Representasi Gayo Kekinian dalam “Siti Kewe”

oleh

Oleh : Zuliana Ibrahim

Karya sastra sering disebut sebagai wahana representasi nilai-nilai kehidupan yang termasuk dalam filsafat kehidupan (Endraswara, 2016 : 74). Nilai-nilai dalam masyarakat kerap dikutip sebagai ide dalam menciptakan sebuah karya sastra. Berangkat dari nilai tersebut, kehadiran lingkungan sekitar menjadi akar dalam membentuk sebuah komponen masyarakat. Siti Kewe merupakan salah satu novel yang mengangkat fenomena nilai-nilai kehidupan yang terjadi saban hari ini di Tanoh Gayo.

Novel Siti Kewe yang ditulis oleh Raihan Lubis  ini menghadirkan kisah persahabatan antara Erwin, Muhammad Azmi, dan Supriyono. Para pemuda yang lahir dan besar di Kampung Karang Tengah, Kabupaten Bener Meriah. Di awal cerita diwarnai dengan nostalgia ketika mereka masih sama-sama bersekolah di SD Sinar Harapan, lalu beberapa tahun kemudian suasana konflik yang terjadi akibat operasi militer oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) akhirnya membuat hidup mereka berubah. Erwin dan Supriyono menjadi perantau di Bali selepas kuliah dengan membuka usaha ekspor kerajinan, sedangkan Azmi menjadi seorang petani kopi yang tetap memilih merawat dan mengembangkan kebun kopinya di Tanoh Gayo dan juga merambah menjadi seorang Q grader (pencicip kopi arabika).

Sebagai tokoh utama, sosok Erwin paling dominan dikisahkan. Berbagai konflik mewarnai kisah hidupnya, terutama keraguannya pulang ke Tanoh Gayo untuk mengembangkan usaha kopi milik keluarganya, lalu kisah hidupnya semakin apik dengan konflik ketika ia akan dijodohkan dengan Renggali, perempuan pilihan ibunya, sedangkan sudah ada gadis yang menjadi tambatan hatinya yaitu Aida, gadis asal Perancis dan kemunculan Cassia Vera yang tiba-tiba, gadis yang pernah mengisi hatinya pada saat ia masih duduk di SMA. Adanya konflik asmara, membuat novel ini pun kian berwarna.

Dengan desain sampul yang menarik, novel yang diterbitkan oleh Swarnadwipa ini mengkombinasikan warna hijau tua dan kuning. Pada sisi kiri atas sampul depan, dibubuhi sketsa butiran biji kopi, sedangkan sudut kanan bawah berupa sketsa seorang perempuan ber-kelubung yang sedang memetik kopi. Novel ini juga semakin menarik dengan adanya dialog-dialog tokoh dalam bahasa Gayo yang dilengkapi terjemahannya pada bagian halaman terakhir novel.

Meskipun ada bagian percakapan dalam bahasa Indonesia yang terkadang memiliki kesan logat orang Medan, hal ini dimaklumi karena penulis lahir dan besar di Medan, Sumatera Utara. Namun nyatanya pengalaman penulis sebagai jurnalis yang pernah tinggal dan meliput di Aceh pada tahun 2000, membuat novel ini lebih konseptual, dengan kelihaiannya dalam menggambarkan suasana alam Gayo seperti pegunungan, Danau Lut Tawar dan beberapa budaya Gayo seperti pacuan kuda, kawin angkap menunjukkan bahwa penulis cukup memahami adat budaya Gayo.

Novel yang memiliki sepuluh bagian cerita ini, syarat akan pesan moral. Patut dibaca terutama bagi para pemuda Gayo sebagai regenerasi. Memberikan gambaran kopi dari berbagai aspek, sebagai peluang yang masih kerap diabaikan. Gayo sebagai salah satu daerah penghasil kopi terbaik diceritakan dalam kisah dengan berbagai sudut pandang yang menarik. Seiring dengan kemajuan teknologi, kini petani kopi di Gayo tidak hanya sebatas sebagai petani yang memanen, menjemur dan menjualnya ke toke kopi, tetapi juga ikut menjadi pemasok, pengusaha, bahkan ada yang membuat kafe yang menyediakan berbagai varietas minuman kopi. Novel yang diterbitkan pada tahun 2017 ini berusaha menuangkan sisi-sisi kehidupan masyarakat Gayo saat ini terutama tentang kopi. Kopi bukan hanya sekadar pemenuh bidang ekonomi, namun ladang napas kehidupan masyarakat Gayo yang lebih hakiki.

Banda Aceh, Maret 2018.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.