Pelantun Kusa-Kusa Bicara Nasib Didong

oleh
Didong Jalu (Foto Aman Renggali)

Oleh : Khalisuddin

Ceh Didong Ali Amran
Ceh Didong Ali Amran

Nasip ni Ceh si tukang seni,
asal ari jemen mi,
kengon osop wan ni denang

****

Demikian sebait syair didong yang menggambarkan nasib seorang seniman kesenian Gayo Didong yang sejak dulu hingga sekarang tak ada perbaikan ekonomi keluarga ke arah yang lebih baik.Ali Amran, salah satunya yang ditemui dirumahnya di komplek perumahan Seniman Belang Bebangka Kecamatan Pegasing Aceh Tengah, beberapa waktu lalu menngisahkan pernak-pernik pengalamannya sebagai Ceh Didong.Pria setengah baya  ini merupakan Ceh Kul, atau Ceh ‘Satu’ Klub Didong Sriwijaya Kampung Kenawat Lut Kecamatan Lut Tawar Aceh Tengah. Dilahirkan tahun 1964 dan melakoni kesenian Didong sejak berumur 7 tahun.Pengakuan Ali Amran, jika ingin kaya dan hidup berkecukupan jangan memilih menjadi Ceh Didong sebagai penopang hidup ekonomi keluarga. Penghasilannya dari Didong untuk sekali tampil Rp.200 ribu dengan rata-rata manggung tiga kali dalam sebulannya.Uang penemah langkah (tarif) rata-rata Rp.1,5 juta persekali undangan berdidong. Uang ini dibagi empat, untuk biaya transportasi ketempat berdidong, penepok atau pengiring musik dengan tangan sekitar 30 – 40 orang, pengurus klub dan para Ceh 3 orang (Ceh Kul dan Ceh Apit)

Untuk menambah penghasilannya, Ali Amran juga berprofesi sebagai petani di kebun kopi dan bersawah dikampungnya Kenawat Lut. Sang istri juga terpaksa bekerja dirumah dengan membuat kue setiap harinya dan dititipkan ke kios-kios disekitar tempat tinggal mereka di komplek perumahan Belang Bebangka Pegasing.

Ali Amran juga sering diminta untuk menjadi penyanyi panggilan saat ada acara pesta perkawinan, khitanan atau acara-acara resmi pemerintah. Bernyanyi dengan Keyboard ini Ali Amran biasa dibayar Rp.100 ribu dengan rata-rata 4 – 5 kali dalam sebulannya mendapat permintaan.

Jika penghasilan tersebut dikumpulkan, tentu tidak sebanding dengan kebutuhan hidup seperti sekarang ini yang serba mahal, kata Ali Amran.

Tidak Mimpi Jadi Ceh

Semula bukan keinginan dia untuk menjadi Ceh. Saat mengikuti pengajian di pesantren dalam kampung yang juga merupakan tempat kelahiran Tgk H Ilyas Leube, tokoh pemberontak DI/TII Aceh sekaligus tokoh kemerdekaan RI, Ali Amran yang berumur 7 tahun dinilai orang-orang tua memiliki suara yang bagus dan khas.

Ali Amran kecil lalu sering diminta menjadi mu’azzin di Mersah dan Masjid. Selanjutnya pada tahun 1977, oleh Bebujang (para pemuda Gayo) di kampung tersebut Ali Amran dilatih melagukan syair Didong. Saat itu nama Klub Didong di Kenawat Lut “Kemala Sari”.

Untuk pertama kalinya, pertandingan Didong yang diikuti Ali Amran adalah saat festival Didong di Kute Takengon, tepatnya dilokasi SMPN 2 Takengon saat ini dan setelah itu berdidong menjadi hobi bagi Ali Amran.

Membentuk Klub Sriwijaya

Setelah itu, Ali Amran mulai menciptakan beberapa lagu dan hingga tahun 1987, Ali Amran belum menjadi Ceh Kul atau Ceh inti di Klub Kemala Sari yang juga mengalami kemunduran dan sempat berada di Klub Didong papan bawah di Aceh Tengah selama beberapa tahun.

Merasa tidak ada lagi yang bisa diharap untuk memulai kembali membangun klub Didong yang baik, ditahun yang sama bersama sejumlah rekannya, Ali Amran kemudian membentuk klub Didong baru bernama Sriwijaya. Tak dijelaskan kenapa mengambil nama tersebut.

Klub baru ini ternyata bertuah, ditahun 1993, 1995 dan 1996 berhasil menggondol sebagai klub Didong terbaik saat even Didong Jalu di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan Ancol Jakarta. Piala bergilir dari Paguyuban warga Gayo di ibukota Indonesia tersebut menjadi milik tetap klub Didong asal Kenawat tersebut.

Ceh kucak Iwan dan Taqim diapit dua seniornya berdidong. (LGco | Kha A Zaghlul)
Ceh kucak Iwan dan Taqim diapit dua seniornya berdidong. (LGco | Kha A Zaghlul)

Media Syiar, Berita, Kritik Sosial juga Romatika

Dijelaskan Ali Amran, saat Didong Jalu, dalam waktu setengah jam Ceh Kul harus mampu mengarang syair balasan terhadap lagu yang dibawakan sang lawan ataupun membuat karangan yang mengandung pertanyaan untuk dijawab oleh klub lawan. Tidak sembarang orang dapat menjadi ceh Kul yang bertugas mengarang dan sekaligus harus bisa melagukan syair Didong. Ceh Kul dituntut untuk punya IQ yang baik, mengikuti perkembangan dan informasi  lokal, nasional maupun internasional dengan baik.

Pengarang lagu Didong harus mampu meramu kata-kata yang indah menceritakan suatu kejadian kepada khalayak atau audien Didong. Berisi nasehat, dan pertanyaan jika dilagukan saat Didong Jalu.

Syair-syair Didong juga berisi pesan-pesan atau petuah adat Gayo. “Adat istiadat merupakan pagar Syari’at,” kata Ali Amran. Karenanya dalam syair Didong yang baik berisi kata-kata nasihat untuk introspeksi diri, nada prihatin dan himbauan untuk menjaga kelestarian adat budaya Gayo.

Ali Amran mencontohkan dalam karangan lagunya berjudul “Kusa-Kusa” yang diantara baitnya berbunyi : “Wo Ama, Ine edet Gayo gere ne ara”, “Asal ike edet gere ne bergune kemelte gere ne ara”, Kusa, Ama kukunei kusa…”.

Lagu “Kusa-Kusa” yang sempat diperdengarkan di Jakarta menarik perhatian Prof.DR. M Yunus Melalatoa. Guru Besar di Universitas Indonesia (UI) tersebut menaruh apresiasi luar biasa terhadap lagu Didong tersebut.

Menanggapi dampak pergaulan bebas saat ini, Ali Amran dengan klubnya Sriwijaya juga menciptakan lagu yang hit dan tetap digemari hingga saat ini dengan judul “Lime Manis Gayo” yang menceritakan secara tamsil perbedaan gadis Gayo tempo dulu dan sekarang seperti yang disebut dalam reffrainnya “Lime manis Gayo, ike tasak ko berbeli, ike mude ko bertiro” dapat diterjemahkan jeruk sebagai tamsil seorang gadis yang cantik, terjaga kehormatannya akan sangat mahal harganya saat dipinang dan sebaliknya gadis yang bermoral rusak dan tak terjaga harganya jadi murahan.

Keprihatinan atas kerusakan alam akibat ulah manusia juga tak luput dari sentilan Ceh Didong ini. Ditahun 1985, saat batang pinus dataran tinggi Gayo diangkut ke Lhokseumawe untuk bahan baku kertas Kraft, Ali Amran menciptakan satu lagu berjudul “Uyem” dengan bunyi syairnya berisi kritikan terhadap penebangan Pinus dihamparan bumi Linge, Tanoh Gayo.

Bagi seorang Ceh Didong, rupanya sedikit pantang untuk mengkritik pemerintah melalui syair Didong. Buktinya Ali Amran merasa dikucilkan tanpa ada panggilan untuk ber-didong selama kurun waktu hingga tahun 2002. Apalagi Ali Amran dan Klub Didongnya Sriwijaya berasal dari Kenawat Lut, kampung yang disebut-sebut sebagai sumbu pergolakan DI/TII hingga Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Anak-anak Toweren dalam sebuah sesi liputan televisi nasional. (Kha A Zaghlul)

Didong Sudah Berubah

Seni Didong sudah banyak berubah, banyak sudah alami pergeseran nilai demikian kesimpulan sejumlah kalangan termasuk Ali Amran.

Dari materi syair, karangan dulu halus dan penuh dengan kiasan. Tidak “derhal” atau langsung ke pokok persoalan. Sindirian-sindiran disampaikan dengan kata-kata halus sehingga butuh kemampuan dalam mencerna apa maksudnya.

Tidak mesti disebutkan inengku banan dan amangku rawan (ibuku perempuan dan ayahku laki-laki) dalam berdidong. Semuanya dikiaskan, kata Ali Amran.

Tentang irama, Didong dulu mengadopsi dari suara-suara alam, seperti hujan, tiupan angin dan suara hewan seperti “imo” hewan sejenis monyet. Suara-suara tersebut diadopsi menjadi Guk dan Sarik dengan fibrasi-fibrasi tertentu. Sekarang, irama lagu didong banyak mengkopi-paste irama India, qasidah, dangdut dan sebagainya.

Untuk peminatnya juga sudah mulai berkurang. Kalangan muda cenderung kurang minat menyaksikan atau mendengarkan didong. Fungsinya sebagai media informasi sudah digeser oleh kemajuan teknologi informasi saat ini, kata Ali Amran.

Sudah berkurangnya penguasaan bahasa Gayo oleh generasi sekarang juga menjadi kendala. Didong adalah hiburan pendengaran, menjadi tidak menarik jika kita tidak faham apa yang kita dengar, tambah Ali Amran yang juga sebagai ceh klub Didong milik pemerintah yang bernama Lut Tawar Jaya yang dibentuk ditahun 2009.

Menurut Ali Amran perubahan besar mulai terjadi sejak tahun 1990-an, salah satu sebabnya banyak Ceh-Ceh tua yang menghadap Illahi atau tidak bisa berkarya lagi.

Minimnya perhatian pemerintah juga menjadi sebab berkurangnya kualitas dan kuantitas Didong Gayo. Idealnya, ada perhatian berupa pembinaan khusus dalam mempertahankan kesenian Didong seperti penyelenggaraan kompetisi yang lebih terprogram dengan baik.

Didong Jalu Biak Cacak dengan Teruna Jaya di Banda Aceh. (Aman Renggali)

Pun demikian, menurut Ali Amran masih ada bagian masyarakat Gayo yang ingin menyelamatkan seni Didong. Buktinya, ada sekitar 200 klub Didong di Aceh Tengah. Klub-klub ini dibagi dua, klub papan atas sekitar 50 klub dan papan bawah 150 klub.

Klub papan atas ditandai dengan seringnya mendapat panggilan untuk berdidong karena digemari masyarakat. Sedangkan Klub papan bawah jarang mendapat panggilan.

Kedepan, Ali Amran berharap dinas terkait dapat memberi perhatian lebih kepada ceh dan klub Didong di Aceh Tengah. “Rasanya belum pernah pihak terkait mengecek atau melihat kondisi ril kehidupan Ceh-Ceh Didong sehari-hari. Mereka hanya lihat saat kami saat berdidong diatas panggung,” kata Ali Amran yang kini menghidupi kelurganya dari usaha warung kecil-kecilan di komplek lapangan Pacuan Kuda, H. Muhammad Hasan Gayo Belang Bebangka Pegasing.[]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.