Ketika Akal Pensiun Maka Socrates Pun Ketawa

oleh

Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*

Lidah tajam karena Indonesia gila media sosial dan pikiran tumpul karena Indonesia tidak gila membaca buku.”

    Saat ini mesin pencari kebenaran telah digantikan dengan mesin pencari elektronik seperti Google, Yahoo, Ask, Bing dan lainnya. Dengan mesin pencari instan tersebut manusia dimanjakan untuk mencari apa pun yang ingin diketahuinya. Akal pikiran tidak perlu lagi bekerja keras mencari kebenaran dan dapat beristirahat dengan tenang sampai akhirnya akal pikiran menjadi malas bekerja. Biarlah jari telunjuk yang menggantikan tugasnya bersama dengan smartphone kesayangan. (Sahrul Mauludi, Socrates Cafe, 2018).

    Allah Swt memberikan kepada manusia akal untuk berpikir bukan disuruh diam layaknya lisan yang lebih baik diam daripada berbicara (diam kerap lebih terdengar daripada bicara), akal berfungsi untuk memverifikasi yang sedang terjadi dalam kehidupan sampai menemukan kebenaran dan argumen yang kuat sehingga bisa dapat dipertanggung jawabkan dengan fakta. Akal inilah yang saat ini sepertinya sudah pensiun dari berpikir, karena akal sudah digantikan dengan mesin pencari alat elektronik dan malas bertanya terhadap sesuatu.

    Akal dalam pengertian Islam bukanlah otak, tetapi daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Dalam pandangan Profesor Izutzu, kata akal di zaman jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intellegince) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut Izutzu adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali dihadapkan dengan problem.

    Dunia semakin maju dengan alat-alat elektronik tapi terkadang pikiran semakin mundur bahkan lebih mundur dari kaum jahiliah, dalam hal ini; seandainya Socrates masih hidup dan melihat orang-orang postmodern khususnya rakyat Indonesia dalam bermedia sosial (medsos) tanpa menggunakan pikiran yang sehat dan cerdas maka bisa jadi Socrates ketawa terbahak-bahak melihat ulah rakyat Indonesia yang katanya cerdas tapi tidak cerdas berselancar di medsos bahkan akal yang seharusnya memecahkan masalah justru alat eletrokniklah yang memecahkan masalah. Sungguh Lucu Bukan!

Medsos (Facebook, Whatshaap dan lain-lainya) adalah tempat wisata paling menyenangkan bagi sebagian rakyat Indonsia untuk memfresh pikiran, disini para nitizen menshare atau mencari informasi-informasi terupdate seputar dunia politik, ekonomi, pendidikan dan lain-lainnya. Dari semua isu, yang paling hits adalah isu politik. Apapun isu/informasinya yang menguntungkan untuk kelompoknya langsung dishare tanpa ada verifikasi atau penelurusan yang lebih mendalam, apakah berita tersebut fakta (no hoaks) atau fitnah untuk menyerang lawan kelompok.

Inilah yang penulis maksud dengan pikiran sehat dan cerdas, sebelum share informasi terlebih dahulu memeriksa informasi tersebut dengan baik dan benar agar tidak terjadi fitnah dan adu domba yang bisa membawa perpecahan dan permusuhan antar sesama anak bangsa. Bisa juga menggunakan metode Socrates (Socratid Method) yang berawal dari rasa “Tidak Tahu” dari tidak tahu maka mencari tahu dengan bertanya atau kritis pada diri sendiri bahwa kita tidak tahu apa-apa bukan merasa syok tahu.

Dalam buku Socrates Cafe menguraikan bahwa laporan Tetra Pak Index 2017, mencatat ada sekitar 32 juta pengguna internet di Indonesia. Sementara hampir setengahnya adalah penggila media sosial atau berkisar di angka 40 persen. Sementara berdasarkan studi Most Littered Nation In the World yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada 2006 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Unesco juga pernah mengungkapkan minat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen, yang artinya dari 1000 orang Indonesia, hanya satu yang rajin membaca.

Lemahnya minat membaca buku maka pikiran pun tumpul padahal salah satu fungsi membaca buku adalah mempertajam pikiran, dengan banyak membaca maka semakin banyak tahu dan orang-orang yang tidak tahu (malas membaca) suka menyalahkan orang lain. Sebaliknya lisan yang seharusnya diutamakan diam, justru lebih tajam dari pikiran.

Lisan tajam karena Indonesia gila media sosial dan pikiran tumpul karena Indonesia tidak gila membaca buku. Semoga pikiran kita tajam dan lisan tumpul bukan sebaliknya lisan tajam dan pikiran tumpul. Oleh karena itu, jangan sampai akal pensiun; ketika akal pensiun maka Socrates pun ketawa. Nah!   

*Penulis: Kolumnis LintasGAYO.co

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.