BEGITULAH penyair, momen mengesankan diabadikan dengan puisi, seperti yang dilakoni Zuliana Ibrahim si penyair perempuan berdarah Gayo. Dia bersama rekannya Eviza Hayati, Fauraria Valentina melakukan wisata arung jeram di sungai Pesangan Takengon dengan start point Uning hingga finish point Lukup Badak sejauh 3 Km, Minggu 29 April 2018.
Jalur ini berbeda dengan grade sungai yang selama dikelola Koperasi Wisata Alam Gayo, Lukup Badak-Sanehen dengan grade 1-2 (arung jeram keluarga dan pemula).
Aliran sungai Uning-Lukup Badak memiliki grade 3+ saat kemarau dengan melintasi salahsatu tempat bernama Brawang Mejin yang bikin hati berdebar saat melintasinya.
Berikut puisi yang ditulis Zuliana Ibrahim yang dalam pengarungan juga ditemani penikmat wisata Muhammad Syukri, ketua Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI) Aceh Tengah Khalisuddin dengan skipper Afrizal.
Berawang Mejin, Perempuan yang Menari di Tubuh Peusangan
Seorang perempuan menerkam kesunyian dari bawah jembatan. Kala embara angin menjentik ingatan. Mencangkul kenangan beberapa bulan silam. Dikelambui awan petang, matahari tampak lebih kalem.
Perempuan itu dipinang riak yang jatuh ke kantung matanya. Degup meringkuk dalam pelampung biru, napasnya berubah kabut. Punggungnya siap nahkodai dayung jelmaan putri duyung. Wajahnya ditelan takjub.
Perempuan itu lalu menenggelamkan kakinya di selangkang perahu karet. Jantungnya berubah haluan memeluk bebatuan yang dililit nadi Peusangan. Teringat rahim bunda yang pernah ia rampas kebebasannya.
Perempuan itu mengayunkan tubuhnya, menari di hulu Peusangan. Darahnya ikut menderas, melewati lorong-lorong yang terperangkap gigil. Terperosok dalam zikir yang parau. Bunga-bunga ilalang melambai menertawai ketakutannya.
“Boooom!” seorang lelaki memberi aba-aba, yang lain memasang kuda-kuda.
Perempuan itu memaksa senyum dalam kecut. Ia mengemas tenang yang sulit terbaca di matanya. Menebak risau selanjutnya akan ia temui.
“Dayung kanan!” aba-aba menggaung di telinga. Pucuk ilalang pun sempat mencium pasi pipinya, bongkahan batu menepis dayungnya. Ia disuguhi praduga, tak pula menghujat. Perempuan itu terus mendidih untuk menyelesaikan tariannya di tubuh Peusangan.
Perempuan itu kini tiba di ketiak Peusangan, mendongak melihat kincir tua yang diam disantap waktu. Semesta diparut zaman, pelan-pelan namun terus berdetak. Mengepung sekujur penjuru.
Perempuan itu akhirnya sampai kembali di bawah jembatan. Mulutnya disesaki pujian, mengunyah kata-kata untuk melafal tubuh Peusangan. Matanya menanak kenang, lagi-lagi ia ingin menari di tubuh Peusangan.[]
Arung Jeram Lukup Badak, April 2018