HUT Kota Takengon dan Pacuan Kuda

oleh

Oleh : Hammaddin Aman Fatih*

Kota Takengon merupakan ibu kota kabupaten Aceh Tengah yang terletak di Dataran tinggi Tanoh Gayo yang berada di pedalaman wilayah Pemerintah Aceh. Kute Takengon tahun  2019 ini memasuki usia yang ke 442.

Melalui UU No.7 Tahun 1956 kabupaten Aceh Tengah secara hukum dikukuhkan. Sebelumnya daerah ini telah eksis selama kedudukan Pemerintahan Kolonialisme Belanda, yaitu sejak tahun 1901 s/d 1942. Pada masa itu wilayah Afdeeling Takengon merupakan bagian wilayah Aceh Utara dengan ibu kotanya Sigli.

Pada saat itu Onder Afdeeling Takengon yang beribu kota Negeri Takengon yang terbagi atas 4 landscap (negeri) yaitu :

  1. Negeri Bukit dengan ibu kota Mampak.
  2. Negeri Linge dengan ibu kota Isaq.
  3. Negeri Syiah Utama dengan ibu kota Nosar.
  4. Negeri Cik dengan ibu kota Kemili.

Pada masa kemerdekaan RI, kabupaten Aceh Tengah terdiri atas 3 kewedanan, yakni :

  1. Kewedanan Takengon.
  2. Kewedanan Gayo Lues.
  3. Kewedanan Tanah Alas.

Pada tahun 1974 dengan keluarnya UU No.7 tahun 1974, kabupaten Aceh Tengah di bagi menjadi 2 kabupaten, yaitu : kabupaten Aceh Tengah dengan kabupaten Aceh Tenggara. Dan pada tanggal 23 Februari 2004, kabupaten Aceh Tengah di pecah lagi menjadi 2 kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Tengah dengan ibu kota Takengon dan Kabupaten Bener Meriah dengan ibu kota Redelong.

Sejak tahun 1945 s/d 2011 kabupaten Aceh Tengah telah 21 kali mengalami pergantian kepemimpinan, yakni sebagai berikut :

  1. Abdul Wahab tahun 1945 s/d 1949.
  2. Zaini Bahri tahun 1949 s/d 1952.
  3. Husain tahun 1952 s/d 1953.
  4. Mude Sedang tahun 1953 s/d 1955.
  5. Sahim Kasim tahun 1955 s/d 1958.
  6. Abdul Wahab tahun 1958 s/d 1964.
  7. Saleh A Sari tahun 1964 s/d 1966.
  8. Isa Amin tahun 1966 s/d 1969.
  9. Nyak Abas tahun 1969 s/d 1970.
  10. Nurdin Sufi tahun 1970 s/d 1975.
  11. Beni Bantacut, BA tahun 1975 s/d 1985.
  12. Jamil tahun 1985 s/d 1990.
  13. Zainuddin Maro tahun 1990 s/d 1991.
  14. T. Yoesoef Zainoel tahun 1991 s/d 1992.
  15. Buchari Isaq tahun 1992 s/d 1998.
  16. Drs. Mustafa, M.Tamy 1998 s/d 2004
  17. Nasaruddin, MM tahun 2004 s/d 2006 (Plt)
  18. Nasaruddin, MM dan Drs. Djauhar Ali tahun 2007 s/d 2011.
  19. Mohd Tanwier, MM tahun 2012 s/d  27 Desember 2012.
  20. Nasaruddin, MM dan Drs. Khairul Asmara tahun 2012 s/d 2017.
  21. Shabela Abubakar dan Firdaus, SKM tanggal 28 Desember 2017 sampai sekarang.

Untuk memerayakan berdirinya Kute Takengon. Pemkab setempat tahun ini rencananya akan mengadakan pacuan kuda tradisional di lapangan H. Muhammad Hasan Gayo yang terletak dikecamatan Pengasing yang diadakan selama 7 hari sejak tanggal 25 Februari s/d 03 Maret 2019 yang akan datang.

Pacuan kuda sebelumnya (Baca ; sebelum tahun 2003) diadakan di lapangan Musara Alun Takengon yang terletak di kecamatan Bebesen yaitu Kota Takengon setiap tanggal 17 Agustus setiap tahunnya dalam rangka memeriahkan peringatan hari kemerdekaan RI.

Kuda dulunya hanya menjadi alat angkutan ( transportasi ) di samping sebagai alat untuk membajak sawah dan berburu dan saat itu kuda juga menjadi alat untuk menentukan standar kekayaan seseorang.

Menurut suatu informasi ; bahwa dulu orang yang pertama kali menggunakan kuda sebagai alat transportasi di Tanah Gayo adalah Reje Linge. Beliau menggunakan alat transportasi kuda untuk menunjau daerah kekuasaanya dari pusat pemerintahaan kerajaan di Linge.

Beliau berangkat dari Negeri Linge ke daerah Serule terus ke daerah Samarkilang dan langsung balik ke Negeri Linge lagi. Begitu juga sebaliknya dari Negeri Linge berangkat ke daerah Samarkilang terus ke Serule  dan langsung ke Negeri Linge dengan posisi melingkar dan tak pernah dia pergi dan pulang dengan jalan yang sama.

Dahulunya bila masyarakat telah selesai pekerjaan bersawah, maka penduduk kaum Adam di Dataran Tinggi Tanah Gayo mencari kesibukan dengan mengurus kuda sambil menunggu waktu membajak sawah lagi. Biasanya hal ini bertepatan dengan bulan Agustus dan masyarakat mengadakan kegiatan pacuan kuda.

Pertandingan pacuan kuda pertama kali diadakan di tepi bagian timur danau Laut Tawar tepatnya di pantai pasir Desa Menye Kecamatan Bintang Kabupaten Aceh Tengah. Waktu itu Kaum Hawa ( Bahasa Gayo ; Jema Banan ) di larang ikut menonton pertandian pacuan kuda tersebut karena dianggap tabu.

Pada saat itu, para joki umumnya remaja tanggung berusia muda dan tidak dibenarkan merekai memakai baju waktu mengikut perlombaan pacuan kuda tersebut. Bila kuda yang diikutkan pertandingan meraih kemenangan, hal tersebut dianggap sebagai prestise yang menaikan derajat atau marwah kampungnya. Para pemilik dan jokinya diarak keliling kampung.

Areal perlombaan pacuan kuda tersebut diadakan di tepi pantai yang berpasir dengan jarak tempuh ± 2 km. Pada saat pertandingan berlangsung ada sebagai penduduk mengadakan kenduri sambil membunyikan canang secara bersahutan.

Sebelum kemerdekaan, sekitar tahun 1904 M keluarlah perintah Pemerintahan Kolonial Belanda agar lokasi pertandingan pacuan kuda dipindahkan lokasinya ke Pusat Pemerintahan di kota Takengon tepatnya di desa Blangkolak. Pada tahun 2003 keluar lagi keputusan dari pemda Aceh Tengah untuk memindahkan lokasi pertandingan pacuan kuda ke lapangan H. Muhammad Hasan Gayo Pegasing Takengon, Aceh Tengah desa Blang Bebangka di kecamatan Pegasing yang masih wilayah lingkungan kabupaten Aceh Tengah.

Menurut suatu sumber bahwa, Belanda dulunya memindahkan lokasi pertandingan pacuan kuda ke Takengon dari Bintang adalah untuk menyemarakan peringatan hari ulang tahun  Ratu Wilhemmina ( Baca : Ratu Belanda ). Setelah kemerdekaan Negara Republik Indonesia diadakan biasanya sehari setelah upacara peringatan 17 Agustusan

Akhirnya untuk membawa Kute Takengon kita ke hari depan yang penuh tantangan, yang hanya dapat kita atasi dengan selamat, dengan sebesar mungkin sikap ilmiah, rasional, keterbukaan, kesediaan menerima kritikan dan koreksi, dengan pola yang horizontal dan egaliter agar terbuka, kemungkinan mengeluarkan pikiran – pikiran alternative lewat proses kreatif yang bebas oleh sebanyak mungkin orang dalam stuktur yang benar – benar demokrasi dengan tidak mengenyampingkan hak – hak azasi manusia. Selamat Atas hari jadinya Kute Takengon yang ke 442. Semoga bisa semakin maju dan terus berbenah dan bisa nanti meraih piala Adipura Kencana atau sertifikat  Adipura,  atau Plakat Adipura.

*Penulis adalah hanya salah seorang pemerhati sosbud berdomisili di Kampung Kemili-Takengon.

Note : Penulis telah mengirimkan surat kepada redaksi LintasGAYO.co untuk meralat tulisan ini. 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.