[Cerpen] Ketika Maut Merangkul Sahabat Kami

oleh

Eni Penalamni*

SEMBILAN belas tahun perjanjiannya dengan Tuhan, diusia sembilan belas tahun telah tiba masanya menemui ajal dan membuka gerbang kehidupan kekalnya. Sosok yang begitu tabah menjalani ujian Tuhannya, sosok yang begitu bertanggung jawab mengayomi keluarganya, sosok yang selalu menjadi inspirasi. Perjuanganmu kan tergambar saat melihat lukisan langit, langit telah merekam setiap langkah mu dalam berusaha.
Ketabahanmu kan tetap tertanam saat menapaki retakan tanah, tanah telah menghisap semua keringat dan air matamu begitupun kepiluanmu kan terdengar dalam rintihan hujan dan hembus angin malam, rembulan telah mendengar semua jeritmu. Dan di waktu matahari sepenggal naik Tuhan menyudahi perjuanganmu.

Hari ini aku tak mendapatkan firasat apa-apa, semua kujalani seperti biasanya tak ada hambatan bahkan aku masih tertawa dengan teman-teman kampusku. Ssrrr.. ssrr getaran yang berasal dari saku baju ku menghentikan tawaku. Ratna menelfon dijam kuliah seperti ini, ada apa? Tanyaku dalam hati. Ah, mungkin dia hanya iseng pikirku dan tanpa berpikir panjang aku kembali meletakkan hp tanpa memperdulikan Ratna yang berkal-kali mencoba menghubungi. Aku kembali meraih hp yang kuletakkan di atas kursi kosong di samping saat mata kuliah telah selesai, aku mengirimkan pesan singkat kepada Ratna
“Kenapa Kak? Tadi lagi ada dosen”
Dan kembaliku letakkan hp di dalam tas, aku pun berlalu meninggalkan kampus beranjak kembali ke rumah dan lagi-lagi aku tak memperdulikan Ratna yang terus mencoba menghubungiku.

Kuparkir motor di depan rumah dan segera mengambil hp di tas, mungkin saja sudah ada pesan singkat Ratna yang mendarat. Aku hanya berharap balasan pesan dari Ratna tapi saat aku melihat hp telah ada belasan pesan dari kontak yang berbeda yang telah mengirimkan pesan yang sama.

“Innalillahi wa inna ilaihi Raji’un, Riski? Iksir?

Tanganku gemetar bibirku pun ikut tak karuan bagai petir diterik matahari semua seperti mimpi. Hpku kembali bergetar

“Kaak”, suara lirih Ratna dengan tangisnya menjatuhkan kristal-kristal yang mengalir dari dua bola mata ku.

“Gak usah becanda kak eh”, aku berusaha meyakinkan pendapatku bahwa ini hanya gurauan.
Tapi keyakinanku hanya imajinasi ternyata semua memang benar.

Iksir telah memenuhi janjinya dia telah lebih dulu membuka jalan dan menutup kehidupan. Di belakang pintu aku menangis mengingat pertemanan yang terjalin dari jenjang Tsanawiyah hingga Aliyah, hanya Ratna yang membantuku menangis dari sana yang berada di samping Iksir yang telah terbujur kaku. Bersandar pada dinding seolah dinding merangkul tangis kehilangan satu anggota dari pertemanan untuk selamanya. Aku masih belum percaya tapi semua yang terjadi memang nyata.

Tari mempercepat langkah dari ruangan kampusnya terasa berat langkahnya yang beradu dengan air mata yang juga tak berhenti mengalir dari sepasang matanya. Aku mendengar langkah kaki yang semakin mendekat, dia membuka pintu kamar dan dalam pandangan yang saling berbicara air mata mengalir semakin kuat, saat ini aku telah memiliki teman yang bisa kupeluk untuk menangis, tak ada sepatah kata pun yang mampu di utarakan. Bibir ini serasa kelu.

Tari mencoba menghubungi Rike yang saat ini berada di RSU, kami mendengarkan cerita Rike yang begitu sulit berbicara karna menahan air mata.

“Tadi dia lagi duduk di ruangan kampus, tiba-tiba dia pingsan dibawa ke rumah sakit udah gak ada lagi,” kembali kesunyian menguasai dan masih dalam derai air mata.

“Kami lagi nunggu mamaknya, mamaknya lagi pergi ke kebun,” Rike mencoba menjelaskan keadaan disana

“Jadi mamaknya belum tau ke?”, aku meraih hp dan ingin mendengar jawaban Rike padahal percakapan ini dispeaker.

“Belum Bun, itu lagi di jalan dari Bintang kesini nanti dibawa lagi ke Pondok,”

Anakku.. anakku teriakan ini terdengar jelas via telfon genggam yang kami sambungkan dengan sahabat kami yang berada di Takengon, bisa kubayangkan bagaimana kepiluannya melihat anak sulungnya yang selama ini ditinggalkannya bertahun-tahun tak lagi bernyawa.

Baru beberapa tahun ini Iksir bertemu ibunya, sebelumnya ibunya mengadu nasib di negara orang dan Iksir tinggal di sebuah yayasan yang tepat berada di depan sekolah kami.

Bertahun-tahun dia menjadi abang merangkap menjadi ibu sekaligus menjadi ayah untuk adiknya yang juga tinggal di atap yang sama disatu yayasan. Dia berusaha memenuhi kebutuhannya dan juga adiknya, telah lama dia ditinggalkan ayahnya dan semenjak itu dia terlatih mandiri berusaha. Tak peduli apa kata orang asal itu masih halal, mulai dari mengecat rumah, membersihkan kebun, memanen cabe, mengutip kopi, memotong rumput apapun asal mendapat upah ia lakukan.
Masih terdengar isak tangis menggambarkan apa yang sedang terjadi disana. Aku yakin saat ini ibunya sedang memeluk erat sulungnya ini, mencoba membangunkan pejaman yang membantunya mencari nafkah, mencium kening bujangnya yang sudah pucat dan dingin, meratapi kepergian putranya yang belasan tahun lalu dilahirkannya.

“Bun, kami mau ke Pondok lagi ni. Nanti lagi ya,” Rike menyudahi komunikasi jarak jauh ini, kami kembali hening mengingat cerita hidupnya. Tuhan betapa tabah ia menjalani hidup, tak sekalipun ia kami lihat mengeluh. Selalu tertawa ceria ketua kelas yang bertanggung jawab mengayomi anggota kelasnya.

Tari memulai bercerita mengingat setahun lalu sebelum kami terpisah karna tuntutan masa depan, teringat tarian india khasnya dan lagunya yang sering dinyanyikan bersama.

“Du du du du du”
Teringat lagi tingkah konyolnya saat kami pergi ke danau, semua basah kuyup hanya dia yang masih kering tak tersentuh air sedikitpun. Semua disirami air karna ini merupakan tradisi yang memang selalu kami jalankan setiap kunjungan ke danau Lut Tawar. Dia berlari menghindari kami yang telah menyiapkan air di setiap tangan ada yang membawa air di botol mineral ada yang membawa di ember ada yang membawa di piring ada juga yang di gelas bahkan ada juga yang di plastik Chitato maupun Lays. Tapi tetap saja ia terhindar dari kejaran kami yang mencoba membuatnya basah. Kini dia tak lagi bisa menghindar dari air yang kan membasahinya sebelum diantarkan ke peristirahatan terkhirnya.
Aku juga teringat saat awal masuk kuliah dulu ia menjual jagung untuk mendapatkan biaya masuk ke perguruan tinggi, dan hari ini dia pun menghabiskan perjuangannya di tempat yang diusahakannya mati-matian agar bisa duduk di bangku itu, saat ini Sahabatku bangku yang kau usahakan itu kan menjadi saksi bagaimana kuat tekadmu untuk menimba ilmu, bagaimana besar keinginanmu yang ingin duduk menjadi orang yang berilmu dan hari ini Malaikat Izrail memanggilmu di tempat yang begitu kau impikan sahabatku. Telah sempurna impianmu yang berakhir di tempat mencari ilmu.

Ba’da maghrib kami alumnus Aliyah yang sama melaksanakan shalat gaib dan memanjatkan do’a dari perantauan, masih belum percaya tapi setelah berniat shalat untuknya aku yakin dan terasadar semua memang nyata dan Sahabat yang begitu menginspirasi ini telah tiada. Dia telah lebih dulu menemui ajalnya, setelah ini giliran siapa? Tuhan, tempatkan dia disisiMu bersama mereka orang-orang Shaleh dan masukkan dia ke SurgaMu jauhkan dari api neraka dan azabMu, ampuni dosanya Rab. Hanya do’a yang menjadi hadiah terakhir untukmu sahabatku.

Ada kepiluan memikirkan bagaimana nanti ketika berkumpul harus menerima kenyataan bahwa telah ada satu anggota yang berkurang, ada satu yang tak lagi lengkap untuk merajut kebersamaan.

Keterpaksaan harus merelakan dan membasuh duka untuk meneruskan perjuangannya. Kami akan meneruskan perjuanganmu sahabat dengan keberhasilan kami di suatu hari nanti, kami yakin kau akan tersenyum dari surga. Janji yang sempat kita iktiarkan dulu akan menjadi ingatan yang akan kami laksanakan ketua kelas kami “Siapapun nantinya yang lebih dulu sukses bantu sahabat lain yang belum sukses”. Mulai hari ini liku-liku hidupmu mendapatkan jawaban, semua berakhir dengan indah. Selamat jalan Sahabat. [SY]
Banda Aceh, 2015.

*Eni Penalamni, Mahasiswia semester akhir MIPA Biologi Unsyiah. Anggota Teater Reje Linge dan Komunitas Sastra Bukit Barisan Takengon, Aceh Tengah.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.