Dipaksa Mengenal Dunia Dari Ujung Temetas

oleh
SMA Ujung Temetas
SMAN 2 Ujung Temetas, salah satu tempat paling berkesan (Foto: Adi Amor}

Catatan: Muhammad Syukri *)

Siapa yang tidak mengenal Ujung Temetas, sebuah bukit kecil yang berada dalam wilayah Kampung Pinangan Aceh Tengah. Bukit ini merupakan ujung dari salah satu kaki Bur Salah Nama, sekarang dikenal dengan sebutan Pantan Terong.

Di bahu bukit kecil yang bernama Ujung Temetas ini, saya dan –barangkali– para alumni SMAN 2 Takengon yang lain, dipaksa mengenal dunia oleh guru-guru hebat yang mengajar disana. Beberapa siswa yang lain, lingkungan yang memaksanya untuk mengenal dunia dan wilayah Indonesia.

Ujung Temetas, tempat yang paling banyak menyimpan kenangan. Ada kenangan indah, bahkan kenangan pahit juga tidak sedikit. Sekarang, setiap melintasi bukit kecil itu, seolah masih terngiang suara Chrisye yang menyanyikan syair “Tiada masa paling indah…masa-masa di sekolah. Tiada kisah paling indah, kisah kasih di sekolah.”

Meskipun kenangan pahit itu tetap sulit untuk dilupakan, tetapi masa paling indah seperti syair Chrisye tadi telah menetralisir semua kepahitan di bukit itu. Saya bahkan merasakan bahwa kepahitan itu menjadi pendorong untuk bangkit dan terus belajar. Teringat pribahasa Gayo, “pait enti tir i loahen, lungi enti tir i doloten.”

Sebenarnya, saya ingin berterima kasih kepada teman-teman  yang semasa di Ujung Temetas kerap mem-bully dan menorehkan kenangan pahit. Kenapa? Mereka telah mengubah jiwa dan cara berpikir saya. Tanpa disadari, mereka juga telah melatih saya untuk mampu bertahan dari berbagai kesulitan, sekaligus memotivasi saya untuk mengenal dunia.

Waktu itu memang sangat menderita, pergi sekolah berjalan kaki sejauh 4 Km. Pulang sekolah badan serasa remuk di-bully oleh geng Ujung Temetas. Begitu lonceng pulang berbunyi, mereka sudah menunggu di gerbang sekolah, saya dan seorang teman lagi selalu dihina dengan kata-kata rasis bahkan digebuki ramai-ramai.

Pernah terpikir waktu itu untuk pindah sekolah. Saya sempat bimbang, tetapi teringat guru-guru disana sangat menginspirasi dan teman-teman sekelas yang peramah. Saya bulatkan tekad untuk bertahan di Ujung Temetas. Meskipun badan serasa remuk digebuki oleh geng Ujung Temetas, saya anggap sebagai latihan daya tahan tubuh.

Medio 1981, saya dan teman-teman berhasil menyelesaikan SMA di Ujung Temetas. Hari itu, ketika Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) sudah ditangan, saya merasa sangat merdeka dan berhak untuk mengenal dunia. Saya sudah terbebas dari para pem-bully yang setiap hari menebar teror.

Disisi lain, saya merasa sedih karena harus berpisah dengan guru dan teman sekelas yang baik hati. Masa-masa di sekolah sebagai masa-masa paling indah akan segera berakhir. Untuk mengenang masa yang paling indah itu, saya berdiri di depan kelas dan melepaskan pandangan ke arah Timur. Disana terlihat Danau Laut Tawar yang indah, dan kota Takengon dikelilingi oleh padi yang sedang menguning.

Larut dengan rasa haru saat mengucapkan perpisahan kepada bukit Ujung Temetas itu, saya sampai lupa jika teman-teman sudah pulang. Akhirnya saya melangkah meninggalkan halaman kelas III/A, pulang sambil menelusuri jalan tanah menuju ke arah Kampung Pinangan. Bisik hati saya, kemerdekaan sudah tiba, selamat tinggal kampus Ujung Temetas.

Diantara dua tebing yang cukup sepi, terlihat anggota geng Ujung Temetas sedang menggebuki teman sekelas saya. Memang, kami adalah sasaran empuk yang selalu dijadikan obyek bully oleh geng ini. Bertepatan tiba di tikungan itu, mereka juga menyerang saya. Lagi-lagi tubuh ini remuk menerima tinju yang datang bertubi-tubi.

Beruntung, beberapa guru tiba di lokasi pengeroyokan itu. Anggota geng Ujung Temetas berlarian ke arah jalan Paya Reje dan menghilang entah kemana, selamatlah kami berdua. Dengan langkah tertatih-tatih, akhirnya kami sampai di simpang Pinangan. Sambil menunggu bus tumpangan, teman tadi berbisik: akan saya tunggu mereka di Simpang Surabaya.

Dua tahun setelah tamat SMA, saya bertemu dengan teman se-SMA yang sering di-bully oleh geng Ujung Temetas dalam robur (bus mahasiswa) jurusan Banda Aceh-Darussalam. Dia bercerita, berbulan-bulan ditunggunya anggota geng itu di Simpang Surabaya, tetapi tidak satupun muncul.

Kabarnya, mereka memang tidak melanjutkan kuliah. Oleh karena itu, dia sudah melupakan dendam itu. Kini, dia sedang berkonsentrasi untuk menyelesaikan kuliah. “Saya ingin melihat luasnya dunia ini,” mengulang janji kami di Ujung Temetas.

Pada suatu siang tahun 1991, saya bertemu dengan salah seorang anggota geng Ujung Temetas di terminal labi-labi, Pasar Baleatu Takengon. Saya sapa, tetapi dia kelihatan salah tingkah. Hati saya mengatakan bahwa lelaki itu merasa bersalah atas bully yang sering dilakukannya terhadap saya.

“Lagi nunggu siapa?” tanya saya.

“Nunggu labi-labi, mau pulang ke Paya Tumpi. Kebun saya disana,” jawabnya singkat.

“Dulu kamu sering mengeroyok saya. Ayo sekarang kita berkelahi disini, satu lawan satu, mau?” tantang saya.

“Eleh, itu kan dulu, waktu itu kita masih anak-anak…hehe,” elaknya.

“Haha…saya hanya kelakar. Saya mau ngucapin terima kasih, karena peran kalianlah menyebabkan saya dapat beasiswa dan melihat Jakarta secara gratis,” jelas saya sambil menjulurkan tangan untuk bersalaman.

*) Alumni SMAN 2 Ujung Temetas angkatan I. Tulisan ini untuk menyongsong reuni akbar alumni SMAN 2 Ujung Temetas pada Juli 2015 mendatang.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.