Catatan : Zuhra Ruhmi*
Masjid merupakan salah satu bangunan sebagai bentuk eksistensi umat Islam. Menurut Muhammad Ayub (2007), masjid berfungsi sebagai tempat beribadah kaum muslimin dan mendekatkan diri kepada Allah, selain itu masjid juga sebagai tempat kaum muslimin memecahkan persoalan yang ada di masyarakat.
Masjid Asal yang terletak di Kampung Penampaan Kecamatan Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues merupakan salah satu masjid tertua di Aceh (Kanwil Kemenag Aceh, 2009). Masjid yang terletak di samping sungai Desa Penampaan Belah Imam ini telah berdiri pada tahun 815 M atau 1412 M.
Perpaduan desain modern dan tradisional membuat masjid ini memiliki daya tarik tersendiri. Sisi tradisional Masjid Asal ditampilkan dengan bangunan berukuran 20 x 20 m berdinding tanah, atap ijuk sebagai pelindung dan tiang-tiang kayu sebagai penyangga. Sementara di sebelah bangunan tua tersebut, konstruksi modern dibuat dengan dinding beton, atap terbuat dari seng serta lantai keramik putih. Di dalam masjid modern ini juga terdapat sumur yang dipercaya dapat menyembuhkan segala penyakit.
Meski sudah berusia sekitar 800 tahun. Masjid ini masih berfungsi sebagai tempat ibadah hingga saat ini. Masyarakat menggunakan masjid modern untuk shalat lima waktu, sementara shalat jum’at dan tarawih dilakukan di Masjid Asal yang tradisional dan modern.
Penggunaan masjid Asal ini merupakan bagian dari upaya untuk menghargai proses pembangunan kedua masjid ini. Masyarakat percaya dengan terus menggunakan kedua masjid maka pahala bagi mereka yang terlibat dalam pembangunan terus mengalir.
Inisiatif masyarakat untuk terus memanfaatkan masjid Asal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada masjid Tue Kebayakan, Kecamatan Kebayakan Kabupaten Aceh Tengah. Didirikan pada tahun 1895 secara bergotong-royong oleh masyarakat Kampung Lot Kala, Gunung Bukit, dan Kampung Jongok Meluem (Sagi Onom dan Sagi Lime) dengan ketua panitia Teungku Khatib.
Menarik mengetahui bahwa arsitektur masjid ini dirancang oleh seorang arsitek berdarah Cina bernama Burik. Namun saat ini masjid Tue Kebayakan tidak lagi digunakan sebagai tempat beribadah. Masjid ini telah beralih fungsi menjadi bukti sejarah dan cagar budaya, padahal masjid ini masih layak digunakan untuk tempat beribadah. Keberadaannya hanya menjadi monumen pengingat akan kemegahan dan fungsinya di masa lalu.
Masjid yang juga kehilangan fungsi sebagai masjid tidak hanya di Masjid Tue Kebayakan, tapi juga beberapa masjid tua lain di Gayo salah satunya masjid Tue di Kampung Delung Asli Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah. Namun Masjid ini jauh lebih beruntung, karena tidak lantas dijadikan cagar budaya tapi masih digunakan untuk Taman Pendidikan Agama (TPA) bagi masyarakat sekitar.
Dua cerita di atas memberikan gambaran perbedaan perlakukan terhadap keberadaan masjid tua. Antara mempertahankan fungsinya sebagai tempat ibadah dan menjadikannya sebagai cagar budaya. Keberadaan Masjid Asal Penampaan layak menjadi inspirasi bangunan yang memadukan antara orisinalitas masjid namun di saat yang sama juga melakukan perluasan agar dapat menampung jema’ah dengan bangunan baru tanpa merusak dan menghilangkan fungsi masjid tradisional.
Jika mengacu pada kepercayaan masyarakat bahwa keberadaan masjid yang masih berdiri dan terus digunakan dapat menjaga pahala mengalir kepada pihak yang membantu, maka Masjid Asal Penampaan dapat menjadi contoh untuk mencapai tujuan ini.
*Zuhra Ruhmi merupakan redaktur pelaksana media LintasGAYO.co juga ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Takengon.
Sumber :
Bidang Penamas Kanwil Depag Provinsi Aceh, 2009, Masjid Bersejarah di Aceh Jilid 1, Banda Aceh: Depad Provinsi Aceh
Ayub, Muhammad, 2007, Manajemen Masjid, Jakarta: Gema Insani Press