[Cerpen] Sebuah kisah: Aku Hanya Ingin Berlari (Bag. 1)

oleh

 

Oleh: Gilang Farouzie*

SEORANG pria berseragam kemeja bersaku banyak baru saja memberitahu kepada Riko bahwa saat ia keluar dari ruangan itu beberapa kamera akan mulai menyorotinya. Dari sudut matanya, Riko bisa membaca sebuah plat kecil keemasan yang tertempel di bagian dada sebelah kanan pria tersebut, persis di atas sakunya: Ahmad Zainuddin, nama pria itu. Sementara di bagian dada sebelah kiri, masih di atas saku, Riko mendapati sebuah logo stasiun televisi swasta yang, meski terkenal, namun ia tidak cukup akrab dengan logo tersebut. Tapi ia pernah melihatnya saat berada di rumah salah satu tetangganya yang memiliki televisi. Tidak banyak orang yang memiliki televisi di desa tempat Riko tinggal, kecuali hanya bagi mereka yang cukup kaya untuk bisa membelinya, dan orang kaya itu, satu-satunya, adalah tetangga Riko, seorang pemilik peternakan dan perkebunan yang luas di desa tersebut.

“Anda akan disiarkan secara langsung … “ Pria itu menambahkan.

Riko meletakkan kepalan kedua tangannya di pinggang seraya menundukkan kepala, mengamati sepatunya yang jelek. Siapa saja yang mengamati sepatu tersebut pasti tahu bahwa sepatu itu telah dijahit lebih dari satu kali. Riko sudah menggunakan sepatu itu sejak pertama kali ia melatih kecepatan larinya beberapa tahun yang lalu. Meski seseorang pernah menyarankan untuk menggantinya, setidaknya hanya ketika ia berlari di lintasan yang sebentar lagi ia masuki, Riko dengan santun menolaknya. Masalahnya, ada terlalu banyak hal yang telah ia lewati bersama sepatu usangnya. Lagipula kakinya pasti akan merasa tak nyaman dan perlu beradaptasi jika ia menggunakan sepatu baru. Ia mengira, mungkin saja, sepatu baru pasti akan mengurangi kecepatan larinya.

“Saya tahu Anda mungkin belum terbiasa dengan kamera …”

Pria berkemeja yang bernama Ahmad itu masih menjelaskan. Dari gerak-gerik Riko, termasuk ketika mengamati sepatu jelek itu, ia lantas mengetahui bahwa tak tertutup kemungkinan keberadaan kamera-kamera yang merekamnya nanti akan sedikit mengganggu konsentrasinya. “Sebuah kamera juga telah dipasangi dudukan beroda.” Lanjut pria itu, “Anda akan menemukan kamera itu berada di pinggir arena. Saat Anda berlari nanti, kamera yang telah dipasangi roda itu akan mengimbangi kecepatan lari Anda. Saya tahu mungkin itu akan mengganggu, tapi sudah menjadi tugas kami untuk mendapatkan gambar. Lagipula, sejauh ini, seorang pelari profesional tidak pernah mengeluhkan keberadaan kamera-kamera itu.” Ahmad mengakhiri sembari tersenyum, bermaksud membesarkan hati Riko.
Riko membalas senyuman ramah itu dan mengucapkan terima kasih.

“Silakan. Semua orang telah menunggu Anda. Semoga berhasil.”

Ahmad mengayunkan tangan kanannya, menunjuk ujung ruangan, mempersilakan Riko untuk berjalan ke sana.

Setelah menganggukkan kepala kepada pria tersebut, Riko menarik dan menghembuskan nafasnya sampai beberapa kali, seakan-akan berharap bahwa perbuatan itu akan menghilangkan rasa sesak akibat canggung dan gugup yang ia rasakan. Namun, kenyataannya hembusan nafas itu belum cukup membantunya menghadapi hari besar ini. Ini adalah hari yang telah lama ia tunggu kedatangannya, sebuah hari dimana akan menjadi satu titik bersejarah di dalam hidupnya. 1 mil kurang dari 4 menit! Hanya itu yang ia butuhkan. Kurang dari 4 menit.
Sebelum benar-benar melangkahkan kaki, ia mengingat pesan ayahnya sesaat sebelum meninggalkannya tadi.

“Ayah tahu tidak mudah bagimu untuk bisa sampai ke sini…” Kata ayahnya,

“Jadi, jangan berpikir yang tidak-tidak. Tugasmu hanya berlari. Seperti yang dulu pernah kau katakan pada ayah, kau hanya ingin berlari ‘kan? Berapa waktunya? Kurang dari 4 menit, benar? Maka singkirkan pikiranmu dari hal lain selama 4 menit itu. Berlarilah secepat yang kau bisa. Ayah percaya padamu, sejak awal ayah percaya padamu.”

Riko merasakan tepukan hangat dari tangan ayahnya yang kekar sebelum akhirnya lelaki itu berlalu meninggalkannya.

“Ayah nanti akan berada di bangku penonton. Berjuanglah, Nak!”

Berjuanglah … Berjuanglah … Riko membatin di dalam hati, memantapkan diri. Setelah ia merasa cukup yakin, ia mulai melangkahkan kakinya menuju hamparan cahaya di ujung ruangan, menuju arena lintasan tempat dimana ia akan menghentakkan kakinya secepat mungkin. 1 mil kurang dari 4 menit!

Bagaimanapun juga, hari ini ia harus membuktikan pada semua orang bahwa setiap perkataan yang pernah ditujukan padanya dulu, tentang betapa konyolnya bermimpi menjadi seorang pelari, adalah salah!

“Berapaahh? Hah huhhh … Ber … berapa waktunyahhh?”. Riko terengah-engah, dadanya naik turun. Keringatnya bercucuran di sekujur tubuh. Karena terlalu lelah, ia tertunduk, mencengkeram kedua lututnya.
Riko baru saja menyelesaikan larinya, dan itu adalah usaha yang kelima kalinya di hari itu. Genta yang tadinya berdiri agak jauh, menghampiri Riko dan menyerahkan alat penghitung waktu itu padanya sembari menggeleng-gelengkan kepala.

Riko melihat angka pada alat tersebut: 7 menit 43 detik. Ia ‘pun tersenyum.
“Kita sudah lebih cepat dari sebelumnya ‘kan?” Katanya.

Genta mengamati temannya yang basah karena keringat itu, “Berapa kali lagi kau ingin mencobanya?”

Riko mengalihkan pandangannya dari alat di tangannya, memandang Genta dan mendapati wajah temannya seakan-akan mengekspresikan keraguan, tampaknya ia tak yakin kalau Riko akan berhasil. “Aku akan berlatih sampai menembus waktu kurang dari 4 menit.” Jelasnya.

“Begini, Riko … Aku yakin kalau di desa ini tidak ada yang bisa berlari lebih cepat darimu, bahkan seumur hidupku, aku belum pernah melihat orang yang bisa berlari secepat kau berlari. Tapi 4 menit … aku merasa itu mustahil, kawan! Aku sudah tidak bisa menghitung berapa kali kau sudah mencobanya sampai hari ini. Tetap saja … lihatlah waktu yang kau dapatkan itu.”

“Kau ingat berapa waktu yang kudapat saat pertama kali mencobanya dulu?”
“Ya … 9 menit 21 detik.” Setengah hati Genta menjawab.
“Lihat! Aku sudah lebih cepat sekarang.”
“Tapi itu sudah satu tahun yang lalu, Riko. Bayangkan, dalam waktu satu tahun—“
“Aku pernah mendengar orang berkata…” Riko memotong, “…Tahun pertama adalah yang tersulit.”

Genta menghela nafasnya
“Kau tahu apa yang dikatakan orang-orang desa tentangmu? Kau tahu ‘kan bagaimana ibu dan kakakmu menyikapi ambisimu ini?”
Riko memalingkan wajahnya, mengamati rimbunan pepohonan yang berada di sisi kanan mereka. Ia tak menjawab.

“Riko … aku … aku—“ Genta berusaha menjelaskan sesuatu, namun mulutnya yang terbuka kembali tertutup. Ia sedang menimbang-nimbang kembali apa yang akan ia katakan pada Riko.

“Baiklah …” Riko langsung menimpali, ia tahu bahwa Genta akan mengatakan bahwa ia tidak bisa lagi menemaninya untuk menekan tombol stopwatch saat ia berlari. Ini bukan pertama kalinya Genta membicarakannya dengan Riko.
“Aku tahu maksudmu, Genta. Aku bisa meminta adikku untuk menemaniku, kukira dia pasti mengerti jika hanya untuk menekan tombol pada alat ini.”

“Maaf, Riko… Orang-orang desa juga sudah mulai membicarakanku sekarang. Aku ti—“
“Aku paham. Tidak masalah.”
“Maaf …” Genta sekali lagi berkata. Ia mengamati wajah Riko yang tengah menatap alat penghitung di tangannya sebelum akhirnya ia berlalu, pergi meninggalkan Riko.

Sebelum Genta berjalan terlalu jauh, Riko sempat mengucapkan terima kasih padanya karena telah menemaninya selama satu tahun ini. Genta melambaikan tangannya.

Tentu tak mengherankan bagi Riko mengapa Genta memutuskan untuk bersikap seperti yang ia tunjukkan barusan. Lagipula, memang, sejauh ini ambisinya untuk menjadi seorang pelari cepat tidak menunjukkan bahwa ia akan berhasil, setidaknya tidak dalam waktu yang dekat. Ia masih harus terus berlatih menambah kecepatan larinya. Bagaimanapun caranya ia harus bisa menembus jarak 1 mil kurang dari 4 menit. Atau tepatnya 1 mil kurang dari 3 menit 59.4 detik. Itu adalah catatan waktu tercepat di seluruh dunia yang dipecahkan oleh Roger Bannister, seorang pelari berkebangsaan Inggris. [SY]… bersambung.

Gilang Mutahari Farouzie

Gilang Mutahari Farouzie, lahir di Aceh Tengah, 18 Desember 1991 beralamat Bale Atu, Takengon. Alumnus SMA N 5 Jakarta, Jakarta Pusat, 2006 – 2009 dan Teknik Informatika (S1), Institut Teknologi Medan, 2009 – 2013. Mendirikan sebuah komunitas seni dan olah raga di Jakarta, Medan dan Aceh Tengah pada tahun 2010 – 2013. Menjabat Sebagai Koordinator Bidang Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Teknologi Medan periode 2012 – 2013. Admin Web di PT. Sempurna, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang distributor perangkat keras komputer di Jakarta pada tahun 2014, Admin Web di Gudangcomp.com pada tahun 2014. Promo Officer di PT. Overseaszone Education Consultan, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang konsultan pendidikan luar negeri di Jakarta pada tahun 2015, administrator & Operator di CV. Bima Cipta Konsultan, sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang konsultan konstruksi di Aceh Tengah pada tahun 2016. Sekretaris dan Operator di Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) An-Najah pada tahun 2017, kontributor (penulis) di situs berita online sipena.com pada tahun 2015. Saat ini aktif sebagai penulis dan pembicara. Karya Yang Telah Terbit: Mercusuar Padang Pasir (sebuah novel) yang diterbitkan oleh Penerbit Guepedia, Bekasi, Jawa Barat pada Maret 2016; LENSA (sebuah novel) yang diterbitkan oleh penerbit Giatmedia (Divisi Sastra Penerbit Rayhan Intermedia), Makassar, Sulawesi Selatan pada tahun dan bulan yang sama dengan diterbitkannya karya yang pertama, Maret 2016. E-Mail: gilangmutahari@gmail.com.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.