Ine (Ibu) dalam Kacamata Urang Gayo

oleh

Oleh : Yusmaniati, S.Pd*

Ada hal yang sangat istimewa ketika berbicara tentang sosok pahlawan idaman hati dalam hidup ini yakni ibu. Banyak hal positif yang sangat menarik di dalam diri seorang ibu. Jasa beliau yang serasa tidak dapat dibalas sampai kapanpun. Kasih sayang yang terus beliau alirkan kepada anak-anaknya tidak ada berbatas waktu.

Jerih payah membesarkan, mendidik, menjaga, mendoakan, memasukkan anaknya ke dunia pendidikan, dan hal lainnya. Itulah sebabnya tak heran jika kita sering mendapatkan tulisan-tulisan yang mendeskripsikan seorang ibu entah itu dari segi eksistensi seorang ibu atau mungkin juga penokohan yang ada dalam diri seorang ibu. Tidak hanya itu, bila dikaji dari aspek religius atau sudut pandang Islam, kedudukan ibu sungguh sangat dimuliakan dan lebih diprioritaskan.

Ine…! itu kata bahasa Gayo yang bermakna bahasa Indonesia ‘ibu’ yang digunakan masyarakat Gayo untuk memanggil sang ibu. Setiap orang memiliki penilaian yang berbeda-beda terhadap suatu objek baik hasil observasi, pengalaman, ataupun yang lebih dekat dengan kehidupan. Pernyataan tersebut biasanya sering diistilahkan dalam konteks “persepsi”. Persepsi satu orang dan yang lain biasanya berbeda-beda dikarenakan peninjauannya dari berbagai aspek. Artinya, perspektif identik dengan keanekaragaman pandangan terhadap suatu objek. Setiap orang bahkan suatu kelompok bebas memberi pandangan atau perspesinya mengenai suatu hal tertentu.

Berkaitan dengan persepsi tersebut, penulis akan mendeskripsikan perspektif positif eksistensi seorang ine ‘ibu’ dalam masyarakat Gayo. Pertama, sikap positif yang digambarkan para seniman Gayo yakni terlihat pada lirik lagu Gayo yang didominasi mendeskripsikan segala hal tentang ine. Tak heran hampir setiap album Gayo senior dulu sering menyelipkan sebuah lagu khusus menarasikan seorang ibu. Biasanya dinarasikan yakni rata-rata kisah sedih dan jerih payah tentang seorang ine dalam membesarkan dan mendidik anaknya. Artinya, lirik lagu yang disusun lebih kepada suasana sedih sehingga dilantunkan dengan suara dan irama musik yang sedih.

Penutur asli orang Gayo tentu lebih memiliki rasa tertentu ketika menikmati lagu mengenai perjuangan ibu. Hal ini dikarenakan lirik lagu yang telah digubah dan dinyanyikan biasanya diambil dari hasil pengalaman hidup sehari-hari yang telah menikmati kasih sayang seorang ibu. Dengan kata lain, orang Gayo lebih menyentuh hati ketika mendengar lagu yang berkisah seorang ibu. Secara konvensional, hampir setiap orang Gayo setuju bahwa kedudukan ine sangat positif, tinggi, dan lebih diprioritaskan dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini disajikan penggalan lirik lagu Inengku yang sangat menyentuh hati.

Mamurmi lauhku…
mubayangen nasebmu ineku
si mudedek aku wo inengku woy
urum kejang payahmu
Ine… wo inengku
bier wan uren olok inengku
bertudungen ulu
semayangmu kin anakmu inengku
si gere terkire
letih ni bedenmu inengku
urum rebek ni baju
jengkat i kerlangmu inengku
ngenal penorepen

Penggalan lirik lagu tersebut mendeskripsikan jerih payah seorang ibu yang bertanggung jawab sekaligus mengalirkan kasih sayang terhadap anaknya mulai dari melahirkan, memberi makan, memfasilitaskan pendidikan, dan mendoakan. Hal tersebut dapat dilihat pada konstruksi yakni si mudedek aku ‘yang mendidik aku’, semayangmu kin anakmu ‘salat/doa ibu untuk kebaikan anaknya’, ngenal penorepen ‘mencari penghidupan’. Kata mendidik dalam penggalan lagu tersebut bermakna luas, maksudnya mulai dari mendidik ilmu dunia, akhirat, dan sosial. Selain itu, kata salat atau doa sang ibu untuk anaknya dapat dikatakan bahwa seorang ibu pasti di dalam sujudnya tidak pernah lelah mendoakan anaknya.

Selain itu, lagu Gayo tentang ine juga dapat dilihat dari Atu Tulu Grup yang berjudul Manat Ari Ine “Pesan/nasehat dari ibu” yang secara spesifik ditujukan pada anaknya yang sedang merantau. Ada juga lagu Gayo yang menceritakan tentang ine oleh Imaga. Yang inti dari lagunya menarasikan seorang ibu yang diamsalkan bak bayak bajungku. Masih banyak lagi lagu-lagu Gayo yang berbicara tentang seorang ibu. Dengan kata lain, sneiman/penyair Gayo memiliki prestise yang tinggi terhadap seorang ibu. Dengan demikian, masyarakat Gayo punya cara tersendiri dalam menyampaikan rasa respek yang sangat luar biasa terhadap ibu salah satunya menyusun lirik lagu yang sangat indah disusun sedemikian rupa dan tentunya memiliki gaya bahasa yang penih dengan estetika serta sarat makna.

Kedua, hasil obeservasi penulis khusus di lingkungan masyarakat Gayo yaitu bahwa anak-anak kecil menangis hampir rata-rata disela-sela tangisannya menyebut atau memanggil ine. Hal tersebut bukanlah sebuah kesengajaan atau kebetulan melainkan sebuah kode atau tanda intensitas kedekatan si anak dan ibu sangatlah erat. Logikanya, bahasa lisan yang spontanitas diucapkan oleh seorang anak muncul karena tingkat keseringan si anak menghabisi waktu hidupnya dengan ibunya bahkan seorang ibu itu tempat si anak mencurahkan isi hati, berbagi cerita, dan sedih juga pasti teringat sosok seorang ibu.

Ketiga, kata berimbuhan yang sudah konvensional dituturkan oleh penutur bahasa Gayo yaitu inengku. Secara Morfologi (Subdisiplin Ilmu Mengkaji Tata Bentuk Kata), kata berimbuhan berasal dari proses afiksasi kata dasar diimbuhan dengan imbuhan tertentu. Kata inengku ’ibuku’ termasuk salah satu kata berimbuhan karena dibentuk dari kata dasar ine ditambahkan imbuhan –ng dan partikel ku. Kata inengku akan berbeda maknanya dengan kata dasar ine. Makna yang dimaksud lebih pada peran perasaan dan unsur kepunyaan lebih ditekankan.

Maksudnya, penutur bahasa Gayo akan memanggil atau menyebutkan inengku untuk ibunya sendiri (ibu kandung) dengan penuh perasaan sayang serta menunjukkan kepada orang bahwa itu ibunya bukan ibu orang atau orang tua lain yang terkadang biasa dipanggil ine juga. Intinya, orang Gayo lebih sering memanggil ibu kandungnya ”inengku” ‘ibuku’. Sapaan tersebut dapat dijadikan bahwa seorang ibu kandung dipandang sangat diprioritaskan kedudukannya hingga pada katanya pun dibedakan.

Keempat, salah satu kegiatan/adat pranikah dalam masyarakat Gayo yang dilakukan oleh pihak keluarga masing-masing pengantin yaitu beguru ‘pemberian nasihat’. Kegiatan tersebut dijadikan sebagai sebuah acara yang dilaksanakan pagi hari. Acara tersebut khusus untuk memberikan nasihat/pelajaran/petunjuk secara lisan tentang cara bersikap dan berprilaku dalam membina rumah tangga nantinya. Di tengah acara, biasanya pengantin wanita melakukan sebuku (meratap) dengan melakukan sungkeman kepada kedua orang tuanya untuk memohon doa restu. Pada saat sungkeman tersebut, pengantin lebih lama berpelukan dengan ibunya. Sambil memeluk sang ibu, pengantin tersebut menangis tersedu-sedu seolah sedih berpisah dengan sang ibu, terbayang kasih sayang seorang ibu yang tak mampu dibayar oleh apapun, dan perasaan lainnya yang bergejolak membalut tangis antara ibu dan anak tersebut.

Dengan demikian, dapat juga dilihat bahwa saat menikah juga ada puncak kesedihan yang dialami si anak dalam pelukan sang ibu yang penuh suasana pilu. Begitulah persepsi positif masyarakat Gayo yang sungguh sangat luar biasa terhadap seorang ine.

*Guru Bahasa Indonesia di SMK Negeri 3 Takengon

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.