Bidadari Rimba [2]

oleh

[Novelet]

Oleh: Salman Yoga S

Ilustrasi Novelet Bidadari Rimba

YANG menjadi pertanyaan bagi lelaki tegap itu adalah kenapa setiap orang yang mengetahui keberadaan dan jumlah orang-orang berkulit merah itu terus bertambah selalu diceritakan kepadanya, tak terkecuali para pedagang yang sebulan sekali datang dari pesisir.  Kepala Kampung pun kerap menjadi penerima berita kedua setelahnya.

Yang lebih aneh lagi adalah ketika Yusri, salah seorang pedagang garam lainnya, datang secara khusus menemuinya hanya untuk menceritakan hal yang sama. Saat itu Yusri datang tanpa membawa barang dagangan seperti biasa yang ia lakukan sebagai mata pencaharian utamanya. Ia dikenal sebagai pedagang yang sangat pelit dan cermat menghitung laba rugi. Bahkan untuk menangguhkan pembayaran hingga musim panen tibapun ia tidak memberi izin. Kali ini ia justru datang dengan biaya sendiri dan tanpa barang dagangan.

“Saya sengaja datang, khusus untuk menyampaikan berita yang sangat penting”, kata Yusri dengan nafas setengah terengah ketika tiba di gardu ujung jalan kampung Arias. Keringatnya meleleh ke ujung dagunya meski matahari tak seterik musim kemarau.

“Apakah kau melihat lelaki tegap?”, tanyanya kepada Bedelah, salah seorang pemuda Kampung Arias.

Tentu saja Bedelah menjawab dengan gelengan kepala. Karena ia tidak tau siapa yang dimaksud Yusri. Sebab di Kampung Arias setidaknya ada tujuh pemuda yang dikenal mempunyai postur tubuh yang tegap-tegap, sementara yang bertanya tidak menyebut nama.

“Ah… kau masak tidak tau lelaki yang kumaksud. Kau orang kampung sinikan?”, tanya Yusri kembali sambil mengibaskan tangannya ke bahu Bedelah.

“Ya, tentu saja saya adalah warga kampung ini. Saya anak Aman Hakim, Gecik kampung ini. Tetapi lelaki tegap yang pak Yusri maksudkan siapa? Siapa namanya? Bedelah menjawab sambil melakukan gerakan yang sama dengan mengibaskan tangannya ke bahu Yusri. Keduanya terlihat sangat akrab dan sudah saling mengenal.

“O iya ya. Betul, betul!”, sahut Yusri kembali dengan logat pesisirnya yang kental. Sementara Bedelah hanya tersenyum mengamati gerak mulut Yusri yang seolah-olah hendak menyebut sebuah nama.

“Siapa ?”, tanya Bedelah lagi dengan mendekatkan mukanya ke muka Yusri.

“Aaa begini, saya tidak tau siapa nama pemuda itu. Tetapi badanya tegap, tinggi dan setiap senja tiba ia suka duduk-duduk di teras menasah itu”, jelas Yusri sambil berusaha mencari arah menasah dan menunjuknya dengan tangan kanan.

“Pak Yusri, setiap menjelang senja di teras menasah itu selalu ada pemuda-pemuda kampung sini yang duduk-duduk saling bertukar cerita. Lalu yang bapak cari pemuda yang mana?, jawab Bedelah. Ia juga mulai penasaran siapa sebenarnya pemuda yang dimaksud pedagang garam dari pesisir itu, hingga wajahnya demikian serius.

“Eee orangnya sering mengenakan kain sarung yang dililitkan di lehernya, atau menyilang di bahu”.

“Pak Yusri pak Yusri, semua pemuda di sini semuanya melakukan hal yang sama. Terutama ketika menjelang senja karena udara akan semakin dingin”, sahut Bedelah sambil setengah tertawa dengan memotong pembicaraan Yusri .

“Begin saja, pak Yusri tunggu saja di teras menasah itu. Menjelang senja nanti satu-persatu pemuda kampung ini pasti akan datang kesana. Nah kalau orang yang bapak maksud datang pasti akan ketemu”, jelas Bedelah sambil berlalu dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Yusri membenarkan pernyataan itu dan mengangguk-angguk sambil memperhatikan arah Bedelah berlalu.

* * *

Seperti senja-senja sebelumnya udara menyapa Kampung Arias dengan gigilnya, perlahan merayapi seluruh kaki bukit dan hamparan persawahan yang mengitarinya. Kecuali lampu-lampu sumbu serta tungku perapian yang menyala menebar asap dari beberapa sudut kampung tak ada sumber cahaya lain yang dapat menjadi suluh gelap. Kunang-kunang adalah makhluk lain yang mampu memberi tanda pada ekornya selain bulan yang diselimuti awan pada gulita malam. Bintang-bintang yang bergantung di langit hanya menjadi penunjuk musim bagi masyarakat, bahwa tak lama lagi musim penghujan akan menjelang beberapa pekan ke depan.

Seperti pada suasana yang sama pada tahun-tahun sebelumnya, disetiap hulu mata air yang ada di sepanjang bukit barisan itu akan ada tertinggal jejak-jejak yang menyerupai telapak kaki manusia. Jejak yang mengerubungi telaga-telaga air jernih sebagai sumber penghidupan yang setia pada setiap kemarau.

Gecik Kampung Arias sangat paham jika jejak-jejak itu bukan bekas telapak kaki masyarakatnya yang bertani di sekitar. Tetapi jejak lain yang menyerupai manusia yang bersahabat dengan hutan dan dengan cinta. Ia juga tak pernah menceritakan pengalaman hidupnya bersama jejak-jejak itu kepada siapapun, termasuk kepada istri dan anak-anaknya. Karena menurutnya pengalaman seperti ini adalah bagian yang akan dilalui oleh setiap lelaki sejati di Kampung Arias, seperti para leluhur dan pendahulunya. Justru karena itu ia membiarkan alam dan dan jejak-jejak itu yang akan menemukan diri mereka masing-masing dalam kesahajaan hutan.

Setiap pergantian musim jejak-jejak itu selalu hadir pada awal senja. Datang secara diam-diam melalui tebing dan sela-sela tetumbuhan belantara. Menyusuri aliran anak sungai dengan perlahan hingga tiba di hulu dengan penuh suka cita.

Senja itu, Gecik Kampung Arias bermaksud memeriksa aliran air dari sumber mata air yang mengairi persawahan penduduk. Melangkah pasti di antara pematang yang ditumbuhi padi yang mulai berbunga. Meski telah berusia lanjut dengan seluruh jenggot yang telah memutih, mata dan telinganya masih sangat awas menangkap segala kehidupan flora dan fauna di sekitarnya. Tak ada yang perlu ditakuti, karena semua yang hidup mempunyai pencipta yang sama. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, karena segala yang mencari penghidupan membutuhkan kedamaian.

Hari mulai gelap, Gecik Kampung Arias terus melangkah memastikan aliran air akan bermuara pada petak-petak sawah yang menghidupi seluruh masyarakat dan keluarganya.

Tiba di kaki gunung tempat mata air memuncrat dari perut bumi, ia duduk di sebuah batu besar yang menyerupai bentangan tikar pandan. Sejenak ia terlihat terdiam sambil mengangguk-anggukkan kepala lalu turun membasuh muka mengambil air wudhu untuk shalat magrib. Setelah itu ia kembali ke tempat semula menunaikan kewajibannya kepada Sang Khaliq.

Beberapa bayangan berkelebat menghampir, magrib kali ini Gecik Kampung Arias tampaknya akan shalat berjamaah.

Benar saja, Gecik Kampung Arias melafal sani shalat magribnya dengan jihar. Mulai dari iqamah, takbiratul ihram hingga bacaan alfatehahnya terdengar hingga beberapa meter dari hamparan batu itu. Namun tiba pada lafal waladdaalliiin justru yang mengamininya adalah dirinya sendiri. Sesaat kemudian ketika rukuk membias sejumlah bayangan juga ikut rukuk dan bersujud. Demikian bayangan itu bersama Gecik Kampung Arias terlihat bershaf hingga pada tahyat akhir.

Ia menyadari sepenuhnya, bahwa pada setiap pergantian musim hulu mata air itu akan dikunjungi oleh musafir-musafir. Termasuk dirinya yang berjalan lima belas kilo meter dari tempat tinggalnya yang berada di tengah kampung. Dan para musafir itu adalah pemilik-pemilik jejak yang selama ini kerap hadir menjelang malam di sumber mata air. []. Bersambung……

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.