Balada Surat Perdamaian JK ke Muallim (Kado Ultah ke-55 untuk Letjen TNI Doni Monardo)

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Doni Monardo (kiri) dan Fauzan Azima (kanan)

SEORANG sahabat wartawati yang pernah terpisah puluhan tahun sejak saya gabung dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka), sempat bertanya, “Jadi, bagaimana sebenarnya kisah terjadinya perdamaian antara GAM dan RI?” tanyanya dalam pertemuan kami yang pertama setelah puluhan tahun berpisah.

Suatu hari, tepatnya pertengahan Juli 2004 saya menerima seorang utusan dari Panglima GAM, Muzakkir Manaf yang mengabarkan bahwa Sang Muallim kami, Muzakkir Manaf tengah berada pada posisi yang terjepit di sekitar Aceh Utara. Saya yang saat itu tengah bersama dua orang anggota pasukan, yakni Muhammad Gerhana dan Ungel segera bergegas pergi ke lokasi untuk membantu Muallim. Sayangnya saat berada di perjalanan di daerah Bintang, Aceh Tengah, kami dikepung.

Muhammad Gerhana syahid saat itu juga. TNI berhasil menyita satu pucuk senjata laras panjang double loop. Akibat dari pengepungan itu saya berpisah dengan Ungel. Perlahan, saya bergeser kembali ke Pasir Putih, Kecamatan Syiah Utama, kabupaten Bener Meriah.

Tanggal 22 Agustus 2004, sekitar pukul 14.00 saya bertemu dengan pasukan wilayah Linge di bawah gunung Batu Kapal. Kita terlibat pembicaraan ramah-tamah dan santap malam bersama. Sedang asyik kita bercengkerama… tiba-tiba terdengar letusan senjata  SS1 dan rentetan bunyi M60 membombardir. Kiranya pasukan TNI telah datang menemukan lokasi kita. Aku melihat Teungku Gele Bayak (Biro Penerangan), Aman Nanang dan Sulaila (Inong Bale) seketika tergeletak berlumuran darah. Syahid.

Anggota pasukan Linge lainnya berlari ke hutan menyelamatkan diri. Aku sendiri masih sempat menyelamatkan kain sarung,  buku catatan, sandal dan memakainya sebelum lari pula menyelamatkan diri ke kegelapan hutan dipandu seorang anggota pasukan Linge.

Dalam kegelapan hutan, kami terpisah satu sama lain. Tetapi ajaibnya, beberapa hari kemudian saya bertemu kembali dengan utusan Muallim yang  tersebut dulu, untuk kedua kalinya. Maka kami segera berangkat menemui pasukan Pimpinan Teungku Salman alias Teungku Singa (Komandan Operasi GAM  Wilayah Linge) yang stand by di Bukit Rebol, kecamatan Permata Bener Meriah untuk menjemput Muallim yang sedang berada di perbatasan Aceh Utara. Saat itu adalah bulan September 2004.

Bersama pasukan Teungku Salman, saya bergerak menjemput pasukan Muallim yang terdiri dari 16 orang anggota pasukannya, diantaranya adalah Husaini Prangko, Ayah Man, Ayah Ija Krung, Petrus (Fadli Abdullah) dan beberapa anggota lainnya. Dari perbatasan kami bawa Muallim ke Bukit Rebol dan di tempat tersebut kami bisa bertahan sampai kurang lebih empat bulan.

Naasnya, di suatu hari di bulan Desember 2004, seorang anggota pasukan tertangkap. Sehingga tak menunggu waktu lama, aparat keamanan pun mengetahui keberadaan Muallim yang sedang bersama kami. Terjadilah pengepungan besar-besaran di daerah Rebol. Kami dibom dengan meriam kodok dan pesawat Bronco. Melihat situasi yang tidak mungkin bertahan lama lagi, kami meminta bantuan kepada Syaiful Cage untuk menyelamatkan Muallim dan mengungsikannya ke wilayah yang lebih aman. Sepanjang perjalanan kami dikepung pasukan TNI, dari darat maupun udara. Seingatku, itulah masa terakhir kalinya pasukan TNI menggunakan pesawat dalam menyerang GAM.

Setibanya di Hutan Matang Gelumpang Dua dan Krueng Mane, Kabupaten Bireuen, kami menyerahkan Muallim kepada pasukan Syaiful Cage. Saat itu, saya sendiri belum bisa kembali ke Bener Meriah karena operasi pagar betis  TNI belum berakhir dan terpaksa kami berputar-putar di kawasan hutan di wilayah Bateileek.

Disaat yang bersamaan, kami mencari ‘wilayah berdaulat’ di daerah Alue Gatai yang terletak antara Krueng Mane dan Matang Geukumpang Dua. Kami menganggap Alue Gatai merupakan sebuah daerah yang betul-betul ‘keramat’. Meski luasnya hanya 100 meter persegi, tetapi tidak pernah terjadi kontak senjata di sana. Padahal tempat tersebut beberapa kali di kepung, namun TNI tidak pernah sampai ke sana.

Pada 24 Desember 2004, kami berada di sana dalam keadaan kekeringan tanpa setetes air. Namun, Allahu Akbar… saat itu tiba-tiba tsunami mengguncang Aceh. Setelah gempa besar dengan gelombang tsunami itu, air mengalir dengan derasnya. Pasukan Linge saat itu dalam posisi terkepung. Namun karena tsunami, pasukan TNI kembali ke markas masing-masing, dan tidak pernah bisa menembus wilayah Alue Gatai.

Di wilayah Alue Gatai inilah saya dihubungi oleh seorang bernama Ibrahim, tepatnya pada Pebruari 2005. Beliau menghubungi langsung nomor pribadi saya.  Kendati  sedikit heran darimana ia tahu nomor saya, namun saya memutuskan tak bertanya karena ia mengaku sebagai seorang pengusaha asal Jakarta yang sedang mengerjakan proyek rehabilitasi paska tsunami Aceh. Saat itu saya percaya saja dengannya karena selain bahasanya sangat halus dan sopan,  konteksnya  menghubungi saya pun tidak dalam perkara perjuangan GAM. Ia justeru lebih mengarah pada silaturahmi kekeluargaan dan menanyakan kabar saya, ibu dan keluarga saya. Dalam benak saya waktu itu, pastinya Ibrahim adalah seorang Pengusaha  Aceh yang peduli dengan perjuangan GAM.

Padanya saya bilang, “Kalau benar mau membantu GAM, tolonglah Bapak bebaskan ibu saya, jangan lagi wajib lapor ke Kodim,” pinta saya kepada Ibrahim.

Ibu saya yang bernama Rusmawati adalah Kepala Sekolah Dasar di Simpang Bahgie, kecamatan Bandar, Bener Meriah. Saat itu ibu  saya terpaksa harus bolak balik dipanggil oleh Aparat Kodim 0106 Aceh Tengah karena menerima transfer dana dari salah seorang kepercayaan Muzakkir Manaf, sebanyak 20 juta rupiah, yang diteruskan kepada saya dan selanjutnya saya serahkan kepada Muzakkir Manaf. Maka saat itu, Pak Ibrahim hadir sebagai penolong bagi Ibu saya. Beliau berhasil membebaskan ibu saya dari wajib lapor tersebut.

Ternyata kehadiran Ibrahim juga untuk menyampaikan amanah, yakni sebuah surat yang ditujukan kepada Muzakkir Manaf. Menurutnya, surat tersebut berasal dari Jusuf Kalla. Saat itu muncul rasa cemas dan kekhawatiran dalam hati saya. Sebagaimana kekhawatiran pejuang GAM lainnya adalah dicap sebagai pengkhianat. Tidak sedikit pejuang GAM yang berhubungan dengan pihak Indonesia akhirnya diputuskan hubungannya dengan GAM di lapangan dan pimpinan GAM yang di luar negeri. Perang batin yang berkecamuk inilah yang membuat saya semakin khawatir.  Di satu sisi Pak Ibrahim telah membebaskan ibu saya dari wajib lapor kepada Kodim 0106 Aceh Tengah. Namun di sisi lain, kalau saya menerima surat tersebut saya dianggap berhubungan dengan musuh, yang ujung-ujungnya dicap sebagai pengkhianat.

Jujur saja, saya berpikir ekstra keras pada waktu itu. Muncul beberapa pertanyaan dalam hati saya. Antara lain, apakah tawaran ini saya terima? Apa akibatnya kalau surat itu saya terima? Jangan-jangan nanti dicap pengkhianat karena Teungku Abdullah Syafi’i juga dikabarkan syahid karena surat yang disampaikan Gubernur Abdullah Puteh? Di saat kecemasan dan rasa khawatir yang mendalam itu, Ibrahim mengatakan, “Suratnya nanti saya titip sama Ibu di Takengon, ya!”. Sayapun tidak bisa berkata-kata kecuali menjawab, “Iya Pak!”.

Untuk mengurangi rasa cemas dan khawatir, saya selalu berdiskusi dan berkonsultasi dengan Teungku Chalidin Gayo (Jangko Mara), selaku wakil Panglima GAM wilayah Linge yang sangat dekat dengan Muallim. Secara rinci dan detail, apapun komunikasi saya dengan Ibrahim selalu saya sampaikan, termasuk perihal titipan surat dari Jusuf Kalla untuk Muallim. Bagaimana cara menyampaikan surat tersebut kepada Muallim juga menjadi sebuah diskusi yang cukup intens antara saya dan Jangko Mara. Surat tersebut tiba di tangan saya pada Maret 2005, saat saya berada di daerah Alue Gatai.

Ada sebuah peraturan tidak tertulis di dalam GAM. Peraturan tersebut adalah pantang menanyakan posisi. Kami hanya boleh mengatakan, “Kami berada di wilayah berdaulat, meski dalam keadaan terkepung”. Oleh karena itu saya tidak mungkin menanyakan posisi Muallim, dan tidak mungkin juga saya titipkan surat itu kepada orang lain karena sangat berbahaya.

Pertengahan April 2005, berlangsung perundingan GAM-RI putaran ketiga yang digagas oleh CMI pimpinan Mantan Presiden Finlandia, Marti Atasari. Di saat yang bersamaan, saya dan Chalidin Gayo memegang naskah Tawaran Damai kepada pasukan GAM yang isinya 23 Poin; antara lain memberikan aset Pemerintah Pusat kepada pasukan GAM, dan mendapatkan pekerjaan dan tabungan abadi.

Namun sebelum membacakan surat itu melalui hubungan telepon se lular, kami mewanti-mewanti Muallim, bahwa kami tidak ada niat untuk berkhianat dan mengatakan kepada Muallim, “Sebaik-baik musuh adalah tetap musuh, Muallim” kata saya menegaskan.  Lalu kami bacakan surat tersebut kepada Muallim sebanyak tiga lembar. Setiap selesai membaca satu halaman, saya menengahi dengan bilang, ‘nyoe haba musuh, Muallim  (ini kata musuh)’ dan Muallim hanya menjawab, “Get (iya)” .

Saat itu hingga momen perjanjian damai antara GAM-RI yang ditandatangani tanggal 15 Agustus 2005, saya tidak pernah lagi berjumpa dengan Muallim. Namun komunikasi kami tetap intens karena menjelang perundingan di Helsinky banyak berita-berita ‘info mameh’ atau berita gembira (angin surga)dari luar negeri yang harus disampaikan kepada pasukan. Sejak berpisah dengan Muallim pada Desember 2004 di wilayah Bateeilek, saya baru bertemu kembali sepuluh bulan kemudian pada Oktober 2005. Dan saat itulah saya serahkan langsung surat amanah itu kepada Muallim pada pertemuan pembentukan organisasi transformasi dari GAM kepada KPA (Komite Peralihan Aceh) di Meureu, Aceh Besar, Oktober 2005.

GAM-RI damai sudah. Aceh kembali pada pangkuan Ibu Pertiwi. Tahunan berlalu tanpa terasa. Sekitar 20 Maret 2015,  tiba-tiba saya mendapat telpon dari seseorang yang mengaku pernah membantu Ibu saya saat berurusan dengan Kodim. Dan dia juga menyinggung surat damai yang dibawanya dari Jusuf Kalla untuk Muallim yang dititipkannya pada Ibu saya di Takengon. Lantas dia bertanya, “Masih ingat siapa saya?”

Mengenang semua yang diceritakannya, tanpa pikir lama seketika saya jawab, “Pak Ibrahim tentu saja.”

“Sebenarnya nama saya Doni Monardo. Saya dari TNI,” katanya.

Saya terdiam. Kelu. “Dan saat ini jabatan saya adalah  Danjen  Kopassus. Untuk mengenang kisah Aceh, saya ingin mengundang  Pak Fauzan ke Jakarta dalam rangka memperingati ulangtahun Kopassus ke 63 di Markas Kopassus Cijantung.”

Benak saya berkecamuk. Satu sisi saya merasa dibohongi. Tapi bagaimanapun dia telah membantu Ibu saya. Membebaskan ibu dari wajib lapor ke Kodim 0106 Aceh Tengah. Dan adapun Surat Damai dari Jusuf Kalla waktu itu, menurut Pak Doni awalnya diserahkan kepada Aswin Manaf (abang kandung Muallim) tetapi Aswin Manaf tidak pernah komunikasi dengan Muzakkir Manaf sehingga Aswin Manaf meminta tolong kepada Pak Doni untuk menyerahkan surat itu langsung kepada Muzakkir Manaf.

Dan menurut Pak Doni, secara feeling ia yakin  bahwa posisi Muzakir Manaf pasti berada di wilayah selatan yakni daerah Gayo. Maka ia berusaha menghubungi Panglima di wilayah Linge, Gayo, sehingga  terhubunglah dia dengan saya yang waktu itu adalah Panglima GAM Wilayah Linge. Subhanallah. Saya merasa bahwa Pak Doni Monardo memang seorang berhati baik dan berniat lurus. Kalau mau, dia bisa saja mencelakai ibu saya saat itu atau apapun itu untuk menjebak saya. Tetapi nyatanya ia justeru membuat saya mengenang cara silaturahminya yang sangat terpuji. Beliau memang seorang Satria Bangsa.

Berdedikasi penuh dengan kesatuannya. Kini  Letnan Jenderal Doni Monardo menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Pertahanan Nasional atau SesJen Watanas. Di ulangtahunnya yang ke 55 ini, 10 Mei 2018, saya ingin mengucapkan selamat dan doa buatnya. Selamat Ulang Tahun, Jenderal… semoga Allah Subhanahu Wa Taa’la senantiasa merahmatimu dengan berkah dan keselamatan.

*) Mantan Panglima GAM Wilayah Linge.   

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.