Jatuhnya Benteng Pëparik (Bagian 1)

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

18 Maret 1904, di salah satu lembah Gunung Leuser yang merupakan salah satu gunung tertinggi di gugusan Bukit Barisan bagian barat. Di tengah luasnya hamparan padang rumput. Sebuah bangunan terlihat mencolok, menyembul sendirian.

Bangunan ini sebuah sederhana serupa benteng yang tampak seperti dibuat dengan tergesa-gesa. Strukturnya tersusun dari balok-balok kayu bulat yang dipasang vertikal. Balok-balok kayu yang ukuran bervariasi, mulai dari sebesar gagang tombak sampai sebesar betis orang dewasa ini, bagian ujungnya dibuat runcing.

Bagian dinding terluar dipasangi tu inih, sejenis kayu bulat sebesar lengan orang dewasa yang seluruh lingkar permukaannya dipenuhi duri berdiameter antara tiga sampai empat mili sepanjang 5 senti.

Tu inih ini disusun berlapis dengan uluh kaweh, sejenis bambu berduri yang akan menimbulkan rasa sangat perih kalau sampai menggores kulit.

Di luar bangunan ada parit-parit lebar yang bentuknya tidak karuan karena juga digali dengan tergesa-gesa. Pada bagian dalam bangunan tanpa atap ini terdapat para-para yang lebarnya cukup untuk dilewati dua orang dewasa sambil berpapasan.

Di atas para-para ini, seorang lelaki paruh baya bertubuh tegap dengan pedang terselip di pinggang, berjalan bolak-balik dengan wajah tegang. Bola matanya tampak aktif bergerak memperhatikan ratusan wajah laki-laki dan perempuan yang semuanya sudah meninggalkan rumah di kampong dan berkumpul di dalam bangunan ini dengan mimik muka yang tak kalah tegang.

Tiba-tiba pintu kecil di sebelah utara benteng terbuka. Semua mata mengarah ke sana. Sesosok lagi-laki dengan nafas terengah-engah dan sekujur tubuh penuh keringat menerobos masuk.

Laki-laki setengah baya di atas para-para menoleh dan matanya menatap tajam kea rah wajah sosok yang baru datang ini. Garis wajah orang ini menggambarkan keletihan yang sangat.

Ketika laki-laki yang baru datang ini sudah mulai bisa menguasai nafasnya. Laki-laki paruh baya yang berada di atas para-para membuka suara.

“Kabar apa yang kamu bawa Pang Liyës?” tanyanya dengan suara berat dan dalam. Aura kewibawaan yang kuat seolah memancar dari sosoknya.

“Pa..sir sudah ja…tuh Rëjë,” jawab laki-laki ini dengan nada kecut. Suaranya terputus-putus karena harus mengatur nafas.

“Hhhh….” Laki-laki yang dipanggil “Rëjë” ini menghela nafas, matanya menerawang.

Dia adalah Rëjë Ciq Pëparik, salah satu dari Raja kecil dalam struktur pemerintahan Kejurun Petiamang, cabang kerajaan Lingë di wilayah Gayo Luës yang kekuasaannya membawahi empat Rëjë dan delapan Rëjë Ciq.

Pasir yang disebut Pang Liyes adalah sebuah kampung yang terletak sehari perjalanan dari Pëparik dan sebenarnya masih berkerabat dengan dengan Pëparik sendiri. Sekarang, nasib semua orang dalam benteng ini berada dalam tanggung jawabnya.

Pang Liyës, lelaki yang baru datang ini adalah Panglima perang Pëparik. Orang tuanya memberinya nama Ilyas, tapi lidah Gayo lebih nyaman menyebut Liyës. Pang adalah gelar yang diberikan oleh masyarakat Gayo sebagai pengakuan atas keberanian dan kekuatan yang dimiliki oleh seorang laki-laki.

“Sekarang, Belanda sudah sampai di mana?” Tanya Rëjë Ciq Pëparik melanjutkan.

“Sudah dekat Rëjë, perkiraan saya sekitar tengah hari mereka sudah sampai di sini,” jawab Pang Liyës datar.

Rëjë Ciq Pëparik terdiam dan menarik nafas panjang.

“Kejurun Bidin saya lihat ada bersama mereka rëjë,” lanjut Pang Liyës dengan suara pelan.

Rëjë Ciq Pëparik kembali terdiam, kali ini lebih lama, kepalanya sedikit mendongak memandang ke arah awan berarak di kejauhan.

“Hhhh…Itulah jadinya kalau manusia lebih takut kehilangan kekuasaan daripada murka Tuhannya,” ujar sang raja menahan rasa geram.

“Kita orang Pëparik, jangan sampai ada yang merendahkan diri sampai serendah itu,” tambahnya.

Mata sang raja kembali menyapu sekeliling bangunan benteng ala kadarnya ini. Seluruh warga kampung Pëparik, kampung pedalaman Gayo Luës laki-laki, perempuan dan anak-anak berkumpul di sini.

Mereka menyiapkan apapun yang bisa disiapkan sebagai alat perlawanan, mulai dari senapan tua peninggalan para gerilyawan yang pernah bertempur bersama pasukan Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien, tombak, parang sampai senapan ines, sejenis bambu berukuran sebesar jempol tangan yang diisi dengan peluru air perasan cabai.

Sebenarnya Pëparik terdiri dari dua kampung, Pëparik Gaip yang secara harfiah berarti Pëparik jauh yang terletak di bagian timur dan Pëparik yang terletak di bagian barat. Benteng ini dibuat di Pëparik Gaib, karena di sinilah laki-laki tegap berusia paruh baya yang tak lain dari Rëjë Ciq Pëparik sendiri tinggal.

Rëjë Ciq Pëparik adalah penguasa tertinggi di dua kampung ini. Tadinya yang menjadi Rëjë Ciq adalah sepupunya, tapi ketika sepupunya itu meninggal, oleh keluarga dia diminta untuk menikahi janda sepupunya itu dan menggantikan sang sepupu sebagai Rëjë Ciq.

Sekarang ini Pëparik Dekat sudah dikosongkan, semua warganya berkumpul di dalam benteng ini.

Semua ketegangan dan suasana mencekam di lembah Leuser ini berawal dari keputusan penguasa Belanda untuk menyelesaikan klaim kekuasaan mereka atas Aceh, negeri merdeka yang terletak di ujung utara Sumatera.

Pasca Belanda mendeklarasikan perang kan mengklaim Aceh sebagai wilayah kekuasaannya seturut jatuhnya istana kerajaan Aceh, sebenarnya perang terus berlanjut. Seperti semua orang yang tinggal di wilayah Aceh, rakyat Gayo tahu meski sultan sudah tertangkap tapi amanat kerajaan Aceh sebenarnya sudah diberikan kepada Tengku Chik di Tiro Muhammad Saman, seorang ulama yang disegani.

Meski sekarang ulama besar itu bersama seluruh keturunannya sudah dihabisi dan perlawanan kaum bangsawan juga sudah padam dengan gugurnya Teuku Umar dan tertangkapnya Cut Nyak Dhien dan Belanda pun menganggap pesisir telah selesai. Tapi pemerintah kolonial ini masih merasakan adanya ganjalan. Pasalnya, Gayo, yang terletak di Aceh bagian tengah sama sekali belum tersentuh.

Akibat belum tersentuhnya wilayah tengah ini, para pejuang asal Gayo, seringkali turun ke pesisir bahu membahu bersama pejuang Aceh lainnya untuk mengganggu patroli-patroli Belanda dengan serangan-serangan sporadis. Gayo hanya bisa dicapai dengan melintasi hutan ini juga kerap dijadikan tempat persembunyian para pejuang Aceh asal pesisir.

Karena itulah Belanda melihat Gayo layaknya duri dalam daging kekuasaan mereka di negeri yang terletak di ujung paling timur Sumatera ini. Sementara bagi Aceh sendiri, Gayo dipandang sebagai daerah modal. Karena inilah, kali ini Belanda tak ingin main-main lagi. Perang Aceh yang menjengkelkan karena menyedot habis dana dari kas negara ini harus sepenuhnya dituntaskan.

Sementara itu, di dalam benteng Rëjë Ciq Pëparik kembali berkeliling, memeriksa lubang perlindungan untuk wanita dan anak-anak, lubang pengintaian serta lubang penembak di bagian dinding-dinding benteng. Mereka dipersiapkan di sana untuk berjaga-jaga seandainya musuh bisa masuk dengan cara mendobrak pintu.

Semua orang di dalam benteng diliputi suasana tegang, menunggu takdir seperti apa yang akan dihadapi. Suasana mencekam membuat udara terasa berat, alam Leuser yang asri tak lagi terasa indah dirasai. Semua bersiaga sambil berpasrah diri karena tak satupun orang di dalam benteng ini yang masih yakin akan bisa melihat mentari terbit esok pagi. [Bersambung]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.