Oleh : Win Wan Nur
SEBELUM tahun 2006, ketika kita mendengar kata Bangka Belitung, mayoritas dari kita pasti langsung membayangkan timah, karena memang itulah yang diajarkan pada kita di sekolah. Pulau Bangka dan Belitung adalah penghasil timah. Hampir tak ada dari kita yang membayangkan Bangka Belitung ketika mendengar kata pariwisata yang identik dengan Bali dan Jogja.
Menariknya, uang yang masuk dari pariwisata ini relatif lebih terdistribusi dibandingkan dengan sebut saja misalnya uang dari proyek APBD sekian milyar yang distribusinya terbatas pada sekian orang pekerja proyek, kontraktor dan pejabat yang mendapat fee dari proyek itu, sehingga uang dari proyek itu relatif terkumpul pada segelintir orang dan tidak jarang kemudian dibelikan barang-barang seperti mobil atau rumah bahkan untuk menikahi istri muda, sehingga dampaknya kepada masyarakat luas kurang begitu terasa. Sementara uang yang dihabiskan oleh seorang wisatawan relatif menyebar, mulai untuk membayar hotel, membayar sewa transportasi, membayar jasa wisata, rumah makan, pedagang souvenir sampai karcis masuk tempat wisata. Karena itulah pariwisata banyak menciptakan lapangan pekerjaan baru mulai dari usaha pelayanan wisata, penyedia angkutan wisata, membuka lapangan kerja pemandu wisata, bisnis rumah makan, bisnis oleh-oleh sampai pembuat souvenir. Jadi bisa dibayangkan,efek berantai naiknya kunjungan wisata ini bagi pertumbuhan ekonomi lokal di Belitung
Naiknya kunjungan wisatawan ke Belitung, otomatis meningkatkan gairah perekonomian di Belitung, karena kunjungan wisatawan ini menumbuhkan. Efeknya berantai. Situasi seperti ini tentu saja pada gilirannya menarik minat para investor untuk menanamkan uangnya di Belitung. Hotel-hotel baru pun bermunculan, Tahun 2012, tercatat ada 19 hotel, tahun 2013 meningkat menjadi 28 hotel, di tahun 2014 kembali meningkat menjadi 35 hotel, terakhir di tahun 2015 melonjak hingga 40 hotel.
Keberadaan hotel-hotel ini tentu saja segera menyerap banyak tenaga kerja, ditambah dengan dengan berbagai bisnis ikutan yang menyertainya seperti mulai dari penyedia laundry, supplier sayuran dan buah, supplier ikan, telur sampai supplier bahan kimia untuk mencuci dan mengepel lantai dan lain sebagainya yang juga menyerap banyak tenaga kerja.
Belitung bukanlah daerah pertama yang dibanjiri wisatawan pasca daerah tersebut muncul di film laris. Di negara tetangga Thailand, kemunculan sebuah pulau di Phuket pada film James Bond pada zaman dulu, membuat pulau itu dibanjiri wisatawan sampai hari ini. Kemudian pulau lain, Ko Phi Phi kembali menjadi lokasi syuting film “The Beach” yang dibintangi oleh Leonardo di Caprio. Ini membuat pulau yang secara potensi tidak ada apa-apanya dibandingkan Bali ini mampu mendatangkan wisatawan yang lebih banyak dibandingkan Bali.
Dan terakhir Bali sendiri, sebelum keluarnya film “Eat Pray Love” yang dibintangi Julia Robert. Pulau tujuan wisata utama di Indonesia ini sedikit sekali dikunjungi oleh wisatawan asal Amerika Serikat. Saya sendiri yang tinggal di Bali sejak februari 2003, sampai tahun 2010, total saya hanya pernah bertemu kuran dari 10 orang asal Amerika. Tapi pasca kemunculan film “Eat Pray Love”, Bali sekarang dibanjiri oleh wisatawan Amerika yang datang berombongan, sampai 40 orang dalam satu bis nya. Tempat yang mereka kunjungi juga tidak biasa, bukan Kuta, Sanur atau Tanah Lot, tapi para praktisi spiritual, ahli ramal dan praktisi pengobatan alternatif sebagaimana yang ditampilkan di film. Pura yang mereka kunjungi juga bukan sekedar Tanah Lot atau Ulun Danu, tapi mereka bahkan mendatangi Pura semacam Pura Tirta Sudamala yang terletak di pelosok Bangli, Pura yang tidak banyak diketahui keberadaannya oleh wisatawan biasa.
Sumba di NTT juga mulai banyak dilirik wisatawan akibat dari kemunculan film “Pendekar Bertongkat Emas”
Terakhir, Jogja yang sudah kondang sebagai tujuan wisata pun kembali booming pasca keluarnya film “Ada Apa Dengan Cinta 2”.
Begitu efektifnya promosi daerah melalui sebuah film yang sukses, tidak mengherankan beberapa daerah kemudian berusaha mengundang para sineas untuk membuat film di daerahnya, dengan cara memberikan beberapa kemudahan bahkan juga bantuan dana.
Beberapa tahun belakangan ini, seiring dengan meningkatnya pendapatan per kapita dan tumbuhnya kelas menengah dalam jumlah besar di Indonesia. Negeri berpenduduk nyaris 250 juta jiwa ini dilanda demam kopi. Bukan demam kopi biasa, tapi Kopi Gelombang ke-3 yang ditandai dengan besarnya keinginan dari penikmatnya untuk mengetahui segala informasi tentang kopi yang mereka minum. Termasuk asal usulnya.
Fenomena ini ditangkap dengan baik oleh pelaku film dan keluarlah film “Filosofi Kopi” yang diangkat dari novel Dewi Lestari yang berjudul sama. Film ini relatif sukses di pasaran dan terutama sekali di kalangan penggemar Kopi.
Di Film ini Gayo sempat disebut dan diposisikan dengan cukup terhormat. Perkenalan ini membuat Gayo sebagai produsen kopi berkualitas jadi lumayan dikenal, meski tentu saja perkenalan sepintas lalu ini tidak cukup memadai untuk memberikan efek yang sama seperti yang diberikan Laskar Pelangi terhadap Belitung. Tapi seharusnya, ini bisa menjadi titik awal untuk mengembangkan pariwisata Gayo dengan berbasis Kopi.
Sebab Kopi sebagai daya tarik wisata terbilang istimewa karena memiliki efek berganda, tidak seperti terumbu karang atau taman nasional misalnya. Kalau terumbu karang, supaya tetap indah dan menarik wisatawan. Ikan-ikan di sana tak boleh lagi ditangkapi, begitu juga taman nasional, kalau ingin dijadikan lokasi wisata, pohon-pohonnya tak boleh ditebangi dan hewannya tak boleh diburu. Sehingga nilai ekonomi dari Ikan dan Kayunya menjadi Nol. Sementara kopi tidak begitu, eksploitasi tetap, ekspor kopi tetap, bahkan ada kemungkinan dalam skala kecil harga meningkat karena dijual sebagai souvenir. Tapi, tanpa mengurangi pendapatan dari hasil langsung kopi, sumber ekonomi tambahan ikut terbuka.
Tahun ini, terdengar kabar kalau “Filosofi Kopi” dibuat sekuelnya. Bisa dibayangkan seandainya, Gayo masuk menjadi salah satu tempat syutingnya, gambar-gambar indah yang tampil berdasarkan arahan Angga akan menimbulkan kesan mendalam dan membuat orang berminat datang ke Gayo.
Tapi dalam konferensi pers, pembuat film yang sedang tayang di bioskop ini sudah mengatakan kalau Gayo tidak masuk dalam salah satu daerah yang dipilih sebagai lokasi syuting. Ini patut disayangkan karena itu berarti menguapnya sebuah kesempatan untuk mengangkat Gayo sebagai lokasi wisata berbasis Kopi.
Para pembuat film ini sendiri tentu tak bisa disalahkan atas pilihan yang mereka ambil, sebab ada banyak sekali pertimbangan yang harus diambil sebelum memutuskan untuk menentukan lokasi pembuatan film. Biasanya alasan terbesar adalah soal kemudahan, keterbatasan dana dan sponsor.
Yang patut disayangkan dari peristiwa ini adalah tidak cepat tanggapnya pemegang kebijakan pariwisata di Aceh melihat potensi ini. Kenapa ketika mendengar Filosofi Kopi akan dibuat mereka tidak sigap mendekati para pembuat film ini dan menawarkan kerjasama, atau menawarkan diri untuk mensponsori. Padahal kita semua tahu, Aceh sebelumnya berani mengeluarkan dana tidak sedikit untuk promosi wisatanya. Salah satunya dengan pembuatan film promosi “Light of Aceh” yang berbiaya besar.
Lalu kemudian muncul pertanyaan, kenapa harus provinsi?. Itu karena untuk mensponsori film semacam Filosofi Kopi ini, level Kabupaten saja jelas tidak cukup, dana mereka sangat terbatas. Sebagai contoh, Disparpora Aceh Tengah, jangankan mensponsori film sekelas Filosofi Kopi, bahkan sekedar untuk mengirim atlit ke sebuah kejuaraan di luar daerah saja mereka sudah megap-megap untuk menyediakan dana. Alasan lain kenapa harus provinsi adalah cakupan Kopi Gayo itu ada di tiga kabupaten.
Lalu apa arti semua ini?. Itu artinya posisi Gayo dalam penentuan strategi untuk promosi pariwisata di level provinsi sangatlah lemah. Peristiwa ini membuktikan kalau di level pemegang kebijakan strategi promosi pariwisata Aceh, tidak ada orang yang melihat Kopi sebagai potensi besar untuk mengembangkan pariwisata di Gayo yang merupakan bagian dari Provinsi Aceh sendiri.
Kemudian muncul pertanyaan lagi, kenapa para pemegang kebijakan itu gagal melihat potensi Kopi untuk menjadi salah satu motor pariwisata Aceh?. Ini sangat mungkin terjadi karena di level pemegang kebijakan tidak ada orang yang benar-benar memiliki ikatan emosional yang kuat dengan Kopi, di sana tidak ada orang yang orang tuanya besar dan bersekolah dari hasil kopi, atau dia sendiri mencapai jabatan itu setelah menamatkan kuliah yang dibiayai dengan hasil dari Kopi. []
Sumber :
http://mediaindonesia.com/news/read/71756/jumlah-wisatawan-di-belitung-terus-melonjak/2016-10-12
http://lifestyle.okezone.com/read/2013/06/03/407/816753/berkat-laskar-pelangi-wisatawan-ke-bangka-belitung-naik-80-persen
http://portal.belitungkab.go.id/sosial-budaya/3
https://belitungtimurkab.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/2