[Cerpen] Sebuah kisah: Aku Hanya Ingin Berlari (Bag. 2)

oleh

 

Oleh: Gilang Farouzie*

JAUH sebelumnya, selama berabad-abad para pakar dalam bidang kedokteran, pelatih dan atlet meyakini bahwa seseorang tidak akan sekali-kali mampu melaju sejauh 1 mil dalam waktu kurang dari 4 menit. Secara fisiologis tubuh seseorang tidak dirancang untuk bisa melaju dalam kecepatan sebesar itu, kecuali apabila ia ingin mengalami kerusakan pada struktur tulang dan paru-parunya. Selain itu jantung juga akan mengalami gangguan sebelum menembus waktu 4 menit. Berlari sejauh 1 mil kurang dari 4 menit itu tak ubahnya seperti memaksakan sebuah mesih penggiling benda-benda lunak untuk menggiling benda yang lebih keras. Pada akhirnya mesin itu akan mengalami kerusakan.

Konon, pada masa Yunani kuno, orang-orang di sana sengaja melepaskan beberapa ekor singa untuk mengejar para pelari, dengan harapan bahwa mereka bisa berlari lebih cepat. Namun, hingga beberapa abad setelahnya, berlari sejauh 1 mil kurang dari 4 menit tetap menjadi “mimpi” bagi pelari di seluruh dunia. Sampai pada akhirnya, pada tahun 1954, seorang bernama Roger Bannister menggemparkan dunia, ia adalah orang pertama di planet bumi yang meruntuhkan anggapan batas kemampuan manusia dalam berlari secepat mungkin. Ia adalah orang pertama yang berhasil berlari sejauh 1 mil dalam waktu 3 menit 59.4 detik. Dan sejak saat itu, sampai beberapa tahun setelahnya, belum ada yang berhasil mengalahkan rekor Roger Bannister dalam berlari cepat. Bahkan Roger sendiri mengaku tidak bisa mengalahkan rekornya sendiri. Untuk itulah Riko, seorang anak yang berasal dari kampung, memutuskan melatih kecepatan kakinya. Ia ingin mengalahkan catatan waktu milik si Roger!

Riko tinggal di sebuah desa yang kecil. Maka, ketika pertama kali ia memutuskan untuk berlatih berlari, orang-orang desa langsung mengetahui ambisinya tersebut, lantas mengolok-oloknya. Sekali waktu ia secara tak sengaja pernah mendengar beberapa orang desa sedang bercakap-cakap, berbicara tentang dirinya.

“Lihat anak dungu itu. Dia masih berlari. Mungkin dia ingin menjadi secepat pesawat terbang!” Kata salah seorang sembari terkekeh-kekeh. Ia mengusap-usap keningnya seakan-akan apa yang dikatakannya barusan adalah hal yang tak masuk akal.

“Memangnya mau makan apa dia dengan berlari? Dasar bodoh!” Temannya yang lain menimpali sembari ikutan tertawa, meremehkan.

“Aku pernah dengar. Katanya dia ingin memecahkan rekor.” Kali ini seorang yang lain lagi berkata. “Siapa namanya? Orang Inggris itu? Roger?” Ia tergelak memegangi perutnya. “Anak kampung ingin memecahkan rekor seorang atlit? Dasar tolol.”
Mereka semua terbahak-bahak.

Memang, sejak pertama kali Riko mengutarakan ambisinya untuk mengalahkan catatan waktu yang dimiliki Roger, ia pernah menceritakannya pada beberapa orang. Hanya beberapa orang. Tapi entah bagaimana ambisinya itu kemudian terdengar oleh semua penduduk desa. Yang menjadi masalah sesungguhnya tidak terletak pada ambisinya itu, tapi lebih kepada ketika penduduk desa mengetahui bahwa Riko, demi memenuhi ambisinya, memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya setelah ia lulus dari SMA setahun yang lalu sebagaimana yang dilakukan anak-anak desa seumuran dirinya. Hal inilah yang membuat penduduk desa menjadikannya bahan lelucon, dan karena hal ini pula Riko menerima pertentangan keras dari ibu dan kakaknya.

“Kenapa? Apa yang akan kamu lakukan? Mau jadi apa kamu nanti?” Ibunya memberondong ketika pertama kali Riko mengutarakan maksudnya untuk tidak melanjutkan pendidikan.

“Aku ingin berlari.”

“Apa maksudmu?” Ibunya memekik, tak mengerti.

“Aku ingin berlatih berlari.”

“Riko …” Ibunya masih belum sepenuhnya mengerti, “Apa yang bisa kamu dapatkan dari berlari, Riko?”

Riko menundukkan kepalanya, menyapu-nyapu ujung bajunya yang tidak kotor. Saat itu ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan pada ibunya. Tentang ambisinya. Tentang waktu yang akan ia targetkan untuk bisa ia pecahkan. Bagaimanapun penjelasan yang akan ia berikan nantinya, ia sudah terlanjur percaya bahwa ibunya tidak akan pernah memahami.

“Aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku ingin berlatih berlari.” Hanya itu yang mampu ia katakan pada akhirnya.
“Kakak sudah dengar dari orang-orang desa yang berbicara tentang dirimu, Riko!” Terdengar penekanan yang kuat dari perkataan itu. Riko tahu, seperti ibunya, kakaknya juga pasti tidak setuju dengan keinginannya. “Kamu ingin memecahkan rekor?”

Riko diam saja, menatap wajah kakaknya yang berada tak jauh dari ibunya. Lalu kembali menundukkan pandangannya, melihat kakinya sendiri.

“Ingat, Riko. Memecahkan rekor itu artinya kamu harus mengalahkan para atlit. Mereka adalah orang-orang yang terlatih. Mustahil! Mustahil seorang anak kampung seperti kamu bisa mengalahkannya!”

“Itulah alasan aku mau berlatih.”

“Riko …” Ibunya kembali berkata, “Ibu sudah kumpulkan uang untuk kebutuhanmu kalau kamu mau melanjutkan pendidikan. Teman-temanmu semua juga melakukannya. Ibu tidak mau melihat kamu menjadi satu-satunya anak yang tak berpendidikan nantinya.”

“Aku sudah membaca banyak buku. Aku bisa membaca dan menghitung.” Riko menjawab walau ia tahu itu pasti tak akan membantu.

“Biarkan saja, Bu …” Kakaknya berkata dengan nada yang tak menyenangkan, “Biarkan saja anak ini. Biarkan saja dia memenuhi ambisi bodohnya itu. Tapi ingat, Riko …” Kakaknya mengacung-acungkan telunjuknya pada Riko yang masih terus menundukkan kepala, “Jangan salahkan siapa-siapa kalau kamu menyesal. Aku tidak peduli! Biarkan saja dia, biarkan saja!”

Biarkan saja … Riko mengira bahwa membiarkannya mungkin jauh lebih baik. Sebab, bagaimanapun, ia sudah terlanjur memaktubkan ambisi besarnya ini dalam-dalam di sanubarinya. Butuh lebih dari sekedar ancaman atau kata-kata menyesal seperti yang dikatakannya kakaknya tadi untuk bisa menghentikannya. Ia tahu benar soal itu. Maka, membiarkannya saja jauh lebih baik, meski tak sepenuhnya baik.

Saat ayahnya pulang ke rumah, dari dalam kamar Riko mendengar ibunya menyampaikan percakapan mereka tadi pada ayahnya. Ibunya menyampaikan bahwa Riko tidak ingin melanjutkan pendidikannya. Ibunya juga menyampaikan bahwa, walau ia masih dalam keadaan belum sepenuhnya mengerti, Riko ingin berlatih berlari. Tidak berapa lama setelah itu ayahnya datang menemui Riko di dalam kamar. Namun, sebagaimana biasanya, ia mengetahui bahwa ayahnya tidak akan berkata apapun padanya.

Ayah Riko adalah seorang pria bersahaja dan pendiam. Ia adalah lelaki yang tidak banyak bicara. Sering kali, ketika ingin menyampaikan beberapa hal kepada anak-anaknya, termasuk Riko, entah itu merupakan perkara yang penting atau tidak, ayahnya hanya diam sambil menatapnya dalam sebuah tatapan yang penuh makna. Hal semacam ini sudah terlampau sering terjadi, sehingga Riko hampir lantas memahami apa yang sedang ayahnya coba sampaikan dalam tatapannya. Sebagaimana pula yang dilakukan ayahnya kali ini.

Ayahnya memasuki kamar itu lalu duduk di samping Riko yang juga sedang duduk di pinggir ranjangnya. Untuk beberapa saat lamanya, yang terdengar di dalam kamar itu hanyalah suara tetesan air yang berasal dari bak kamar mandi belakang dan kicau-kicau burung di belakang rumah. Ayah dan anak itu diam dalam keheningan. Riko menekan kedua tangannya di pinggiran ranjang beberapa kali, memandangi kakinya yang keras dan sengaja ia ayun-ayunkan sebelum akhirnya ia mengangkat kedua tangannya dari pinggiran ranjang itu, lalu memainkan jari-jemarinya. Tak berapa lama, Riko merasakan sesuatu menyentuh ubun-ubun kepalanya. Tangan ayahnya yang kekar namun lembut diletakkan di situ. Dan saat itulah Riko mengalihkan pandangannya menatap wajah ayahnya, ia menemukan makna yang dalam dari mata lelah ayahnya yang penyayang itu. Tak butuh waktu lama, hanya beberapa detik ia langsung mengetahui apa yang sedang disampaikan oleh mata lelaki yang dipandangnya dengan penuh kekaguman itu.

“Apapun yang ingin engkau lakukan, berjuanglah, nak!” Demikian kira-kira yang disampaikan oleh ayahnya melalui matanya yang sebening kaca.

Riko tersenyum, ayahnya berlalu.

Suatu hari, ketika Riko sedang berada disalah satu ruangan di rumahnya, duduk di atas sebuah kursi yang terbuat dari rotan yang telah menghitam, di belakang meja kecil yang juga terbuat dari bahan yang sama, Riko mengamati kakaknya akan datang menghampirinya. Di tangan kakaknya yang berayun-ayun ia mendapati kertas berkibar-kibar, meningkahi langkahnya yang tampak terlalu cepat untuk berjalan dalam ruangan sekecil itu.

Kakaknya kemudian menghempaskan kertas itu di atas meja di depannya. Sesaat setelah membanting kertas itu, Riko mendengar nafas kakaknya tersengal-sengal, seperti nafas seseorang yang berusaha menahan amarah. Di atas meja di depannya, Riko mendapati sebuah surat kabar. [SY] Bersambung…

Baca : [Cerpen] Sebuah kisah: Aku Hanya Ingin Berlari (Bag. 1)

Gilang Mutahari Farouzie

*Gilang Mutahari Farouzie, lahir di Aceh Tengah, 18 Desember 1991 beralamat Bale Atu, Takengon. Alumnus SMA N 5 Jakarta, Jakarta Pusat, 2006 – 2009 dan Teknik Informatika (S1), Institut Teknologi Medan, 2009 – 2013. Mendirikan sebuah komunitas seni dan olah raga di Jakarta, Medan dan Aceh Tengah pada tahun 2010 – 2013. Menjabat Sebagai Koordinator Bidang Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Teknologi Medan periode 2012 – 2013. Admin Web di PT. Sempurna, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang distributor perangkat keras komputer di Jakarta pada tahun 2014, Admin Web di Gudangcomp.com pada tahun 2014. Promo Officer di PT. Overseaszone Education Consultan, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang konsultan pendidikan luar negeri di Jakarta pada tahun 2015, administrator & Operator di CV. Bima Cipta Konsultan, sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang konsultan konstruksi di Aceh Tengah pada tahun 2016. Sekretaris dan Operator di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) An-Najah pada tahun 2017, kontributor (penulis) di situs berita online sipena.com pada tahun 2015. Saat ini aktif sebagai penulis dan pembicara. Karya Yang Telah Terbit: Mercusuar Padang Pasir (sebuah novel) yang diterbitkan oleh Penerbit Guepedia, Bekasi, Jawa Barat pada Maret 2016; LENSA (sebuah novel) yang diterbitkan oleh penerbit Giatmedia (Divisi Sastra Penerbit Rayhan Intermedia), Makassar, Sulawesi Selatan pada tahun dan bulan yang sama dengan diterbitkannya karya yang pertama, Maret 2016. E-Mail: gilangmutahari@gmail.com.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.