Oleh : Win Wan Nur*
PADA tahun 2001 silam, dalam rapat koordinasi pimpinan daerah (Rakorpimda) Drs. Muhammad Yus yang lebih dikenal dengan nama Abu Yus yang saat itu menjabat sebagai ketua DPRD I Aceh membuka wacana untuk memindahkan ibukota Provinsi Aceh ke Takengen.
Meski Abu Yus mengatakan bahwa pertimbangannya adalah teknis karena secara geografis, Tekengen berada di tengah wilayah Propinsi Aceh. Sehingga dengan posisi ini, bila Takengen benar-benar direalisasikan menjadi ibukota tingkat I maka semua tingkat II di Aceh akan mudah menjangkaunya. Tapi siapapun yang mengikuti perkembangan politik pada masa itu tidak bisa menafikan, kalau ide sang Ketua DPRD yang kemudian mendapat penolakan luas di pesisir ini muncul tidak lama setelah bergulirnya ide untuk mendirikan provinsi baru di wilayah tengah dan tenggara Aceh, karena masyarakat di daerah tersebut merasa didiskriminasi oleh provinsi. Bukan kebetulan ketika ide ini muncul Aceh juga sedang bergolak, sehingga ide yang datang dari tengah ini kelihatannya disambut baik oleh pusat. Alasannya tentu saja untuk melokalisir konflik Aceh.
Situasi inilah yang memaksa para petinggi provinsi melakukan berbagai manuver untuk meredam ide pemisahan ini. Mulai dari yang bersifat retorika sebagaimana disampaikan Abu Yus sampai yang bersifat nyata dengan menambah porsi pembangunan fisik, di wilayah tengah dan tenggara.
Di wilayah tengah dan tenggara sendiri, ide pemisahan ini kemudian timbul tenggelam, sampai-sampai muncul pandangan sinis baik di pihak yang pro maupun yang kontra bahwa isu ALA hanya muncul menjelang Pemilu digunakan oleh para politisi untuk mendulang suara.
Ide mendirikan provinsi baru di wilayah tengah dan tenggara seolah kehilangan momentum ketika GAM dan RI akhirnya sepakat berdamai. Euphoria perdamaian membuat isu ALA yang dianggap potensial menimbulkan konflik baru antara Aceh dan Jakarta, tidak lagi seksi untuk dibahas di tingkat pusat. Puncak dari hilangnya momentum ini salah satunya ditandai dengan kalahnya Tagore, salah seorang tokoh utama ALA dalam pemilihan bupati di Bener Meriah. Peristiwa ini disambut dengan suka cita sebagian kalangan di pesisir.
Tapi sayangnya Aceh yang begitu lama di bawah tekanan Jakarta, melalui perdamaian yang baru dicapai ini seolah seperti mendapat pengakuan bahwa doktrin “Aceh Bansa Teuleubeh ateuh Rheung Donya” adalah benar adanya. Hal ini membuat mereka gagal mengontrol euphoria.
Merasa sudah menang, Aceh tidak lagi merasa segan untuk menampilkan sisi superioritas yang selama terpaksa diredam karena berada di bawah tekanan Jakarta. Para pengambil kebijakan di Aceh seolah lupa kalau Aceh itu adalah sebuah wilayah multi etnis yang memiliki banyak budaya dan bahasa yang satu sama lain sangat berbeda.
Alhasil, berbagai pernyataan dari para petinggi Aceh yang menunjukkan superioritas suku dan bahasa Aceh, yang sebelumnya tidak pernah didengar pasca perdamaian mulai sering disampaikan terang-terangan. Malaysia yang dalam konstitusinya memberikan hak istimewa kepada penduduk asli dijadikan acuan. Bedanya kini Aceh lah yang diposisikan sebagai pusat dan suku-suku minoritas lain sebagai daerah.
Di akar rumput (yang banyak di antaranya cukup terdidik) mulai muncul pemahaman bahwa hanya suku Aceh lah penduduk asli dan yang lainnya adalah pendatang, yang kalau tidak senang dengan aturan bahwa suku dan bahasa Aceh diposisikan dominan (sebagaimana Melayu di Malaysia) silahkan hengkang. Bahasa-bahasa ala Politisi Ultra Nasionalis di Jakarta dalam menyikapi konflik Aceh dulu mulai akrab terdengar, hanya dengan mengubah kata Indonesia menjadi Aceh.
Ketika para petinggi Aceh menyusun UUPA, di sana dibedakan antara ‘Orang Aceh’ dan ‘Penduduk Aceh’. Orang Aceh tidak peduli dimanapun dia berdomisili di jagat raya ini tetap diakui sebagai ‘Orang Aceh’. Sementara ‘Penduduk Aceh’ statusnya sebagai penduduk hanyalah sebatas ketika dia (bagi yang belum memiliki KTP, ikut orang tua) berdomisili di Aceh. Dan puncaknya adalah Qanun Wali Nanggroe yang dengan jelas memposisikan suku Aceh sebagai suku utama diantara suku-suku asli penghuni provinsi ujung paling barat Sumatera.
Berbagai perkembangan ini pada gilirannya membangkitkan kembali ide untuk mendirikan provinsi baru, di kalangan masyarakat yang merasa terdiskriminasi oleh perkembangan baru ini. Dan pergerakan ini tampaknya begitu signifikan. Puncaknya terjadi ketika Tagore yang sudah terpental dari kursi Bupati malah terpilih menjadi anggota DPR RI, meski sudah dihambat dengan segala cara, termasuk tidak diakomodir oleh Golkar, partai yang selama ini dia besarkan di wilayah tengah. Partai yang membuatnya rela melepaskan statusnya sebagai PNS di saat karirnya sedang bagus-bagusnya.
Seperti biasa, dalam retorika para petinggi Aceh, perkembangan baru ini dianggap tidak ada. Tapi meski di mulut tak pernah diakui, berbagai kebijakan dan stimulus untuk ‘menyenangkan’ wilayah tengah terus digulirkan. Termasuk diantaranya memberikan porsi besar dana Otsus. Kebijakan yang sulit diterima oleh beberapa kalangan masyarakat di beberapa wilayah Aceh yang begitu menderita selama konflik. Yang menggugak kebijakan pemerintah Aceh yang menurut mereka terlalu memanjakan wilayah tengah yang tak banyak berjuang di masa konflik.
Bukan hanya di pemerintahan, di kalangan masyarakat biasa pun, di kalangan seniman, pengusaha sampai politisi mulai muncul ide-ide untuk meredam bibit-bibit perpecahan Aceh ini. Salah satunya adalah ide untuk membuat Kongres Peradaban Aceh, yang idenya di permukaan terlihat begitu sempurna. Mendudukkan semua suku yang ada di Aceh dalam posisi setara. Tapi tujuan akhirnya jelas mudah ditebak, supaya jangan ada lagi ide-ide pemisahan provinsi.
Secara ide, acara ini sangat luar biasa. Tapi sayangnya dalam pelaksanaannya ada indikasi bahwa ini hanya akan menjadi akal-akalan Aceh sebagaimana yang sudah-sudah. Pada gilirannya tetap akan berujung menggiring penduduk provinsi ini untuk mengakui bahwa Aceh adalah suku utama melebihi suku-suku lainnya.
Indikasi ini bisa kita lihat dari fakta bahwa Wali Nanggroe yang jelas-jelas merupakan representasi dari superioritas suku Aceh atas suku-suku lain tetap diundang pada acara ini. Lebih menarik lagi, sebelumnya acara yang akan dihadiri oleh Wali Nanggroe ini malah direncanakan akan dilangsungkan di Takengen, kota terbesar di dataran tinggi Gayo, wilayah yang paling kuat menolak ide superioritas suku Aceh di provinsi ini.
Tidak perlu otak yang terlalu cerdas dan intelektualitas yang terlalu tinggi untuk menduga bahwa ide ini adalah siasat untuk membuat klaim bahwa superioritas suku Aceh melalu simbol Wali Nanggroe-nya sebenarnya sudah diterima oleh semua masyarakat Gayo, yang tidak mengakui itu hanyalah segelintir barisan sakit hati. Untungnya, masyarakat Gayo tidak senaif itu. Penolakan keras yang bermunculan, pasca digulirkannya ide itu sehingga panitia pun terpaksa membuat berbagai ‘opini logis’ untuk tidak menyelenggarakan acara itu di tanah Gayo. Sehingga dari awal klaim-klaim serampangan seperti itu sudah bisa dihindari.
Sabtu, 26 September 2015, lalu Pra Kongres untuk acara ini akhirnya diselenggarakan di Banda Aceh dan dibuka oleh Wali Nanggroe yang merupakan simbol superioritas suku Aceh atas suku-suku lainnya di provinsi ini.
Sebagaimana dulu dilakukan oleh Abu Yus, upaya ‘munamuh’ Gayo pun sudah terlihat sejak hari pertama Pra Kongres ini. Indikasi ini bisa dilihat dari pernyataan Prof. DR. Nazaruddin Syamsuddin yang dalam kata sambutannya mengatakan “Meurah Johan dan Sultan Alaidin Mughayatsyah adalah orang Gayo”, sesuatu yang nyaris mustahil kita dengar saat ribut-ribut pengesahan UUPA dan pengesahan Qanun Wali Nanggroe.
Dalam acara Pra Kongres ini, dari Gayo hadir seniman L.K Ara dan Fikar W. Eda, sementara dari kalangan akademisi hadir Yusradi Usman Al-Gayoni dan Dr. Rajab Bahri. Sejauh ini mereka semua membawa aspirasi Gayo dengan cukup baik.
Tapi belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, kita perlu waspada bahwa acara ini akan digiring untuk memperkuat posisi suku Aceh sebagai suku dominan. Sebab indikasi ke arah ini tampaknya cukup kuat, ini bisa dilihat dari fakta bahwa sampai sekarang belum ada tanda-tanda adanya usulan untuk mengubah atau merevisi UUPA yang membedakan antara ‘orang Aceh’ dan ‘Penduduk Aceh’.
Karena itulah, melalui opini yang ditulis secara pribadi dan tidak mewakili siapa-siapa kecuali diri saya sendiri ini. Saya pribadi sangat mendukung kehadiran empat orang saudara kita ini dalam Pra Kongres Peradaban Aceh. Sebab kehadiran mereka bisa kita harapkan untuk memperkuat eksistensi Gayo dan suku-suku minoritas lain di provinsi ini. Tapi dibalik itu, supaya tidak seperti yang sudah-sudah, kehadiran mereka dipolitisir oleh panitia dan pers sebagai suara seluruh Gayo dan suara lain yang berbeda dengan yang mereka sampaikan dianggap dan dicap sebagai suara segelintir barisan sakit hati yang harus dibungkam beramai-ramai.
Maka saya juga sangat berharap agar kita, masyarakat Gayo dapat memposisikan mereka berempat bukan sebagai perwakilan seluruh masyarakat Gayo, melainkan sebagai pribadi-pribadi asal Gayo, yang hadir di Kongres Peradaban Aceh. Dengan begitu, di satu sisi pasca acara ini kita bisa berharap eksistensi suku-suku minoritas bisa lebih diakui (meskipun sulit berharap untuk bisa setara) tapi di sisi lain kita bisa tetap nyaman menggulirkan ide-ide pemekaran provinsi.[]
*Pengamat sosial politik