Sebelum Waktumu Terhenti

oleh

Oleh : Dr. Hamdan, MA*

Seorang dokter bedah dari Arab Saudi yang bernama Khalid, mengarang sebuah buku tentang pengalaman-pengalamanya menangani orang yang mati, dan berurusan dengan soal kematian.

Buku ini sangat menarik karena mengulas beragam cerita tentang kematian. Ada dua cerita yang diulasnya cukup menarik dan menyentuh hati penulis.

Cerita pertama, sebagai seorang dokter dan juga seorang da’i dokter khalid sering menceritakan pengalamannya tentang kematian kepada orang agar orang yang mendengarkan sadar.

Pada suatu ketika beliau berusaha menyadarkan seorang pemuda yang hanya berpoya-poya, tidak ada kepedulian terhadap kehidupan akhirat.

Terjadilah dialog antara keduanya. Kata dokter; ‘wahai pemuda sadarlah engkau bahwasanya kehidupan dunia hanyalah sementara, dan kematian adalah pasti.

Lalu pemuda menanggapi; “ya memang tetapi kematiannya masih lama, akan tetapi melihat dari kakek ku dan keluargaku berumur panjang, masih ada waktu,” katanya.

Beberapa hari kemudian beliau mendengar kematian sang pemuda, mobil yang dikendarainya hancur karena kecelakaan mobil.

Cerita kedua, pada saat dokter Khalid membantu seorang komandan tentara memandikan seorang jenazah anggota tentara.

Dimaana beberapa saat kemudian datang laporan ke rumah sakit di mana beliau bekerja bahwa ada satu jenazah yang masuk, setelah beliau tanyakan siapa?  Ternyata adalah komandan tentara yang memandikan jenazah dengan beliau.

Kita sendiri mungkin ketika pulang ke kampung halaman tempat kelahiran kita misalnya, ketika bercerita tentang orang-orang yang kita kenal, ataupun saudara sering berucap, innalillahi si fulan sudah meninggal padahal dia adik leting saya.

Si fulan sudah meninggal padahal cuman setahun usianya di atas saya, si fulan sudah meninggal kemarin kelihatan sangat sehat, dan seterusnya.

Beberapa hari ke belakang ini kematian sangat membayang dalam benak kita. Ini disebabkan karena seluruh medsos, tv, dan koran seolah menjadi bersatu menyerukan awas kematian disebabkan oleh virus yang mewabah yang bernama corona, sehingga menjadi isu kewaspadaan dunia menghadapi corona.

Namun ditengah-tengah keprihatinan kita terhadap persoalan corona ternyata di tengah-tengah kita banyak yang meninggalkan kita. Apakah sahabat ataupun orang yang kita cintai, ataupun orang yang tidak kita kenal yang bukan disebabkan oleh virus corona.

Sudah menjadi keyakinan umum bahwasanya kita pasti akan mati apapun penyebab kematian itu, dan semua kita diberikan jatah waktu untuk hidup dalam batas waktu yang telah di tentukan. Waktu yang diberikan kepada kita terkadang tanpa disadari ataupun disadari berlalu dengan begitu cepatnya.

Pada suatu waktu kita bertemu dengan seseorang saudara yang kebetulan begitu lama tak berjumpa, kebetulan saudara kita tersebut membawa anak-anaknya. Kita langsung mengatakan; ‘oh ini anak kamu, sudah besarnya ya’.

Jikalau si anak mau berbicara terus terang mungkin akan berkata; ‘oh ini bapak yang sering datang ke rumah alangkah tuanya sudah’.

Waktu memang begitu cepat berlalu sehingga dahulu K.H. Zainudin, MZ seorang da’i yang semasa hidupnya sangat terkenal mengatakan;

“waktu itu tau-tau”, sekarang anak-anak, tau-tau sudah punya anak. Mungkin masih terasa ketika seakan-akan puasa baru sebentar, tau-tau sekarang sudah mau di ujung bulan sya’ban. Itu berarti kita sudah mau kembali kepada bulan Ramadhan.

Alangkah cepatnya waktu berlalu sehingga tersurat dalam kitab suci al-Quran bahwasanya orang kafir mengatakan alangkah sebentarnya waktu hidup di dunia.

Waktu yang diberikan kepada kita pada intinya adalah harta yang sangat berharga yang seandainya hilang tidak mungkin dapat diganti lagi. Namun terkadang begitu banyak yang tidak menyadari pentingnya waktu.

Mahalnya waktu sehingga terkadang banyak yang membuang harta yang berharga tersebut dengan percuma.

Orang yang tidak menyadari pentingnya waktu, banyak yang menunda-nunda yang seharusnya tidak perlu ditunda. Minsalnya kapan mulai shalat, tunggu dulu, ataupun entahlah, momentnya belum bagus, dan berbagai macam seribu alasan yang kita buat, untuk menunda pekerjaan baik.

Dalam moment social distance ini ketika seorang dituntut untuk tidak terlalu “bermasyarakat” dengan anjuran untuk lebih banyak tinggal dirumah, maka banyak yang mengeluh, seolah-oleh tidak ada pekerjaan yang penting untuk dilakukan sehingga ada istilah “kuwas kuderet, kunjung ku ralik, kuso kini”.

Ini adalah sebuah istilah bahasa Gayo yang mencerminkan kepribadian seseorang yang tidak memiliki program jelas, sehingga membuat kebosanan-kebosanan yang berimbas pada meremehkan waktu.

Padahal ada banyak kegiatan kegiatan positif berharga yang dapat dilakukan untuk mencegah hal itu semua.

Fadhil bin Iyadh adalah salah seorang tokoh tasawuf yang awalnya adalah seorang perampok ulung. Tentu, dia adalah seorang yang paling ditakuti oleh semua pedagang.

Namun pada suatu hari dia mendengar seseorang membaca surat Al-Hadid yang mengatakan “belumkah tiba saatnya untuk orang yang beriman untuk tunduk hatinya kepada Allah”.

Belumkah tiba saatnya untuk orang yang beriman untuk tunduk hati nya kepada Allah. Jadi jikalau prinsip kita belum waktunya mempunyai guru, belum waktunya untuk beribadah, belum waktunya untuk bershaadaqah, ngaji dan sebagainya.

Sebagai agama yang memperhatikan aspek eskatologis di mana kehidupan akhirat adalah tujuan yang pasti, dan kehidupan adalah waktu tersedia untuk mencari perbekalan, maka sudah seharusnya kita tidak berprinsip “hana male buet”.

Padahal begitu banyak yang seharusnya kita lakukan sebelum waktu terhenti, sebelum ajal menjemput. Wallahu a’lam bishawab!

*Dosen IAIN Takengon, dan Anggota MPU Aceh Tengah.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.