M. Junus Melalatoa Putra Gayo Multi Aktuality

oleh

[Tinjauan Buku]

Salman Yoga S

Pak-PipinDi tengah kehadiran teknologi komunikasi yang semakin maju, tidak sedikit riwayat hidup atau biografi tokoh berikut dengan karya serta kiprahnya dapat diakses dengan mudah. Para pengguna (uses) hanya cukup memasukkan kata “kunci” ke mesin pencari maka segala sesuatu yang terkait dengannya akan muncul secara bersamaan.

Berbeda dengan M. J. Melalatoa, puta Gayo yang telah empat puluh enam tahun lebih mengabdikan diri sebagai tenaga pendidik disalah satu Perguruan Tinggi Negeri ternama di republik ini. Kecuali sebuah foto saat pengukuhannya sebagai Guru Besar bidang ilmu Antropologi di Universitas Indonesia (UI), nyaris tidak ada informasi apapun tentang dirinya yang termuat dalam media cyber (internet). Berbeda dengan sejumlah tokoh dan akademisi Universitas Indonesia (UI) hari ini atau Perguruan Tinggi lainnya di Indonesia dan dunia, mesin pencari hanya memunculkan informasi tentang  M. J. Melalatoa terkait sejumlah buku yang pernah ia tulis saja. Salah satunya adalah buku Luka Sebuah Negeri, Puisi Etnografi yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia Jakarta beberapa bulan setelah M. J. Melalatoa dipanggil oleh Sang Khalik akibat sakit yang dideritanya.

M. J. Melalatoa  yang lahir di Takengon pada tanggal 26 Juli 1932 adalah seorang akademisi, peneliti sekaligus penulis dan seniman. Dalam hidupnya ia telah mengaktualisasikan Gayo ke ranah ilmu pengetahuan dan kajian-kajian ilmiyah, bahkan juga promosi ke dunia luar melalui kemampuan dan keahliannya. Banyak hal yang ia tulis tentang masyarakat dan alam Gayo, mulai dari sistem sosial, adat-istiadat, budaya, hukum, pertanian, sejarah, bahasa serta kesenian yang kesemuanya dalam kacamata antropologi, seni dan sastra.

Luka Sebuah Negeri, Puisi Etnografi adalah buku penting dalam dunia sastra dan dalam karya sastra yang etnografis. Buku ini berisi tidak kurang dari 21 judul puisi yang ditulis dengan tahun penciptaan antara 1980-an hingga tahun 2000-an. Sebuah hasil ekspresi dan kontemplasi seorang akademisi Gayo yang tidak sembarangan. Di dalamnya mengandung unsur etnik yang sangat kental, pesan moral yang tinggi serta aktualisasi masa silam yang direkamnya menjadi sebuah transformasi nilai yang tinggi. Petikan puisi cerminan hal tersebut sebagaimana yang termuat pada halaman 70-71 adalah:

Buku-Luka-Sebuah-Negeri-MJ.-MelalatoaKabar Buat Ine

. . . . . . . .
“Perempuan bermartabat empu”
nadi yang dialiri darah
-kini telah mulai sendu
Masih kuingat serpihan titahmu:
-kaki melangkah jangan terjah
-tangan menjurah tak serakah
-bibir merekah ramah tamah

Sebuah puisi yang syarat makna dan pesan luhur, direaktualisasikan oleh M. J. Melalatoa sebagai hasil rekaman atas interaksi dan pesan dari ibu kandungnya yang ia panggil dengan “Ine”. Inilah barangkali salah satu alasan mengapa puisi-puisi karya M. J. Melalatoa yang terangkum dalam buku ini disebut dengan “Puisi Etnografi”, puisi yang berkisah dan puisi-puisi yang mengisahkan tentang kearifan dari sejumlah etnik yang ada di Indonesia termasuk kearifan budaya Gayo. Sebagaimana kata Richards (1985) bahwa graphein adalah tulisaan atau uraian, sedang etnografi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu etnik.

Pada bagian awal buku ini termuat tiga catatan khusus yang ditulis oleh para kolega untuk menggambarkan sosok M. J. Melalatoa, kiprah dan eksistensinya sebagai bagian dari Civitas Akademika Universitas Indonesia (UI) sekaligus sebagai seorang ilmuan. Pada bagian penutup sengaja dan turut disertakan tulisan Indira Permanasari dengan judul “Junus Melalatoa, Keragaman Itu Adalah Kekayaan” yang telah dimuat pada koran nasional Kompas pada 30 Desember 2004. Di antara catatan-catatan khusus inilah karya puisi M. J. Melalatoa ditempatkan, seolah sebagai bagian dari pengayoman dan penghormatan, apresiasi serta rasa kehilangan yang mendalam.

Sebagai salah seorang antropolog penting, M. J. Melalatoa telah memberi warna dan turut “membesarkan” disiplin ilmu Antropologi di Indonesia. Sebagai pendidik ia juga telah menunjukkan pengabdian serta dedikasi tingginya selama empat puluh enam tahun lebih sebagai seorang dosen hingga dikukuhkan sebagai Guru Besar Antropologi. Sebagai peneliti ia juga telah banyak meninggalkan hasil riset serta kajia-kajiannya tentang berbagai suku bangsa dan etnik yang hidup di nusantara. Sebagai penulis ia juga mewariskan banyak catatan-catatan etnografis hasil penelitian dalam bentuk buku, ensiklopedi, jurnal dan lain-lain yang sebagian besar di antara hingga hari ini menjadi acuan dan sumber rujukan berbagai kalangan.

Sebagai seniman, M. J. Melalatoa telah menempatkan diri sebagai akademisi sekaligus seniman sejati. Sebuah profesi dan panggilan sejati yang tak banyak digeluti orang, sebuah perpaduan yang sempurna antara kerja ilmiyah dan kerja estetika yang berbasis “rasa” dan “nilai”. Di Indonesia hanya sedikit orang yang mampu menempatkan akal (ilmiyah) dan rasa (seni) secara bersamaan, akademisi yang seniman juga akademisi yang sastrawan seperti halnya Faruk HT, Subagio, Sapardi Djoko Damono, Budi Darma, Agus R. Sarjono, Eka Budianta dan lain-lain. Terakhir ia adalah akademisi juga aktor seperti halnya yang dilakoni oleh mantan Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Sardono W.Kusumo, M. J. Melalatoa berperan sebagai salah seorang tahanan politik PKI bersama Ibrahim Kadir dalam Film “Puisi Tak Terkuburkan” arahan sutradara Garin Nugroho, M. J. Melalatoa adalah aktor yang bertalen dan berkarakter, salah seorang putra Gayo yang multi aktuality. Ia yang wafat pada tanggal 13 Juni 2006 silam di Jakarta. Allahummagfirlahu warhamhu, a’afihi waghfuanhu.[]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.