Gurilen, Alat Peras Tebu ala Gayo

oleh

Muhammad Syukri

Gurilen pemeras tebu ala Gayo

TEKNOLOGI makin tinggi, era terus berganti, tetapi tradisi tetap lestari. Begitulah warga Desa Sagi Indah Kecamatan Silihnara Kabupaten Aceh Tengah, saya memanggilnya Pak Haji dalam menyikapi perkembangan dan kemajuan alat pemeras air tebu akhir-akhir ini.

Dia dan warga di sana setuju bahwa dengan menggunakan mesin, produksi air tebu bisa mencapai dua kali lipat. Mesinnya kecil, mobilitas tinggi karena bisa dibawa ke mana saja. Tenaga kerja bisa dihemat, cukup dikelola oleh 1 orang.

Lalu, kenapa Pak Haji dan warga setempat masih setia menggunakan alat tradisional untuk memeras air tebu? Pastinya bukan karena rasa atau kualitas air tebu yang dihasilkan, tetapi sesungguhnya mereka ingin mempertahankan identitas.

Alat penggiling tebu tradisional itu bagian dari warisan budaya. Tergolong sebuah kearifan lokal, teknologi tepat guna warisan nenek moyang. Dibuat dari sebatang pohon Ulmus (Pungkih-bahasa Gayo) berdiameter sekitar 40 cm yang diberinama Gurilen, ada juga yang memberi nama Nuwing

Dipilihnya pohon Ulmus sebagai alat penggiling tebu karena faktor berat. Meskipun pohon Ulmus itu sudah kering, kondisinya tetap berat. Sedangkan pohon yang lain, begitu kondisinya mulai mengering, sifatnya akan ringan. Tentu tidak sanggup menggilas batangan pohon tebu.

“Pohon selain pungkih tidak terlalu berat sehingga tidak bisa menggilas batang tebu dengan sempurna,” ungkap Pak Haji didampingi putranya Zainuddin beberapa waktu lalu di bulan Ramadhan 1438 H.

Usaha menggiling dan memeras tebu dengan sebatang pohon ulmus itu hanya berlangsung selama bulan Ramadhan. Semacam tempat menjual takjil Ramadan, sekaligus tempat warga ngabuburit, atau dalam istilah setempat mulalen pasa.

Apa yang menjadi daya tariknya? Pengunjung akan terhibur dengan aksi sejumlah orang yang sedang memutar pohon ulmus ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang. Ada anak-anak, remaja maupun orang dewasa yang terus bergerak menggulirkan sebatang pohon ulmus.

Makin menarik karena pemilik usaha mengizinkan pengunjung untuk ikut menggulirkan pohon ulmus itu. Adanya peran serta pengunjung, selain membantu Pak Haji dari sisi tenaga kerja, juga menjadi hiburan menarik bagi para pengunjung itu sendiri.

Jangan heran, menjelang sore hari tempat itu makin ramai dikunjungi warga. Tujuannya ingin menggulir alat itu. Sedangkan untuk operator yang memasukkan batang tebu dalam putaran pohon tidak boleh dikerjakan oleh orang lain, hanya oleh Pak Haji. Apa alasannya?

“Memasukkan tebu dalam putaran pohon ini, pekerjaan berbahaya! Terlambat sedikit, jari tangan kita bisa tergilas pohon,” sebut Pak Haji.

Tempat ini sederhana, tetapi cukup unik dan ramai. Tempatnya semacam rumah bedeng beratap seng. Lokasinya mudah ditemukan, karena berada di pinggir Jalan Raya Takengon-Angkup, termasuk dalam wilayah Desa Sagi Indah Wihni Bakong, Kecamatan Silih Nara.

Perasan air tebu itu tidak mahal-mahal amat, cukup murah, hanya Rp 5.000,00 per liter.

Bagaimana cara kerja alat peras tebu tradisional tersebut, penasaran bukan? Ini rekaman videonya. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.