Oleh : Fauzan Azima*
“Andai Aceh merdeka kelak, kita programkan bangun jamban sebanyak-banyaknya” demikian kata Teungku Ilham Ilyas Leubee kepada pasukan GAM Wilayah Linge pada akhir tahun 2000 di Kampung Camp, Bener Meriah. Pernyataan Teungku Ilham tersebut menirukan kalimat Wali Neugara Teungku Hasan Muhammad di Tiro, yang akrab dengan sebutan Teungku Hasan Tiro. Deklarator GAM itu menyampaikan harapannya kepada ratusan pemuda Aceh di sela-sela latihan militer di Camp Tajura, Tripoli, Libya.
Ketika Teungku Hasan Tiro menyatakan hal yang tidak lazim tersebut kepada calon pasukan tempur GAM, mungkin mereka tersenyum atau tertawa geli dalam hati. Setidaknya demikian dengan suasana hati kami yang tertawa saat mendengar cerita Teungku Ilham yang faseh menirukan gaya bicara Teungku Hasan Tiro. Akan tetapi, apabila kita renungi dengan situasi kini, Wali Hasan Tiro salah seorang keramat yang bisa membaca tanda-tanda zaman.
Siapa menyangka, dalam menentukan kesejahteraan suatu rumah tangga, Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan 14 variable untuk menentukan apakah suatu rumah tangga layak dikategorikan miskin. Pada point 4; tidak memiliki fasilitas buang air besar (BAB) atau bersama-sama rumah tangga lain menggunakan satu jamban termasuk keluarga tidak sejahtera atau miskin. Terbukti ucapan Wali Hasan Tiro tentang jamban atau WC bukan lelucon. Sungguh jauh pandangan Wali dan sekarang fikiran Wali menjadi ilmu bagi kita.
Jumlah penduduk Aceh kurang lebih 5,2 juta jiwa. Dari jumlah itu, 819 ribu jiwa atau 15,37 persen termasuk dalam kategori belum sejahtera. Dengan kondisi itu pemerintah sangat serius menanggulangi kemiskinan. Salah satunya adalah dengan Program Keluarga Harapan (PKH). Di Aceh sendiri terdapat 278 ribu Keluarga Penerima Manfaat (KPM) atau Kepala Keluarga (KK) yang menerima dana PKH. JIka dalam satu KPM atau KK yang menerima 4 orang saja maka paling kurang 1,1 juta jiwa hidup orang Aceh menuju sejahtera telah ditanggung oleh pemerintah.
Kalau jumlah penduduk miskin di Aceh 819 ribu jiwa, sedangkan yang menerima dana PKH 1,1 juta jiwa, berarti ada selisih 218 ribu jiwa orang yang sudah sejahtera masih mendapat dana PKH dari pemerintah melalui Kemensos RI. Kekhawatiran manipulasi data di lapangan membuat Kemensos RI dan pihak kepolisian membuat Mou untuk mengawasi dana PKH. Sayangnya kesepahaman itu tidak ditindaklanjuti dengan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksana, sehingga sulit untuk diemplementasikan di lapangan.
Pada sisi lain, pada tahun 2019 berjalan, sedikitnya 200 ribu jiwa atau 5,04 persen sudah tergraduasi (dikeluarkan) dari kepesertaan PKH karena sudah dianggap sejahtera atau tidak miskin lagi. Dengan demikian rakyat Aceh yang miskin berkurang menjadi 619 ribu jiwa lagi atau tinggal 10,33 persen. Itu baru dari satu program (PKH) sudah mampu menghapus angka kemiskinan sebesar 5 persen lebih. Tentu banyak program lain dari pemerintah yang bermuara kepada menghapus kemiskinan atau program mensejahterakan rakyat.
Bulan Mei 2019 lalu, PLT Gubernur Aceh, Nova Iriansyah menyatakan kepada media bahwa berdasarkan survei, Aceh termiskin di Sumatera, tetapi dalam survei lain Aceh disebut sebagai daerah nomor dua paling bahagia dari 34 provinsi di Indonesia. Mengapa? Asumsi sementara adalah banyak orang Aceh yang sudah mampu secara ekonomi; punya rumah besar, memiliki kendaraan dan tabungan, tetapi tidak ada WC atau jamban di dalam rumah, maka mereka termasuk dalam kategori miskin.
(Banjarmasin, 19 Desember 2019)