Tulisan Muhammad Syukri
BERTAMU ke rumah warga Gayo di Aceh Tengah, jangan menolak jika anda disuguhkan segelas kopi hitam. Bahkan, ketika bertamu lagi ke rumah sebelahnya, anda kembali disuguhkan segelas kopi hitam. Kalaupun anda masuk ke rumah yang ke-10 pada hari itu, mereka tetap akan menyuguhkan segelas kopi hitam. Itulah tradisi menghormati tamu di Aceh Tengah, termasuk di kawasan Dataran Tinggi Gayo lainnya.
Sebagaimana di Jepang yang dikenal dengan tradisi minum teh-nya, maka tradisi minum kopi di Gayo sangat terkait dengan tanaman yang mereka budidayakan. Pasalnya, lebih dari 80% penduduk Aceh Tengah merupakan petani kopi yang bekerja diatas lahan seluas 48.003 hektar. Mereka bukan hanya andal dalam bercocok tanam, kini mereka juga sudah paham tentang biji kopi berkualitas dengan cita rasa tinggi.
Oleh karena itu, memperoleh bahan baku kopi berkualitas tinggi lebih mudah dan murah dibandingkan bahan baku teh atau minuman penyegar lainnya. Berapapun jumlah bahan baku kopi yang diperlukan untuk disangrai (roasted) sendiri, warga Aceh Tengah tinggal memetik dari ladangnya. Mereka tak perlu mengeluarkan biaya untuk memperoleh bahan baku kopi sekelas specialty coffee.
Sedangkan untuk memperoleh bahan baku teh atau minuman penyegar lainnya, mereka harus mengeluarkan uang untuk membelinya. Inilah alasannya, kenapa setiap tamu yang berkunjung ke rumah mereka selalu disuguhkan segelas kopi hitam panas. Kopi hitam itulah produk asli paling murah yang mereka hasilkan dari ladangnya.
1406764944176471894
Syaiful Hadi menikmati espresso sebagai hidangan lebaran tahun ini
Seiring dengan berubahnya selera minum kopi, serta makin menjamurnya jasa roasting kopi menggunakan mesin modern, berubah pula kualitas kopi yang disajikan dalam tradisi minum kopi di Gayo. Selama ini, segelas kopi hitam (tubruk) menjadi hidangan istimewa untuk tamunya. Berbeda pada lebaran tahun ini, para tetamu terkaget-kaget begitu disuguhi secangkir espresso dengan krema kuning gading di permukaan cangkir.
Tersebutlah Syaiful Hadi (58), warga Medan yang mudik ke Takengon, Rabu (30/7/2014) bersilaturahmi ke rumah penulis. Dia cukup terkejut ketika disuguhkan secangkir espresso yang menebarkan aroma arabika yang sangat khas.
“Lha, espresso ini khusus dipesan dari cafe ya? Mahal juga biaya menjamu tamu di Gayo ini. Kalau di Medan, satu tamu harus keluar uang minimal Rp. 20 ribu per cangkir,” kisah Syaiful.
Saya menjelaskan, menyuguhkan secangkir espresso di hari lebaran lebih murah biayanya daripada minuman yang lain. Bahan baku kopi dipetik dari ladang sendiri, diolah dan dijemur sendiri, coffee makernya sudah ada. Biaya yang dikeluarkan hanya untuk jasa roasting sebesar Rp. 20 ribu per kilogram.
Barulah Syaiful menyadari penyebabnya, kenapa orang-orang yang dikunjunginya pada lebaran tahun ini selalu menyuguhkan secangkir espresso sebagai minuman tamu. Sebelumnya dia sempat berfikir bahwa gaya hidup warga Gayo telah berubah, meniru gaya hidup kaum elite ibukota. Rupanya, espresso yang tergolong sebagai minuman mahal di kota besar, ternyata menjadi minuman termurah di Gayo.
Pembaca ingin menikmati espresso gratis sepuas-puasnya? Berkunjunglah saat lebaran ke Tanoh Gayo, anda dapat mencicipi espresso berbahan baku specialty coffee dari biji long berry atau peaberry. Lebih-lebih jika secangkir espresso dinikmati dengan gula aren plus lepat Gayo, tentu anda akan sulit melupakan Tanoh Gayo.
Tulisan ini pernah dimuat kompasiana 31 Juli 2014 berjuduyl “Espresso, Tradisi Baru Lerbaran di Gayo”