Catatan Kha A Zaghlul
SELASA, 11 November 2014, menjadi catatan sejarah tak terlupakan bagi Ali Abubakar/Aman Nabila. Bagaimana tidak? Setelah perjuangan panjang dan melelahkan, akhirnya gelar Doktor dalam bidang Fikih Modern dapat diraihnya dengan predikat Terpuji/Istimewa. Disertasinya yang berjudul “Hubungan al-Qur’an dan Hadis: Kajian Metodologis terhadap Hukuman Rajam” mendapat pujian semua anggota tim penguji.
Disertasi ini dibimbing oleh dua profesor ternama dalam bidang fikih dan usul fikih yaitu Prof. Dr. Muslim Ibrahim, MA (UIN Ar-Raniry) dan Prof. Syamsul Anwar, MA (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).
Dalam pertanggungjawaban pembimbing, Muslim Ibrahim mengungkapkan bahwa hanya kesungguhan dan keseriusanlah yang membuat Ali Abubakar dapat menyelesaikan studi program doktor dalam waktu empat tahun, termasuk di antara mahasiswa yang tercepat menyelesaikan studi.
Sidang Promosi Doktor yang dimulai pukul 9.45 WIB itu dihadiri para dosen UIN, beberapa dosen Universitas Syiah Kuala, mahasiswa S3, dan S2. Seperti sidang promosi lainnya, suasana sangat serius tetapi tidak jarang para penguji melontarkan jok-jok ringan sehingga keadaan menjadi meriah. Lebih-lebih ketika Aman Nabila ini juga melontarkan kalimat-kalimat yang membuat dewan penguji dan pengunjung tertawa dan bertepuk tangan.
Para penguji yang terdiri dari Prof. Yusni Sabi, Ph.D, Prof. DR. Syahrizal Abbas, MA, Prof. A. Hamid Sarong, SH dan Prof. DR. Rusydi Ali Muhammad, SH menyatakan bahwa disertasi putra Gayo kelahiran tahun 1971 ini merupakan karya monumental dan penting karena menelorkan kesimpulan-kesimpulan yang selama ini tidak pernah terangkat ke permukaan.
Rajam
Kepada LintasGayo.co putra kelahiran Negeri Antara ini menyatakan bahwa sekarang ini rajam harus dipahami dengan cara yang berbeda dengan yang ada di dalam fikih. Ini karena banyak bagian-bagian hadis rajam yang selama ini tidak muncul ke permukaan sehingga rajam cenderung dipahami dengan sangat kaku dan dianggap sudah final.
“Penelitian saya membuktikan, ternyata hadis-hadis Nabi menunjukkan bahwa rajam cenderung dihindari Nabi dan para sahabatnya. Pada masa Nabi, rajam diberlakukan karena permintaan pelaku sendiri, bukan karena inisiatif Pemerintah,” ujar Ali Abubakar.
Pemerintah hanya sebagai fasilitator. “Jadi kalau sekarang rajam mau ditetapkan seperti cara Nabi berarti harus dengan permintaan pelaku sendiri dan Pemerintah mau menjadi fasilitator rajam,“ tegas Ali.
Bukankah kesimpulan ini akan menjadikan zina yang dilakukan oleh orang yang sudah pernah menikah dianggap sebagai kejahatan yang tidak perlu dihukum? Pertanyaan LintasGayo.co ini dijawab penulis disertasi ini dengan menyatakan bahwa hukuman cambuk 100 kali yang ada dalam surat an-Nur ayat 2 itu sudah cukup berat buat pezina. Tetapi jika Pemerintah ingin membedakan kategori hukuman berdasarkan kategori pelaku, bisa digunakan hukuman tambahan yang dibuat Pemerintah (takzir).
Ditanya suka dukanya, Ali Abubakar hanya tersenyum kepada LintasGayo.co. “Terlalu banyak,” akunya.
“Untuk bisa selesai tepat waktu, harus ada yang kita korbankan. Saya korbankan banyak kegiatan sosial. Menghindari tugas khutbah. Uwet nome turah lebih tir ari tok ni kurik,” lanjutnya.
Tapi kegiatan tetap, njule dan rai anak sekulah atau banyak urusan rumah tangga tetap menjadi perhatian. “Jika tidak begitu disertasi selesai tapi anak isteri terbengkalai. Lalu apa yang kita kejar dengan S3?” pungkas doktor baru UIN Ar-Raniry ini filosofis.