Oleh : Fauzan Azima*
Andai saya ditanya paling lambat tiga tahun setelah damai RI-GAM, saya pasti masih ingat detail milisi dan tokoh-tokohnya. Masalahnya, konflik Aceh sudah berlalu 15 tahun dan para pihak yang berkonflik sudah bersaudara. Sudah lama rasanya, saya tidak dikait-kaitkan dengan konflik Aceh dan sekarang saya sedikit kaget dengan datangnya sepucuk surat dari Komnas HAM, “Saudara dimintai keterangan dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Timang Gajah.”
Saya diperiksa oleh enam orang penyidik Komnas HAM melalui Zoom video 3 selama jam lebih dengan 42 pertanyaan inti. Awalnya saya ditanya tentang wilayah kekuasaan, siapa saja pimpinannya dan apa saja kebijakannya? Saya jawab sejujur-jujurnya menurut yang saya ingat.
Saya enggan bertanya langsung kepada para anggota Komnas HAM, tetapi menurut yang saya simak ada dua orang mantan jenderal yang disasar. Satu jenderal polisi dan satu lagi jenderal militer. Kalau tidak disebutkan, saya lupa nama mereka.
Pertanyaan inti sebenarnya hanya 41 butir, tetapi menjadi 42 butir setelah saya minta dengan hormat mereka menanyai saya.
“Apa harapan Saudara terhadap Kasus ini?” tanya mereka.
Sebenarnya pertanyaan ini tidak lazim dalam proses penyidikan karena harapan itu lebih kepada perasaan daripada fakta lapangan, tetapi klausul itu dimasukan karena sejak awal saya selalu terbuka dengan seluruh pertanyaan.
Bahkan kalau harus saya nyatakan pihak GAM salah, juga saya sebutkan. Saya tidak sedang membela diri dan kalau ada yang salah di Wilayah Linge, maka itu akan saya tanggung sendiri karena kewajiban pemimpin adalah bertanggung jawab atas apa yang terjadi di negerinya.
“Dalam pengungkapan pernyataan, saya yakini benar dan tanpa tekanan dari pihak manapun. Akan tetapi harapan saya semoga pernyataan saya tidak dijadikan dasar untuk menjadikan seseorang tersangka dan sebuah institusi disalahkan,” tegas saya.
Alasan saya; konflik sudah lama berlalu. Para pimpinan dan pelakunya sudah bermaaf-maafan. Bahkan sekarang sebagian tokoh-tokohnya ada yang bekerja sama yang dulu notabene saling bermusuhan. Misalnya Muallim Muzakkir Manaf menjadi tim pemenangan Prabowo-Sandi. Itu bisa menjadi simbol reintegrasi.
Saya sendiri sudah “me-nol-kan” kebencian kepada seluruh yang pernah menjadi musuh pada masa konflik Aceh. Saya sama sekali tidak ingin membangkitkan sentimen; ayah saya ditangkap, disiksa dan dipenjara, rumah kami dibakar, harta benda dirampas, keluarga dikucilkan, diracun, diburu dengan anjing, dikepung, dan ditembaki. Masa itu adalah masa perang, semua bisa saja terjadi.
Pelajaran dari peristiwa itu adalah kejahatan tidak serta merta dibalas segera. Sering sekali balasan atas kejahatan kita di saat sedang tidur dan makan enak. Korupsi sekarang belum tentu dihukum besok. Begitupun dalam kasus dugaan kejahatan HAM berat ini, sudah 20 tahun berlalu, justru baru sekarang diungkap. Oleh karenanya sebelum berbuat jahat fikirkan apa “karmanya” yang akan terjadi sepuluh atau dua puluh tahun ke depan terhadap kita
(Mendale, Selasa, 16 Juni 2020)





