Ruang Sosial Abdi Negara yang Terancam

oleh

Oleh Johansyah*

johansyah-mudeSebagai abdi negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari hari ke hari terus dihimpit tuntutan kerja dengan disiplin tinggi serta proaktif dalam menjalankan tugas yang dibebankan kepada mereka. Jokowi dengan kabinet kerjanya semakin getol membuat regulasi untuk menggenjot kinerja PNS agar lebih berkualitas. Dengan filosofi kerjanya, Dia tentu berharap dunia birokrasi  kita tertata lebih baik dari sebelumnya.

Filosofi kerja dengan alasan untuk mengefektifkan dan memaksimalkan kinerja abdi negara barangkali memang tepat. Namun bagi saya filosofi kerja ini berpotensi mengancam ruang sosial abdi negara itu sendiri. Ruang sosial tersebut adalah ruang yang tumbuh secara alami dalam masyarakat tanpa dilatar belakangi oleh tuntutan profesi tertentu seseorang. Ruang sosial adalah sunnatullah dan keniscayaan bagi semua manusia. Jika ada upaya mempersempit ruang ini, maka itu sama saja dengan menggugurkan nilai-nilai sosial kemanusiaan.

PNS memang mendedikasikan diri untuk negara, diangkat dan digaji oleh negara. Pengabdian menjadi sebuah keniscayaan, ditanamkan menjadi budaya malu jika tidak disiplin bekerja, dan terkadang sebagai matari nasehat seorang pejabat setingkat kepala dinas, kepala seksi, dan kepala bidang, untuk ‘menyadarkan’ bawahannya, kendati pun sebenarnya dia sendiri masih alpa dari kalimat yang diucapkannya.

Semoga kita tidak lupa bahwa PNS bukanlah hanya berperan sebagai abdi negara. Mereka memiliki ruang sosial sebagai wilayah alami kehidupan. Durasi waktu PNS hanya berkisar seberapa lama masa kerja mereka, itu kurang lebih sekitar 30 tahun. Selebihnya mereka akan menjadi masyarakat biasa, beraktifitas sebagaimana orang lain yang ada di sekitarnya. Maka alangkah ironinya apabila suatu saat abdi negara kembali menjadi masyarakat biasa dan mendapat penilaian negatif dari orang sekitar karena dulunya saat PNS kurang bermasyarakat.

Mengarah Kepada Individualisme

Ketika pemerintah ‘memaksakan’ para abdi negera dengan kurang mempertimbangkan ruang sosialnya, secara tidak sadar mereka sebenarnya menggiring pola pikir para PNS ke ara pola pikir individualis. Mereka dipolakan seolah-olah tidak punya waktu untuk kegiatan kemasyarakatan karena pergi pagi pulang petang. Di sore hari mereka dihadapkan pada kondisi yang lelah, pekerjaan rumah, plus menghadapi berbagai tuntutan anak-anaknya. Kondisi ini alih-alih membuat mereka kurang peduli dengan berbagai kegiatan sosial di sekitarnya.

Akhirnya, filosofi kerja ini menyeret orang keluar dari budaya masyarakatnya dan masuk ke wilayah struktural yang mengikat, ‘memaksa’ walau pun bersifat sementara. Harus disadari bahwa semua manusia adalah produk dari budaya yang mengitarinya. Mereka tumbuh dan berkembang dengan kebiasaan-kebiasan yang sudah terbangun di alam sekitarnya. Maka sesungguhnya suatu suatu kejahatan jika ada upaya untuk menyeret orang keluar dari budayanya.

Rasanya tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa filosofi kerja semacam ini adalah bentuk dari upaya robotisasi. Manusia dituntut bekerja seperti mesin sepanjang hari, tanpa memberi ruang sosial yang memadai kepada mereka. Atas nama pengabdian, pemerintah telah sedemikian rupa merampas ruang sosial abdi negara, Padahal di sisi lain, hal ini boleh jadi menggembosi negara.

Mengancam Keutuhan Keluarga

Tuntutan dan persaingan hidup di dunia global secara tidak langsung menuntut manusia bersikap lebik kritis, aktif, dan kreatif. Maka itu, semakin banyak keluarga di mana suami istri bekerja di luar rumah, baik sebagai PNS, pengusaha, maupun wiswasta. Mereka pergi pagi, pulang sore, dan terkadang sampai malam karena tuntutan pekerjaan. Waktu pertemuan mereka sedikit, sebentar di waktu pagi, sore hari, dan pada malam hari. Terkadang ada sebagian keluarga yang nyaris tidak punya waktu untuk bertemu, bercanda, dan melepas rindu. Rumah hanya berfungsi sebagai kamar inap, karena suami atau istri pulang dari kantor pada malam hari, lalu paginya berangkat lagi.

Dengan kondisi keluarga semacam ini, siapa lagi yang menjadi korban kalau bukan anak-anak sendiri? Kendati punya ayah atau ibu, tapi jarang sekali sang anak merasakan tidur mimpi indah dalam buaian orangtuanya, karena mereka sibuk dengan kerja sendiri. Orang tua tak lebih dari ATM yang hanya berfungsi memberi uang untuk kebutuhan sekolah dan jajan, sementara tidak mampu mencurahkan kasih sayang. Sekolah model full day school pun menjadi pilihan banyak orangtua karena anak-anak mereka berada di sekolah hingga sore hari. Tapi yang terjadi kemudian adalah, sang anak lebih mencintai guru sekolah dari pada orangtuanya karena lebih sering berinteraksi dengan mereka. Sang anak lebih suka curhat kepada gurunya dari pada curhat kepada orang tuanya sendiri.

Dampak lain dari kesibukan kerja bagi abdi negara adalah potensi terjadinya perselingkuhan. Di wilayah yang menetapkan lima hari kerja, beberapa kasus perselingkuhan pernah terdengar. Hal ini salah satunya bisa jadi dipicu oleh kurangnya waktu komunikasi antara suami istri karena kesibukan masing-masing. Sebaliknya, mereka lebih sering dan intens berkomunikasi dengan rekan sekantor. Ya, awalnya ngobrol soal kerja, selanjutnya curhat soal keluarga, akhirnya mau berbuat apa saja. Tentu kasus seperti ini tidak dapat digeneralisir, tapi saya yakin sistem kerja semacam ini sangat berpotensi berselingkuh.

Apalah artinya keluarga seperti ini? Keluarga tidak lebih dari terminal di mana bus berangkat dan berhenti kapan dia mau. Bus tidak pernah menetap lama di terminal karena dia butuh penumpang dan penumpang butuh tumpangan. Kita tau terminal bagi bus hanyalah tempat perhentian sekejap dan numpang lewat, bukan sebagai tempat menentap.

Berikan Ruang Sosial dan Keluarga

Filosofi kerja yang dibebankan kepada abdi negara tentu bernilai positif. Tapi pemerintah juga tidak boleh lupa, bahwa mereka butuh interaksi sosial dalam masyarakat. Lagi pula eksistensi negara ini bukan saja ditentukan oleh birokrasi yang mumpuni melalui tuntutan kerja kepada abdi negara, tetapi juga ditentukan oleh eksistensi budaya yang sudah terbangun dalam masyarakat.

Manusia itu bukan robot atau mesin yang tidak memiliki nurani. Manusia adalah makhluk Tuhan yang tidak dapat berdiri sendiri, mereka membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Negara ini jangan memperkerjakan manusia dengan dalih membangun negara, karena membangun interaksi sosial juga adalah bagian penting dari upaya membangun negara.

Filosofi kerja adalah simbol semangat yang kuat untuk mencapai sebuah kesuksesan. Tetapi semua itu nihil tak berarti ketika manusia tersingkir dari rumah budayanya. Untuk apa menuntut kerja, kerja, kerja, kepada abdi negara kalau hanya melahirkan orang yang mengarah pada individualisme, keluarga hancur berantakan karena perselingkuhan, dan anak-anak tumbuh berkembang menjadi generasi liar yang mungkin membawa petaka karena orang tua mengabaikan dan tidak mencurahkan kasih sayang kepada mereka. wallahu a’lam bisshawab!

*Penulis adalah Pemerhati Sosial Budaya, Kandidat Doktor Pendidikan Islam, PPs UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.