Kacamata berbeda melihat dinamika Gayo

oleh

Radhiah Amna*

Radhiah-AmndaPada saat Festival Leuser di Gayo yang diselenggarakan sekitar bulan Mei 2010 yang didukung oleh lima kabupaten di dataran tinggi Gayo, yaitu Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Selatan, dan Singkil. Tema dari festival ini adalah “kami masyarakat pedalaman Aceh, tetapi kami bukan Aceh”. Festival ini sekaligus menjadi upaya untuk memulai terbentuknya sebuah provinsi baru yang keluar dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Ketika Abu Daud Beureueh menggiring Aceh kepergolakan Negara Islam Indonesia, hampir semua Aceh ikut dalam pergolakan tersebut. Namun demikian, ketika Abu Daud Beureueh meninggal dan diganti dengan Teuku Muhammad Hasan Di Tiro, ideologi yang ditanamkan Abu Daud Beureueh mulai melenceng. Hal ini terjadi karena Hasan Di Tiro tidak menginginkan Negara Islam Aceh, melainkan NAD. Impian Hasan Di Tiro ini merupakan jelmaan impian mellinaristik yang ingin mengembalikan kejayaan Aceh seperti pada masa Iskandar Muda.

Hal ini tentu sangat berbeda dengan konsep Negara Islam Aceh yang diusung Daud Beureueh. Oleh karena itu, penerapan ideologi Tiro tidak mendapat dukungan dari seluruh warga Aceh.

Kelompok Aceh Tengah dan Aceh Selatan tidak ingin masuk ke NAD karena faktor sejarah dan juga faktor kebudayaan. Sebagai sebuah kendaraan politik, orang-orang Gayo di pedalaman Aceh menganggap apabila keagungan Aceh Darussalam dikembalikan menjadi NAD, maka posisi dataran tinggi Gayo adalah daerah taklukkan (vassal) dan sumber budak dari kesultanan Aceh. Demikian juga dengan Aceh Selatan yang mayoritas warganya merasa sebagai keturunan dari Sumatera Barat.  Kebanyakan dari mereka di beri gelar “anak jame” atau pendatang, bukan penduduk Aceh. Oleh karena itu apabila Hasan Di Tiro membentuk NAD, maka Aceh Tengah dan Selatan tidak mau bergabung di dalamnya dan keduanya lebih memilih untuk menjadi kantung dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Fenomena di atas menunjukkan bahwa faktor sejarah dan kebudayaan sangat penting untuk dipahami. Orang Gayo dan dataran tinggi Gayo menggunakan mitos “Gajah Putih” sebagai pembenaran bahwa merekalah orang asli Aceh dan asal usul raja-raja Aceh berasal dari mitos “Gajah Putih” ini. Sementara itu, orang yang saat ini mengaku “Aceh” ingin menghapus semua hal tersebut dan memulai lembaran baru dengan berkiblat pada kebesaran Iskandar  Muda.

Mungkin inilah yang terjadi di Singapura dimana kenangan masa lalu dihapuskan dan diminta memulai konstruksi baru berdasarkan kejayaan Raffles. Merekayasa sejarah untuk pembangunan state tentu membutuhkan upaya yang sangat besar.[]

*(Mahasiswi Pascasarjana Univ. Negeri Semarang, Jurusan Social Education)

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.