Dian Alyan; Putri Gayo ibu anak yatim di berbagai penjuru dunia

oleh

Oleh : Win Wan Nur

Dian Alyan bersama Pengurus dan Anak-anak Panti Asuhan Yayasan Noordeen
Dian Alyan bersama Pengurus dan Anak-anak Panti Asuhan Yayasan Noordeen

Pada 13 Oktober 2014 silam, kita dikejutkan dengan munculnya sosok seorang putri Gayo bernama Dian Alyan dalam sebuah tulisan di The Huffington Post, sebuah situs berita berbasis di Amerika yang pada bulan Juli 2012 oleh eBizMBA Rank dinobatkan sebagai peringkat pertama dari 15 situs berita politik yang paling banyak dikunjungi orang di dunia.

Di situs berita yang pada 24 Desember 2014 lalu berada pada peringkat 93 rangking Alexa global ini, Dian Alyan muncul dalam sebuah artikel dengan tajuk [highlight]The New Global Leader, Part IX: Dian Alyan, Building Homes and Futures for Orphans around the World[/highlight] yang kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia, kurang lebih “Pemimpin Global Baru, Bagian IX: Dian Alyan membangun rumah dan masa depan bagi Anak Yatim di berbagai penjuru Dunia”

Dalam artikel ini, Dian diwawancarai oleh O’Brien Browne, seorang penulis yang merupakan pemenang penghargaan “Personal Coach, Intercultural Expert, Public Speaker”.

Dian AlyanPada bagian pembuka artikel ini dalam penjelasan tentang siapakah Dian Alyan. Dikatakan bahwa Dian lahir di Takengon, Aceh Tengah, Indonesia. Dalam perjalanan hidupnya, Dian Alyan telah menjalani kehidupan global yang kaya manfaat. Sebagai mahasiswa cemerlang, traveler global dan eksekutif yang sangat sukses di Procter & Gamble.

Setelah mengalami kejadian tragis kehilangan 40 orang kerabat ketika tsunami yang mematikan melanda Asia pada tahun 2004, ia mendirikan GiveLight Foundation untuk membuat rumah dan memberikan pendidikan jangka panjang untuk anak yatim yang menjadi korban dari bencana ini. Dalam perkembangannya, GiveLight telah diperluas ke berbagai negara lain, seperti Pakistan, Afghanistan, Haiti, Kamboja, Sri Lanka, dan lain-lain yang kesemuanya bertujuan untuk mendukung dan meningkatkan kehidupan anak yatim.

Dian adalah penerima beberapa penghargaan termasuk Woman of the Year, the Leadership Award dan the Humanitarian Award, Dian yang merupakan pendiri/CEO GiveLight ini fasih berbicara dalam bahasa Perancis, Arab, Indonesia / Melayu dan, tentu saja, Inggris. (Sebenarnya Dian masih bisa berbicara dengan fasih satu bahasa lagi, yaitu Bahasa Gayo, tapi ini tidak ditulis oleh Huffington Post.)

Begitulah putri Gayo ini digambarkan oleh media internasional berskala global yang pada bulan oktober 2012 memecahkan rekor pembaca sebuah media online, ketika media ini dibaca oleh 84 juta orang.

Lalu dalam perspektif kegayoan kita siapakah Dian Alyan.

Di Takengen, kota kelahirannya Dian dikenal dengan nama Evi. Dia adalah anak pertama dari 6 bersaudara, karena itulah kedua orang tuanya dipanggil Aman dan Inen Evi. Di Takengen, Evi tinggal di Bale Atu, tepat di depan Mesjid Muhammadiyah, yang sekarang merupakan pusat pengrajin Giok.

Dari pihak bapak, kakeknya berasal dari Paya Tumpi dan neneknya dari Isak. Sedangkan Ibunya berasal dari Ketol.

John Bowen, dalam buku-bukunya yang membahas tentang Gayo sangat sering membahas sosok Evi, untuk menunjukkan bahwa orang Gayo sangat mudah beradaptasi dalam kehidupan modern dan global. Dalam salah satu bukunya Bowen bercerita, bagaimana saat dia melakukan penelitiannya di Gayo, dia mengajari Evi berbahasa Inggris, dan bagaimana antusiasnya gadis kecil itu belajar tanpa ada rasa minder dan canggung.

Evi menghabiskan masa kecilnya sampai lulus SMP di Takengen. Setelah lulus dari SMP Negeri 1 Takengon pada tahun 1981, Evi melanjutkan SMA di Jakarta dan kemudian melanjutkan pendidikannya di IPB. Lulus dari IPB, dia diterima bekerja di Procter & Gamble Indonesia, karena prestasinya, Evi ditarik ke kantor pusat P&G di Ohio, Amerika Serikat dan dipercaya menjabat sebagai Brand Manager di salah satu perusahaan swasta terbesar di dunia ini. Evi adalah satu-satunya wanita Asia yang pernah diberi kepercayaan memegang jabatan itu.

Evi disambut di salah satu Panti Asuhan Givelight Foundation di Bangladesh
Evi disambut di salah satu Panti Asuhan Givelight Foundation di Bangladesh

Di Amerika, Evi bertemu dengan suaminya Ashraf Alyan, seorang pemuda asal Mesir yang saat itu sedang menempuh pendidikan Computer Science di Amerika. Kini mereka berdomisili di California, Amerika Serikat dan telah mempunyai dua orang anak laki-laki.
Seperti yang diceritakan di Huffington Post, pasca tsunami 2004 Evi memutuskan untuk mendirikan Givelight Foundation, sebuah lembaga Non Profit untuk membantu anak yatim. Bukan kebetulan, salah seorang saudara angkat keluarga Evi di Takengen, memiliki pengalaman mengelola Panti Asuhan Budi Luhur selama 40 tahun, nyaris seusia panti asuhan itu sendiri pada saat itu.

Pada saat Givelight Foundation didirikan, saudara angkat tersebut yang bernama Syamsuddin AS yang sama seperti nenek Evi juga berasal dari Isak, sudah pensiun sebagai pegawai dinas sosial sehingga otomatis berhenti sebagai pengurus panti asuhan milik pemerintah ini. Evi dan adik-adiknya memanggil beliau Cik Udin sebagai panggilan akrab dan bagi Evi dan adik-adiknya Cik Udin tidak ubahnya seperti pakcik mereka sendiri.

Bersama Cik Udin Evi kemudian mendirikan “Panti Asuhan Yayasan Noorden “ nama yang diambil dari nama Datu (kakek buyut) Evi yang berasal dari Meulaboh. Datu Noorden di masa mudanya adalah seorang anggota pasukan pahlawan nasional Teuku Umar. Ketika Teuku Umar Syahid, beliau diajak oleh Muhammad Ali, yang juga dikenal dengan nama Tengku 22, untuk hijrah ke Isak. Tengku 22 sendiri adalah seorang pejuang Gayo yang sangat ditakuti Belanda, beliau berasal dari Kute Rayang. Saat itu Tengku 22 adalah pemangku Hukum sekaligus secara de facto adalah pemimpin Isak. Di masa perang dengan Belanda ini, beliau bergabung dengan pasukan Muslimin (bukan kelompok Teuku Umar). Muhammad Ali alias Tengku 22 adalah datu (kakek buyut) dari Syamsuddin AS yang dipanggil Cik Udin oleh Evi.

Di Isak, Datu Noordeen kemudian di ‘angkap’ (dinikahkan) dengan seorang perempuan Isak, lalu sepenuhnya melebur menjadi Gayo dan sampai akhir hayatnya tak pernah lagi kembali ke Meulaboh.

Pada saat awal mendirikan Yayasan Noorden, kendala utama ada dua: 1. tanah untuk membangun panti dan 2. pengelola yang dapat dipercaya untuk menyantuni anak-anak. Untuk memecahkan masalah ini, cik Udin merelakan rumah pribadinya di dedalu untuk dibongkar rumahnya dan diatas tanah strategis itu didirikan bangunan Panti Asuhan Noordeen.

Mulai dari satu rumah di Aceh, Panti asuhan yang dibiayai oleh GiveLight sekarang sudah tersebar di berbagai negara di dunia. Evi, putri Gayo yang dikenal dunia dengan nama Dian Alyan inipun menjadi ibu dari ratusan anak yatim di berbagai negara.

Apa yang bisa kita pelajari Dian adalah, dunia memandang kita sebagaimana kita memandang diri kita sendiri. Selama kita percaya diri, bekerja keras dan melakukan apapun dengan niat ikhlas, dunia akan melihat hasilnya. Dunia tidak akan pernah memandang rendah pada warna kulit kita, asal usul etnis kita. Yang dipandang dunia adalah pribadi dan kualitas kemanusiaan kita.

Evi alias Dian Alyan, putri Gayo asli yang tidak memiliki gelar Doktor di depan namanya ini sudah membuktikan, tanpa perlu menyembunyikan identitas muslim dan Gayonya. Dia bisa diterima dan berbaur dengan normal dengan warga dunia. Dia tidak perlu meniru gaya hidup kebarat baratan untuk membuatnya diterima berbaur dalam komunitas eksekutif Top dunia dan diakui secara internasional sebagai salah satu calon pemimpin dunia di masa depan.[]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.