Sampah, Kanker yang Menggerogoti Keindahan Lut Tawar

oleh
Underwater Clean Up di danau Lut Tawar oleh Gayo Diving Club (GDC). (LGco_Munawardi)

Catatan Win Wan Nur

24 DESEMBER 2016, dua hari setelah saya tiba di kampung halaman dari tempat perantauan di Bali. Sekretaris Jenderal Forum Penyelamatan Danau Lut Tawar (FPDLT) Khalisuddin mengajak saya bersama anak saya Qien Mattane Lao dan dua keponakan saya (yang berdasar tutur Gayo sebenarnya lebih tepat disebut anak saya juga), Sara Simahara dan Tyara Rafanaura yang pasca mengikuti acara Idola Cilik di RCTI, lebih dikenal dengan nama panggilannya Naura untuk ikut dalam kegiatan membersihkan sampah di pinggir danau, berlokasi jauh dari Kampung Toweren.

Bersama anak-anak kampung Toweren dan komunitas penulis Bener Meriah serta anggota Forum Penyelamatan Danau Lut Tawar (FPDLT) sendiri, tiga anak saya sangat bersemangat mengikuti kegiatan ini, tanpa ragu mereka memunguti sampah-sampah yang sebagian bertebaran dan sebagian lagi bertumpuk di tepi-tepi jurang di pinggir danau. Mulai dari sampah organik, non organik serta sampah B3 (kaleng, besi dan sampah berbahaya) semua deh ada disini.

Ada rasa miris ketika memunguti sampah-sampah itu, bagaimana tidak. Lut Tawar, ternyata menyimpan masalah menahun yang perlahan-lahan menggerogoti keindahan ikon landmark Gayo ini.

Mau tidak mau saya jadi membandingkan dengan danau buatan di kompleks olahraga Jakabaring Palembang, yang saya kunjungi beberapa hari sebelumnya. Secara alam, Danau Lut Tawar memang jauh lebih unggul, tapi dari segi kebersihan. Kondisinya bak bumi dan langit, danau buatan yang maksudkan untuk tempat olahraga ski air ini begitu bersih tanpa ada terlihat sampah-sampah yang berceceran. Padahal danau itu setiap hari dikunjungi oleh ratusan sampai ribuah orang.

Kenapa Lut Tawar bisa begitu berbeda terkait dengan keberadaan sampah di pinggir danau ini?

Dari pengamatan saya dalam diskusi-diskusi di media sosial. Mayoritas masyarakat yang tidak mengalami sendiri hidup di kampung-kampung di pinggiran danau menyalahkan masyarakat yang tidak memiliki kesadaran untuk membuang sampah sembarangan. Nyaris tidak ada yang berpendapat lain.

Tapi setelah saya sendiri berada di sana, berbincang dan bertukar pikiran dengan masyarakat yang tinggal di kampung – kampung di tepi danau dan ikut memunguti sampah, baru saya menyadari bahwa ternyata kesimpulan yang sepenuhnya menyalahkan perilaku masyarakat dalam membuang sampah sembarangan itu tidaklah sepenuhnya benar.

Dari yang saya amati, ironisnya perilaku masyarakat yang membuang sampah di tepi danau itu justru adalah salah satu bentuk kesadaran akan kebersihan lingkungan. Kenapa bisa begitu?

Itu karena ternyata untuk melakukan itu mereka masih mau bersusah payah mengumpulkan sampah, membungkusnya dalam kantong plastik dan membawanya ke tepi danau. Sementara, ada anggota masyarakat yang lain memilih langsung membuang sampah ke anak-anak sungai yang melintasi kampung mereka dan sampah-sampah itu langsung ke danau.

Lalu kalau mereka sudah sadar pentingnya menjaga keindahan dan kelestarian danau, mengapa mereka masih membuang sampah-sampah itu dipinggir jalan?. Ternyata jawabannya karena tidak ada pilihan lain. Di kampung mereka tidak ada tempat pengumpulan sampah yang diambil oleh petugas setiap hari. Ini yang membedakannya dengan danau buatan di kompleks olahraga Jakabaring. Di sana, pengelola kompleks membayar petugas yang khusus memunguti dan mengumpulkan sampah untuk dibawa ke TPA setiap hari.

Benar, ukuran danau Lut Tawar jauh lebih besar daripada danau buatan di kompleks olahraga Jakabaring. Begitu juga masalahnya tidak sama, karena di tepian Lut Tawar ada perkampungan, ada masyarakat dengan segala dinamika dan persoalannya, sehingga tidak bisa diperbandingkan secara “apple to apple” dengan danau buatan di Jakabaring.

Tapi, bukankah secara postur keuangan Kabupaten Aceh Tengah tak bisa dibandingkan dengan Kompleks Olah Raga Jakabaring juga. APBK Aceh Tengah jauh lebih besar. Kiranya untuk sekedar menyewa satu perusahaan swasta untuk berkeliling danau memunguti sampah setiap hari tidaklah membebani APBD terlalu besar. Toh APBD cukup juga untuk membiayai berbagai proyek mercu suar yang tidak jelas urgensinya, seperti membuat tugu, membuat grafiti Gayo Highland dan lain sebagainya.

Oh ya, saya menyarankan perusahaan swasta yang melakukan pekerjaan ini, bukan dinas kebersihan, karena berdasarkan pengamatan saya di berbagai tempat, dalam melakukan pekerjaan seperti ini swasta jauh lebih bertanggung jawab karena mereka sadar, posisi mereka kapanpun bisa diganti kalau pekerjaan yang mereka lakukan tidak memuaskan.

Pemungutan sampah dari dasar danau Lut Tawar tahun 2013 lalu : Munawardi)

Dibandingkan proyek-proyek seperti itu, proyek pelestarian danau jelas jauh lebih urgens. Sebab ini terkait keberlangsungan danau ini sampai ke anak cucu. Karena masalah sampah ini seperti kanker, kalau masalah ini terlambat ditangani, kerusakan akan semakin parah dan menyesalpun tidak akan ada gunanya lagi.

Karena itulah, setelah menyaksikan sendiri masalahnya. Saya sangat berharap pada pembahasan APBK Aceh Tengah tahun depan, ada anggaran khusus untuk menjaga kebersihan danau ini.

Kiranya, pemerintah bersama DPRK tak perlulah menunggu masyarakat yang tinggal di kampung-kampung di sekeliling danau datang berdemo beramai-ramai ke DPRK dan Pendopo Bupati agar Pemerintah dan DPRK mau menganggarkan dana untuk menjaga kelestarian danau kebanggan Gayo ini.[]

Lut Tawar dari Udara. (LGco_Khalis)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.