Satir Untuk Orang Aceh Dari Buku “Dan Tuhan Milik Orang Aceh Yang Gembira”

oleh

Resiator : Husaini Muzakir Algayoni*

Pertukaran waktu di Aceh beberapa pekan ke belakang diselingi dengan peristiwa aneh dan unik hingga tertawa dan tersenyum pun lupa karena terlalu serius dan tegang, peristiwa tersebut seperti pembubaran pengajian Ustaz Firanda Andirja karena dinilai berpaham Wahabi dan wacana poligami yang akan dilegalkan di Aceh oleh wakil rakyat terhormat.

Jauh sebelum itu, masyarakat Aceh disuguhi peraturan syariat Islam yang mendapat pro-kontra dari masyarakat. Dari Kota Lhokseumawe melarang duduk ngangkang bagi perempuan yang berboncengan di atas sepeda motor, Kota Juang (Bireuen) juga tidak mau kalah dalam hal larang-melarang yaitu melarang duduk semeja di kafe (warung kopi) bagi pasangan non muhrim.

Belum lagi suasana politik semakin panas bergejolak pasca damai GAM-RI, harapan masyarakat Aceh adalah damai dan tenang; nyatanya Aceh tetap saja berada dalam keadaan konflik. Begitu juga dengan kemiskinan menjadi momok bagi pemerintah Aceh padahal hujan uang begitu melimpah di provinsi Aceh.

Aceh dalam lintasan sejarah melalui peristiwa-peristiwa yang telah dilalui, apakah masyarakat Aceh bahagia dan tersenyum dalam menjalani hidup atau banyak yang lupa bagaimana caranya tersenyum manis karena hidup terlalu tegang dan serius sehingga hidup bahagia di serambi mekah yang berlandaskan syariat Islam ini pun sulit tercapai.

Melihat kondisi Aceh pada saat ini maka Buku “Dan Tuhan Miliki Orang Aceh Yang Gembira” ditulis oleh anak muda asal Singkil, alumni prodi aqidah dan filsafat Islam UIN Ar-Raniry bernama Zulfikar RH Pohan tepat hadir pada waktunya. Miswar dalam kata pengantar buku ini mengatakan bahwa “Belakangan orang Aceh mulai tidak tertawa, tidak lama lagi mereka akan lupa cara untuk tersenyum. Setelah perjanjian damai pada 2005, berharap orang Aceh dapat menjadi manusia yang berbahagia.

Tapi ternyata babak baru tentang Aceh dimulai, yaitu tentang ketegangan, keseriusan dan tentang cara belajar untuk benar-benar melupakan cara untuk tertawa.

Buku ini hadir untuk orang Aceh yang terlalu serius, tegang, semuanya serba muram dan tidak ada kelucuan sama sekali. Buku begenre humor ini memberi hiburan kepada pembacanya dengan bahasa-bahasa satir dan humoris, khususnya bagi masyarakat Aceh dengan harapan bahwa orang Aceh dapat gembira, tertawa dan tersenyum dalam menjalani hidup.

Tokoh yang diangkat dalam buku ini mempunyai jiwa humor tinggi bernama Nasruddin Hoja, ia memang tidak pernah datang ke Aceh, karena Nasruddin Hoja berasal dari Turki yang hidup pada masa Dinasti Saljuk, hanya namanya saja; karena jiwa humor seperti Nasruddin Hoja inilah yang dapat merespon masalah-masalah paradoks yang terjadi di Aceh masa kini.

Salah satu ulah aneh dari Nasruddin Hoja, ditulis oleh Jaya Suprana dalam bukunya “Pedoman menuju tidak bahagia.”

Nasruddin Hoja berkhotbah di atas mimbar tentang kebahagiaan, di awal khutbahnya, Nasruddin Hoja bertanya kepada hadirin “Apakah kalian semua sudah tahu apa yang akan saya khotbahkan!” Hadirin menjawab “Belum” Nasruddin Hoja langsung berkata “Buat apa saya berkhotbah di hadapan orang-orang yang tidak tahu apa yang saya khotbahkan.”

Ketika Haji Uma terpilih kedua kalinya menjadi DPD-RI dengan meraih suara tertinggi, muncul wacana dari netizen bahwa Haji Uma layak dijadikan sebagai calon Gubernur Aceh tahun 2022 yang akan datang dengan harapan bahwa masayarakat Aceh dapat terhibur dengan humor-humor cerdas yang dibawakan pemimpinya agar bisa menjalani hidup dengan bahagia, tenang dan jauh dari rasa serius dan tegang dalam kehidupan bersosial maupun beragama.

Selain Nasruddin Hoja, ada Syeikh Juha yang hidup di Kota Kufah (Iraq) seorang humoris dan jenaka dalam memberikan kritikan. Kritikannya yang cerdas namun jenaka, penuh humor dan tutur kata yang tidak menggurui menggores tajam telinga seorang penguasa yang sering obral janji dan membual.

Saya melihat buku ini ketika mengutarakan kritikan kepada pihak tertentu tidak dengan menggurui karena banyak orang ketika mengutarakan kritikan atau masukan yang konstruktif harus diawali dengan menggurui padahal menggurui adalah salah satu penyakit yang tidak dapat mencerdaskan bahkan memperbodoh orang lain.

Menggurui adalah perbuatan yang menjengkelkan kata Mochtar Buchori karena mengguri merupakan perbuatan yang bertindak sebagai guru terhadap orang lain yang tidak memerlukan guru. Oleh karena itu, kalau ingin betul-betul melihat bangsa Indonesia berkembang menjadi bangsa yang cerdas marilah kita hentikan bersama-sama kebiasaan menggurui ini kata Mochtar Buchori.

Nah, bahasa-bahasa kritikan dalam buku ini tidak ada yang menggurui siapapun; disinilah kelebihannya, persis seperti gaya humoris Gus Dur. Dalam penyampaiannya dengan alur cerita, buku ini enak dibaca sambil menyeruput secangkir kopi. Saya mencatat beberapa bahasa satir dan diksi-diksi kata yang tajam dalam mengkritik kehidupan sosial maupun beragama di Aceh, seperti di bawah ini:

  • Nasruddin Hoja kalau di Aceh merasa diawasi dalam beribadah dan dia mencari masjid yang jauh dari bendera partai.
  • Jika Aceh tsunami lagi maka semua adalah keluargaku, tapi kalau Aceh begini-begini saja, sudah menjadi kota besar, yaa aku tidak punya keluarga lagi kata Nasruddin Hoja.
  • Kalau kau menjadi pemuka agama, kau tak perlu membaca kitab dalam mengambil hukum, kau berpidatolah dengan gagah, selipkan sedikit lelucon, jika banyak orang tertawa itu artinya mereka siap menerima kebodohan dan kau dapat menutupi keterbatasan pengetahuanmu kata Nasruddin Hoja.
  • Semiskin-miskinya orang Aceh, setiap pagi minumnya kopi makanannya tetap timphan. Aceh sering ngambek lalu ujung-ujungnya ngamuk.
  • Sistem pendidikan Universitas di Banda Aceh, orang berlomba-lomba untuk jabatan bukan untuk keillmuan

Diksi-diksi kata dalam buku ini membuat kita merenung dan berpikir dalam menerjemahkannya, diksi kata seperti: pragmatisme dalam ibadah, penjahat religius, mahasiswa aktifis sempalan, mahasiswa sok kritis, revolusi pakaian, ideologi hijrah dan Terlalu asik beragama sampai lupa betapa nikmatnya menyembah Tuhan dan masih banyak diksi-diksi lainnya yang tajam.

Setiap karya pastilah ada kekurangan, maka kekurangan inilah yang akan diperbaiki di karya-karya selanjutnya. Saya melihatnya masih ada kekurangan seperti penempatan huruf yang tidak sesuai dan setiap alur ceritanya terlalu singkat; seandainya lebih panjang alurnya maka akan lebih menarik lagi. Walau bagaimana pun, saya mengapresiasi saudara Zulfikar telah memberikan warna terbaru dalam dunia literasi di Aceh lewat satir dan humornya. Karena itu, pastikan masyarakat Aceh membaca buku dengan judul “Dan Tuhan Milik Orang Aceh Yang Gembira (Ziarah Nasruddin Hoja dan Kumpulan Omong Kosong Lainnya).”

Menurut hemat saya hidup di Aceh perlu yang namanya humor sehingga ketika ada permasalahan dalam bidang sosial maupun agama bisa diselesaikan dengan baik dan mengedepankan akal sehat daripada akal emosi dan sok kuat hingga ujung-ujungnya ngamuk, karena humor kata Jaya Suprana merupakan alat untuk memberi kenikmatan, kesenangan, dan kebahagiaan bagi umat manusia. Nah, jangan lupa hidup dengan humor dan selamat membaca buku humor ini!

Info Buku:
Judul Buku : Dan Tuhan Milik Orang Aceh Yang Gembira (Ziarah Nasruddin
Hoja dan Kumpulan Omong Kosong Lainnya)
Penulis : Zulfikar RH Pohan
Penerbit : Padebooks
Tempat Terbit : Banda Aceh
Tahun Terbit : 2019
Jumlahh Hlm : 185

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.