Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA
I. Corona Virus sebagai Wabah
Corona atau juga disebut covid-19 di samping banyak menelan korba seperti kita lihat dan dengar di media massa, kini semua Negara sedang mencari Negara atau siapa (kelompok atau individu) yang bertanggung jawab atas keberadaan virus ini.
Sebagian berpendapat kalau virus ini berasal dari Cina karena pertama ada dan banyak menelan korban di daerah Wuhan, ada juga yang mengatakan kalau virus ini merupakan rekayasa Negara maju dalam rangka menghilangkan kekuatan yang dapat menyaingi mereka dalam penguasaan ekonomi dan teknologi dunia ini.
Kebenaran dari tuduhan itu belum bisa dibuktikan karena Negara yang seharusnya mempunyai kekebalan terhadap virus kini terkapar tidak ada daya.
Semua Negara yang belum terkena wabah virus corona membuat statemen tentang bahan yang dijadikan sebagai obat, mulai dari pembuatan obat dengan kemampuan teknologi juga dengan obat-obat tradisional, bahkan ada yang memanggil atau mengumpulkan para dukun dalam rangka menangkal virus corona tersebut.
Tidak terkecuali para ahli agama mengeluarkan statemen dengan berdo’a berserah diri kepada Sang Maha Pencipta, tidak ketinggalan juga masyarakat ada dengan mmnggunakan budaya kearifan local berupaya menolah bala (virus).
Semua yang dilakukan merupakan upaya untuk menghindar dari wabah yang sangat berbahaya tersebut.
Di samping beberapa upaya yang disebutka di atas tentu tidak mengabaikan upaya yang bersumber dari tim medis, karena semua orang sepakat bahwa ahli medis adalah orang yang lebih tau tentang virus, cara penyebaran (penularan) dan akibat dari terkenanya virus.
Diantara kesepakatan tersebut adalah : Menjaga jarak, selalu dalam keadaan bersih, tidak batuk dan bersin dihadapan orang, jaga kesehatan tubuh dengan berolah raga dan berjemur, dan lain-lainnya. Bila upaya tersebut dipatuhi dalam perkiraan ilmu medis semua orang akan terhindar dari wabah, insya allah.
II. Hilangnya Budaya dan Tradisi Masa Lalu
Sebelum virus corona melanda dunia, banyak para ahli di bidang budaya dan adat berpikir kalau banyak kebaikan akhlak dan prilaku ada di masa lalu, teknologi merupakan salah satu alat pengganti dan menghilangkan tradisi seperti halnya adat dan budaya yang ada di dalam masyarakat.
Diantara prilaku yang saya khawatirkan adalah jauhnya anak-anak dari orang tua mereka baik karena alasan melanjutkan pendidikan ataupun karena yang lainnya, padahal pada masa-masa tersebut anak sangat memerlukan kasih sayang dari tua mereka.
Tamat SD/MIN atau sederajat mereka sudah pergi merantau ke daerah lain mencari ilmu pengetahuan, mereka tidak lagi bermain dengan mainan yang disediakan oleh alam mereka, mereka tidak lagi bercanda dengan kawan se tradisi mereka, mereka tidak lagi melihat contoh prilaku dari seharusnya mereka contoh, mereka tidak lagi makan, minum dengan makanan dan minuman yang disuguhkan dengan kasih sayang dari orang-orang yang mampu memberi kasih sayang.
Keadaan ini akan berlangsung lama, karena sesudah itu mereka melanjutkan sekolah ketingkat SLTA dan Perguruan Tinggi (PT). Sebagian mereka satu saat mereka akan kembali ketempat dimana mereka dilahirkan dan sebagiannya akan mengabdi di tempat-tempat lain.
Kehidupan mereka akan kosong dari nilai adat dan budaya selama dalam perjalanan menuntut ilmu, mereka disuguhi dengan adat dan budaya yang tidak riil, mereka diajar pengetahuan adat dan budaya yang tidak bisa mereka bayangkan yaitu adat dan budaya para tokoh di masa lalu.
Mereka diajarkan bagaimana lelahnya berjalan kaki sejauh 100 kilo meter padahal mereka tidak pernah berjala sejauh itu, mereka diajarkan bagaimana memelihara 40 ekor kambing dan 100 ekor sapi sedang mereka tidak lagi punya lahan untuk mengembala, mereka diajarkan menggunakan air 2 kulah padahal sebenarnya mereka tinggal dialiran sungai. Akhirnya mereka lupa dengan kemodernan masa hidup mereka.
Mereka yang kosong adat budaya ini satu saat kembali menjadi tokoh masyarakat karena mempunyai banyak ilmu, akan menjadi pemimpin di tempat kelahiran mereka, menjadi contoh dalam prilaku keseharian bagi generasi didikan mereka.
Lalu bagaimana menanamkan identitas kepada anggota masyarakat sedangkan identitas yang masyarakat miliki juga sudah hilang dan tergantikan dengan kemajuan teknologi, kemudian lagi bagaimana masyarakat menjadikan dirinya sebagai contoh sedangkan pencontohan yang dibawa berbeda dengan pencontohan yang diharapkan masyarakat.
III. Corona atau Covid-19. Menjemput Tradisi dan Budaya yang Hilang
Cara penanggulangan atau penghambatan penyebaran corona atau covid-19 diantaranya adalah dengan menjaga jarak, tidak boleh berkerumunan, bergaul dengan orang yang sudah pesti (dikenal) tidak tertular/terkena wabah virus.
Agar itu tidak terjadi maka lembaga pendidikan ditutup supaya kegiatan pembelajaran dengan tatap muka tidak terjadi, tetapi kegiatan pemealajaran dilakukan dari rumah.
Semua kantor dan pelayanan pulik ditutup tidak boleh ada aktivitas supaya tidak terjadi persentuhan fisik di kantor tetapi pelayan harus tetap jalan dan dilakukan dari rumah.
Kita percaya kalau semua ini tidak dapat berjalan dengan baik dan efektik, karena kejadian seperti ini serba baru dan tiba-tiba, sehingga membuat para ahli kewalahan menemukan penangkalnya, metode penanganan dengan bentuk stay at home juga baru, mengerjakan pekerjaan dari rumah semua juga baru.
Tapi corona atau covid-19 membawa kita untuk menjemput tradisi dan budaya yang telah lama ditinggalkan, yang selama ini kita satu keluarga tidak pernah lagi makan bersama dalam satu lingkaran, dengan datangnya corona kebersamaan ini kita laksanakan.
Ketidakbolehan berbicara, bermain, tidak boleh ada sisa makanan di piring kini mulai terdengar lagi dari mulut orang tua, cerita sulitnya mencari uang menjadi memotivasi untuk anak supaya rajin bersekolah terkadang harus terucap di depan anak.
Setiap habis maghrib semua anggota keluarga mengambil al-_qur’an untuk mengaji kini mulai lagi menghiasi indahnya rumah tangga, pada hari tertentu semua anak-anak harus dibawa kekebun atau kesawah agar mereka dapat mencontoh orang tuanya bagaimana menjalani hidup.
Namun dalam jam-jam tertentu HP milik ayah atau milik ibu (kedua orang tua) harus berpindah ke tangan anak, karena harus belajar on line. Kalau selama ini HP dianggap merusak moral anak, kini orang tua harus mendampingi anak dalam memegang HP dan belajar.
Tidak lagi terdengan kata dari orang tua tidak boleh menggunakan HP, dan tidak ada lagi alasan kalau anak-anak tidak boleh memegang HP. Itulah makna ungkapan prilaku adat dan tradisi dalam era teknologi.
*Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Tenaga Ahli Bidang Khazanah dan Budaya Pada Lembaga Wali Nanggroe.