Strategi Politik Nabi Muhammad Saw di Madinah

oleh

Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*

Dalam teori maupun praktik, Nabi Muhammad Saw menempati posisi yang unik sebagai pemimpin dan sumber spiritual undang-undang Ketuhanan, sekaligus juga pemimpin pemerintahan Islam yang tidak dapat dibantah (unquestionable leader). (Khalid Ibrahim Jindan. 1994: 1) Dengan kata lain bahwa dalam diri Nabi Muhammad Saw terdapat kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi.

Kepemimpinan Nabi Muhammad Saw di Madinah memberikan warna dan nuansa baru yang sebelumnya tidak pernah didapatkan oleh penduduk Madinah yang dulunya bernama Yatsrib, Madinah menjadi kota suci (al-Madinaul Haram) tidak bisa dilepaskan dari strategi politik yang dibangun Nabi Muhammad Saw sebagai pemimpin. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dikupas secara ringkas bagaimana srategi politik Nabi Muhammad Saw selama di Madinah.

Strategi politik Rasulullah di Madinah identik dengan perjanjian, disini Nabi Muhammad Saw betapa piawainya dalam berdiplomatik. Dari hasil telaah, penulis mendapatkan beberapa strategi politik Nabi Muhammad Saw, yaitu:

Pertama, Perjanjian Politik Piagam Madinah

Strategi politik yang dibangun Nabi Muhammad Saw dalam menjaga keamanan dan ketenteraman Madinah dengan membuat perjanjian persahabatan dan perdamaian dengan kaum Yahudi. Dalam perjanjian ini ditetapkan hak kemerdekaan tiap-tiap golongan memeluk dan menjalankan agamanya, hak kemerdekaan berpikir, hak kehormatan jiwa, negeri, dan harta. Inilah salah satu perjanjian politik yang belum pernah dilakukan oleh Nabi-nabi terdahulu dan merupakan suatu peristiwa baru dalam lapangan politik dan peradaban atau sivilisasi. (Rus’an, 1981: 97-98). Perjanjian ini dinamakan dengan Piagam Madinah (al-Mitsaq al-Madinah) atau Konstitusi Madinah.

Menurut Akram Dhiyauddin Umari (dalam Jaih Mubarok, 2004: 49-50) isi Piagam Madinah secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: pertama, perjanjian Nabi Muhammad Saw dengan Yahudi dan kedua, perjanjian dengan Muhajirin dan Anshar.

Dengan adanya Piagam Madinah, maka penduduk Madinah bisa hidup dengan tenang dan damai serta setiap pemeluk agama saling menghormati antara satu dengan yang lain. Suku Auz dan Khazraj yang sebelumnya saling bertikai, berhasil didamaikan oleh Rasulullah dan Yahudi (Bani Quraiza, Bani Nazhir, dan Bani Qainuka) bersatu dengan kaum muslimin baik yang muhajirin maupun yang anshar.

Piagam Madinah telah mengakomodasi prinsip-prinsip toleransi, sehingga kehidupan beragama terjamin.

Kedua, Perjanjian Hudaibiyah
Pada akhir tahun keenam hijriah, Nabi Muhammad Saw beserta para sahabat pergi ke Mekah untuk melakukan umrah.

Sebelum tiba di Mekah, para rombongan berkemah di Hudaibiyah karena penduduk Mekah tidak mengizinkan masuk. Maka diadakanlah perjanjian yang dikenal dengan nama perjanjian Hudaibiyah, yang mana selama perjanjian ini dakwah Islam tersebar ke Jazirah Arab; menandakan bahwa betapa ampuhnya strategi politik yang dibangun Nabi Muhammad Saw.

Etika politik yang dibangun Rasulullah dengan hikmah dan nasihat serta keputusan dalam politik menunjukkan keluasan pandangan, menegakkan keadilan, membela kepentingan rakyat, menjunjung nilai-nilai akhlak dalam berpolitik, dan kebijaksanaan yang cemerlang dalam memimpin.

Ketiga, Menjalin Persahabatan dengan Mengutus Delegasi

Pada bulan Ramadhan tahun keenam hijriah dikenal dalam sejarah Islam sebagai tahun menjalin persahabatan dengan mengutus beberapa delegasi kepada para penguasa dan raja-raja. Para delegasi membawa surat yang ditulis oleh Nabi Muhammad Saw yang isinya menyeru untuk memeluk agama Islam. (Samih Kariyyam: 2005: 188). Adapun para delegasi yang dikirim Nabi Muhammad Saw sebagai berikut:

Dahyan bin Khalifah al-Kalbi dikrim ke raja Heraklius di Byzantium, Abdullah bin Hudzaifah as-Sahmi dikirim kepada Kisra yang merupakan raja Parsi, Umar bin Umayyah ad-Dhamri dikirik kepada Najasyi raja Habsyah, Hathib bin Abu Balta’ah dikirim kepada Muqauqis raja Mesir, Syuja’ bin Wahab al-Asadi dikirim kepada Harist al-Ghassani raja Hirah, dan Ibnu Umayyah al-Makhzumi dikirim kepada raja Harist al-Hamiri di Yaman.

Keempat, Perjanjian dengan Yohanes bin Ru’bah

Nabi Muhammad Saw kembali ke Madinah dari Tabuk dengan membawa kemenangan pada awal Ramadan tahun kesembilan hijriah, pada saat itu tidak lagi melakukan pertempuran setelah mundurnya negara tersebut. Di samping itu, telah terjadi kesepakatan antara penduduk di perbatasan, diantaranya perjanjian dengan penguasa Ailah Yohanes bin Ru’bah.

Isi perjanjian tersebut bahwa Nabi Muhammad Saw memberikan jaminan keamanan terhadap sumber air dan kendaraan kepada masyarakat yang ada di darat dan di laut. Sebagai gantinya, Penduduk Ailah membayar pajak (zijyah) kepada kaum muslimin sebesar tiga ratus dinar setiap tahunnya. (Samih Kariyyam: 2005: 235).

Sebagai pemimpin (kepala negara) di Madinah, strategi politik yang dibangun Rasulullah Saw dengan hikmah dan menghasilkan perjanjian-perjanjian politik dengan berbagai pihak berjalan dengan baik dan lancar, disini memperlihatkan kebijaksanaan Nabi Muhammad Saw sebagai seorang politisi ulung dan cakap dalam berdiplomatik.

Strategi politik yang dibangun Rasulullah dengan mengusung berbagai macam perjanjian yang telah disebutkan di atas sehingga Madinah menjadi negara terbaik, kota madani, dan menjadi acuan atau referensi sebagai model negara yang baik pada zaman sekarang ini.

Begitu juga dengan Nabi Muhammad Saw sebagai politisi ulung, maka bagi politisi zaman sekarang (legeslatif dan eksekutif) sudah selayaknya mencontoh keteladanan Nabi Muhammad Saw dalam berpolitik sehingga rakyat bisa sejahtera dan mendapatkan kedamaian hidup. Perjanjian di masa kampanye merupakan strategi politik yang telah mengantarkan duduk di kursi pejabat, kini janji-janji tersebut akan ditagih oleh mayarakat yang telah memberikan hak suaranya.

Perjanjian-perjanjian dalam politik akan mengantarkan seseorang kepada kemuliaan dan kehormatan, manakala perjanjian tersebut dilaksanakan dan ditepati oleh seorang politisi. Begitu sebaliknya, manakala perjanjian diingkari yang telah dibuat maka jatuhlah kehormatan dan kehinaan akan mewarnai kehidupan seorang politisi dalam kancah perpolitikan.

Penulis, Kolumnis LintasGAYO.co, Mahasiswa Program Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry, Prodi Ilmu Agama Islam (Konsentrasi Pemikiran Dalam Islam)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.