Oleh : Johansyah*
Saya awali tulisan ini dengan mengutip salah satu firman Allah: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 72).
Ayat di atas mendiskripsikan ketika manusia lahir, dia tidak memiliki informasi sedikitpun tentang kehidupan. Untuk itu diciptakan beberapa media agar manusia mampu menyerap beragam informasi kehidupan.
Media ini terdiri dari pendengaran, penglihatan, dan hati. Tujuannya agar melalui media ini manusia dapat mengetahui berbagai ciptaan Allah dan pada akhirnya menjadi makhluk yang bersyukur.
Salah satu kalimat yang kerap kita dengar adalah ‘cuci mata’. Setidaknya ada tiga makna yang dimunculkan; pertama, cuci mata ketika kita bangun tidur yakni bersamaan dengan mencuci muka. Kita membuang kotoran yang ada di mata.
Kedua, cuci mata dalam makna rileks melihat pemandangan alam sekitar nan indah ke pinggir danau atau ke sebuah tempat wisata karena merasa bosan di ruangan terus.
Ketiga, ini yang kurang baik maknanya.
Cuci mata identik dengan hal-hal yang negatif. Salah satunya melihat perempuan cantik. Ketika seseorang lama memandangi seorang perempuan, lalu kita tanya; kenapa lama amat menatapinya? Lalu dia bilang; ‘cuci mata’.
Ada juga teman-teman yang dulu pernah ke Bali. Saya tanya; ‘ngapain ke Bali?’ Dia bilang ‘cuci mata’. Memang begitu jauhnya harus ke Bali untuk ‘cuci mata’. Cuci mata yang mereka maksud melihat pemandangan yang sebenarnya tidak layak dipandang. Ini tentu perilaku yang kurang terpuji. Apalagi bagi yang sudah menikah, dilarang untuk hal-hal seperti itu.
Secara lahiriyah, cuci mata adalah membersihkan kotoran mata setiap kali kita bangun tidur, berwudhu, atau usai melakukan berbagai aktivitas. Tapi ada cuci mata yang yang lebih esensial, bagaimana mata agar dapat difungsikan sesuai dengan keinginan pencipta-Nya.
Pergunakan mata untuk melihat dan menyerap informasi, realitas, fenomena di sekitar kita untuk kemudian dijadikan bahan renungan, pelajaran, dan menjadi pengetahuan. Muara akhirinya adalah untuk mengakui kehebatan Allah.
Menyalahgunakan
Betapa banyak manusia yang menyalahgunakan media pengetahuan ini. Ketika itu disalahgunakan, kedudukan manusia yang awalnya terhormat berganti menjadi terlaknat dari hewan sekalipun.
Allah berfirman: Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. Al-A’raf: 179).
Sekali-kali jangan menyalahfungsikan mata untuk melihat kesia-siaan yang berujung dan mengarah pada pikiran, sikap, dan perilaku yang sia-sia pula. Media pengetahuan manusia seperti mata harus difungsikan sebagai fasilitas istimewa yang diberikan oleh-Nya untuk melihat betapa besar dan hebatnya ciptaan Allah Swt baik yang terhampar di langit maupun yang ada di bumi. Semua itu harus dijadikan pelajaran.
Orang-orang yang mau mengambil pelajaran itu dilukiskan dalam al-Qur’an sebagai ulul albab. Inilah golongan yang memungsikan matanya dengan tepat sesuai keinginan Penciptanya. Sebagaimana digambarkan dalam sebuah ayat berikut; ‘sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian siang dan malam merupakan tanda-tanda bagi orang yang berakal.
Yaitu mereka yang senantiasa menyebut nama Allah dan senantiasa berfikir tentang penciptaan langit dan bumi, seraya berkata; ya Tuhan kami, sungguh tidak ada yang sia-sia dari apa yang Engkau ciptakan, dan bebaskanlah kami dari azab api neraka’ (QS. Ali Imran: 190-191).
Berdasarkan ayat di atas, fungsi utama diciptakannya mata tidak lain adalah untuk menyerap ilmu-ilmu pengetahuan yang dihamparkan oleh-Nya serta dan dapat memetik hikmahnya. Semua itu kemudian mengantarkan seseorang pada kedekatan dengan Allah.
Hal ini akan diperoleh ketika manusia mengintegrasikan aspek zikir dan pikir. Aspek zikir adalah adalah kesadaran tinggi bahwa semuanya diciptakan dan milik Allah. Sedangkan aspek pikir merupakan upaya manusia untuk menemukan rahasia pengetahuan di balik penciptaan-Nya.
Pada penutup ayat tersebut ada yang menarik, di mana ulul albab ini kemudian memohon agar dibebaskan dari api neraka. Apa hubungannya dengan kalimat sebelumnya? Neraka itu, selain dimaknai sebagai tempat yang hakiki di akhirat untuk menampung orang atau kelompok yang lebih dominan melakukan maksiat dari kebaikan, atau senantiasa berbuat maksiat saat hidup di dunia.
Neraka di sini bisa juga dimaknai dengan neraka dalam konteks dunia; kesulitan, ketakutan seperti menghadapi wabah pandemi Covid saat ini, kelaparan, krisis, dan berbagai kesulitan duniawi lainnya.
Kenapa bisa menjadi ‘neraka dunia’? Karena banyak orang yang tidak mengintegrasikan zikir dan pikir (iman dan ilmu) sehingga dia menghadapi berbagai kondisi sulit di dunia. Ilmu itu untuk memudahkan hidup, sedangkan iman menjadi penuntunnya. Ketika kita bermohon agar dibebaskan dari neraka yang sesungguhnya, itu adalah benar.
Karena orang-orang musyrik dan kafir itu tidak mau mengambil pelajaran sehingga ingkar dan menentang Allah, akibatnya mereka ditempatkan di neraka.
Jadilah Ulul Albab
Maka jadilah ulul albab yang mampu memungsikan matanya untuk hal-hal yang diridhai Allah. Adapun untuk hal-hal yang sia-sia itu jelas dilarang. Sebagaimana firman Allah: ‘katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.
Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Apa yang mereka perbuat’ (QS. An-Nur: 30).
Oleh karena itu, ketika dalam puasa kita dituntut untuk mengendalikan pandangan, tujuannya tidak lain adalah memelihara puasa.
Pandangan berlebihan terhadap perempuan itu bisa membangkitkan hawa nafsu, sehingga pikiran seseorang melayang entah ke mana. Hal inilah yang akan berpotensi besar merusak kemurnian puasa. Mata yang buta itu bukanlah mata yang tidak melihat, tetapi mata yang tidak difungsikan untuk melihat tanda-tanda kebesaran-Nya.
Sekiranya pandangan itu digunakan untuk melihat ayat-ayat Allah, itulah sesungguhnya yang diharapkan. Di ramadhan ini kita mengaji al-Qur’an, mengkaji maksud dan memahaminya, sehingga mendapatkan berbagai hikmah dan pelajaran yang dapat meningkatkan keimanan dan kedekatan kepada-Nya. Inilah salah satu hal yang harus di latih dalam bulan puasa ini; mengembalikan fungsi mata sesuai fungsi yang sebenarnya, yaitu menyingkap tanda kebesaran Allah. Wallahu A’lam bishawab!
*Pemerhati Pendidikan dan Peminat Kajian Ke-Islaman