa terlihat menjaga jarak dan menghindar.

Pihak keluarga merasa sangat tertekan karena fakta yang mereka dapatkan tidak menyatakan positif. Sementara telah beredar luas bahwa almarhumah telah positif Covid-19. Tetapi mereka juga berhati-hati. Untuk memastikan kesehatan, mereka yang pernah bersentuhan langsung dengan almarhumah melakukan rapid test secara mandiri pada hari Jumat di kota Takengon. Hasil rapid test kepada pihak keluarga sebanyak 6 orang dinyatakan non-reaktif.

Pihak keluarga kemudian menyusuri darimana informasi positif tersebut. Sementara fakta yang mereka alami tidak menunjukan kebenaran berita yang beredar luas. Pada tanggal 14 Agustus 2020 pihak keluarga berupaya menghubungi pihak Gugus Covid-19 Aceh Tengah melalui pesan Whatsapp dan telepon tetapi pihak keluarga tidak mendapatkan respon apapun.

Karena itu hingga saat ini, pihak keluarga tidak mendapatkan bukti secara tertulis dan valid dari rumah sakit atau gugus kesehatan tentang hasil SWAB yang menyatakan bahwa almarhumah positif covid-19.

Ketidaktersediaan informasi valid tersebut kepada pihak keluarga sangat dirugikan, akibat dari framing dan stigma negatif terhadap pasien yang terpapar Covid-19. Masyarakat cenderung menghindari dan berhati-hati apabila bertemu dengan pihak keluarga.

Meskipun telah mendapatkan hasil rapid test yang non reaktif, tetapi pengakuan mereka akan dikalahkan sumber berita media dari pemerintah.

“Sekarang kami sudah mendapatkan stigma negatif dari masyarakat karena informasi dari media yang bersumber dari pemerintah provinsi. Padahal semua test SWAB hasil nya negatif. Supir yang mengantar kan jenazah juga tidak mengunakan pengamanan apapun yang semakin menyakinkan kami bahwa almarhumah meninggal dunia karena hanya oleh penyakit yang dibawa ke Banda Aceh,” kata Ibn Thahir.

“Apa pemerintah tidak membayangkan dampak negatif terhadap kehidupan sosial kami dari informasi yang mereka berikan? Kami semua nya termasuk, ibu dan kakak adik almarhumah tidak dapat melihat wajah almarhumah untuk terakhir kali,” tambahnya.

“Kami sangat sedih dan terpukul sekali. Kami sudah mendapatkan musibah. Mengapa diperlakukan begini lagi oleh pemerintah. Apa yang mereka ingin dapatkan dari musibah kami?” timpalnya.

“Saya bukan tidak percaya akan adanya covid. Ini bencana di seluruh dunia. Anak saya juga petugas kesehatan TNI dan istri nya juga dokter. Saya dapat pengetahuan yang cukup untuk ukuran orang kampung akan adanya virus ini dan dampaknya.”

“Karena pengetahuan itu, saya minta pihak rumah sakit di Banda Aceh untuk melakukan test terhadap saya. Kok mereka menolak? Kalau istri saya positif, meski diinformasikan secara lisan, saya pasti terpapar lah. Karena saya selalu menemaninya,” terangnya.

Setelah 20 hari Ibn Thahir menemani istrinya di Banda Aceh, dirinya mengaku baik baik saja. Seharusnya, secara tindakan penanganan Covid-19 ia sudah diisolasi sekarang. Mungkin juga terpapar.

“Karena pengetahuan saya juga, saya sadar akan pentingnya untuk test tersebut. Lalu saya dan pihak keluarga yang mendampingi almarhumah, mengambil rapid test di Takengon. Hasilnya negatif. Lalu bagaimana pihak Banda Aceh menetapkan istri saya positif covid? Apa ada covid yang tidak menular?” Tanyanya.

“Sampai sekarang kami tidak mendapatkan hasil yang menyatakan istri saya positif terpapar. Malah tau nya dari media. Ini kan aneh sekali. Kenapa ke pihak keluarga pasien dirahasiakan tapi ke media dibuka?!” Keluhnya.

Hal senada diungkapkan oleh keponakan Almarhumah, Riyan yang turut mendampingi Ibu Rabumah selama menjalani perawatan di Banda Aceh.

Ia mengatakan, paling tidak pihak berwenang tidak menutupi fakta yang sebenarnya. “Saya katakan bahwa hasil test SWAB 2 kali dilakukan selalu negatif. Rapid test yang kami lakukan secara mandiri juga non reaktif. Meski pun orang kampung, kami tidak bodoh-bodoh kali lah. Jangan dijadikan mainan begini,” tegas Riyan.

“Kami bukan tidak menerima kalau pun pasien terpapar Corona. Tapi saya tidak terima bagaimana ibu dan keluarga saya diperlakukan. Yang jelas lah menangani keadaan ini. Hasil negatif kok bisa tiba tiba positif tanpa menunjukan hasil test ke kami pihak keluarga,” kata Riyan dan Andika.

“Apa yang pihak kesehatan di Banda Aceh inginkan dari ibu saya sebenarnya. Lagian ibu saya pergi ke Banda Aceh karena gangguan ginjal. Tiba-tiba dilaporkan ke media sebagai penderita covid-19,” tambah anak almarhumah tersebut.

[Darmawan]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.