Onot Kemara : Didong pintu gerbang Gayo

oleh
Onot Kemara saat melatih siswa di Takengon bermain Teganing. (Ist)

Darmawan Masri

Onot Kemara saat melatih siswa di Takengon bermain Teganing. (Ist)
Onot Kemara saat melatih siswa di Takengon bermain alat musik bambu khas Gayo, Teganing. (Ist)

Didong merupakan salah satu kesenian khas Urang Gayo. Didong dimainkan oleh dua klop (Didong jalu) dan merupakan salah satu kesenian yang dimainkan dalam waktu yang cukup lama, dari sehabis Isya hingga terbit fajar. Kesenian ini sama dengan kesenian Wayang di Jawa, yang juga dimainkan dalam waktu yang lama. Dan ternyata kedua kesenian ini (Didong di Gayo dan Wayang di Jawa) merupakan dua kesenian yang dimainkan cukup lama di dunia.

Hal itu disampaikan salah seorang ceh Didong, Onot Kemara, beberapa waktu lalu di Takengon. Menurutnya, kedua kesenian ini cukup unik, karena memiliki penggemar terbatas. “Tidak mungkin orang luar nonton didong dan wayang mau menunggu sampai pagi, kalau sekali dua kali iya. Makanya keduanya punya penggemar khusus,” ucap Onot Kemara.

Ketika ditanya LintasGayo.co tentang arti dari Didong, Onot Kemara mengatakan, bahwa didong merupakan pintu gerbang dari suku Gayo saat ini. “Menurut pengamatan saya begitu, saat ini hanya Didong lah kesenian Gayo yang tak dapat ditiru orang lain selain urang Gayo itu sendiri,” kata Onot.

Dia mencontohkan, kesenian Gayo lainnya yang sudah bisa dimainkan oleh orang selain Gayo diantaranya Tari Guel, Bines dan Saman, yang juga tarian khas Gayo.

“Beberapa waktu lalu saya dengar kabar dari Unsyiah Banda Aceh, beberapa perwakilan mahasiswa diminta untuk menampilkan Tari Guel disana, dari sekian banyak penari yang ikut hanya satu yang berasal dari Gayo. Begitu juga Bines dan Saman, saat ini sudah banyak yang dimainkan oleh orang lain, walau itu kesenian punya kita, tapi orang luar tak bisa membedakan mana Saman asli mana Saman plagiat,” jelas Onot Kemara.

Hal tersebut sangat berbeda dengan kesenian Didong, dia beranggapan hingga saat ini belum ada orang lain yang bisa meniru tingkah Didong. Sehingga Onot Kemara yakin, bahwa Didong merupakan pintu gerbang dari Gayo. “Jika Didong sudah bisa dimainkan oleh orang lain, maka Gayo akan tinggal nama, hanya akan ada kenangan dan cerita-cerita saja,” keluhnya.

Walau Didong masih belum bisa ditiru oleh orang lain, namun Onot Kemara merasa khawatir dengan eksistensi dari kesenian yang merupakan pintu gerbang Urang Gayo ini. Sudah banyak generasi Gayo saat ini tidak lagi memahami makna dari Didong. “Waktu saya ke Banda Aceh saya tanya ke mahasiswa asal Gayo disana, kamu tau arti Didong?, dia jawab tida, disitu saya merasa khawatir dan kecewa,” tambahnya.

Menurutnya salah satu defenisi  selain sebagai kesenian dan pintu gerbang Gayo dengan mengutip syair Ceh Sali Gobal (Kemara), Didong berketibung wan ni jantung//berjunte wan ni ate//. “Artinya media da’wah dan syiar. Dengan didong setiap orang yang mendengarnya bisa menjadi tenang apalagi ditambah dengan suara yang khas dari ceh-ceh yang melantunkannya,” ungkap Onot Kemara.

Melihat kegelisahan itu, Onot Kemara mengaku berinisiatif untuk memperkenalkan lagi didong ke generasi muda Gayo saat ini, dengan menjadi tenaga pengajar khusus didong di sekolah-sekolah di Aceh Tengah dan Bener Meriah.

“Makanya saya mau mengajarkan didong ke sekolah-sekolah saat ini, sudah ada delapan sekolah yang meminta saya untuk membina didong, agar kelak didong ini tidak tinggal nama. Dan Gayo akan tetap eksis sebagai suku bangsa dan berkebudayaan serta berkesenian yang mandiri,” demikian Onot Kemara. []

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.