Oleh : Win Wan Nur

Kemarin kita semua disuguhi pemandangan yang belum pernah kita saksikan dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Seorang presiden yang baru dilantik, diantarkan oleh rakyatnya ke istana dengan penuh suka cita. Tak ada jarak antara rakyat dan presidennya.
Tidak tanggung-tanggung, rakyat yang datang mengantarkan Jokowi ke Istana kemarin bukan hanya berdatangan dari sekitar Jakarta. Tapi mereka datang mulai dari Aceh sampai Papua. Dengan kesadaran dan biaya sendiri ke Jakarta.
Fenomena yang terjadi kemarin sebenarnya tidak dapat dikatakan sepenuhnya sebagai sebuah spontanistas. Peristiwa yang terjadi kemarin tidak bisa dilepaskan dari konstelasi politik yang terjadi di senayan pada hari-hari belakangan pasca terpilihnya Jokowi sebagai presiden RI.
Setelah Jokowi resmi dinyatakan sebagai pemenang Pilpres rakyat pemilih Jokowi merasa resah melihat dinamika politik yang terjadi di Senayan.

Rakyat pemilih Jokowi menyaksikan, bahwa presiden yang mereka pilih yang menjadi symbol harapan menghadapi masalah serius di Senayan. Di satu sisi Jokowi menerima tekanan hebat dari koalisi lawan di sisi lain, koalisi kawan, alih-alih bisa menolong malah yang terlihat nyata mereka lebih banyak merongrong dan menjadi beban bagi Jokowi. Dengan berbagai tekanan untuk mendapatkan porsi jabatan.
Dalam posisi seperti ini, mahasiswa yang biasanya menjadi agen perubahan justru tidak bisa diharapkan, entah karena mereka terpaku pada doktrin NETRAL atau karena mahasiswa juga sudah terkotak-kotak menjadi underbow partai-partai. Kita sama sekali tidak melihat ada pergerakan signifikan.
Konstelasi politik yang meresahkan ini memicu kelompok-kelompok relawan, eksponen aksi yang tidak terafiliasi pada partai kembali menyusun dan memobilisasi kekuatan. Memberi tekanan ke parlemen, supaya jangan macam-macam. Wacana untuk menyerbu gedung DPR/MPR dan gedung-gedung DPRD di setiap daerah pada hari pelantikan presiden pun mulai digulirkan.
Tentu saja wacana ini mendapat tanggapan sinis dan melecehkan dari Senayan. Tapi sebagaimana biasanya, ucapan politisi tidak bisa dijadikan acuan. Meski di mulut mereka mengatakan tidak takut, people power tidak mungkin. Tapi sejak wacana ini digulirkan, kita bisa menyaksikan sikap mereka terhadap Jokowi mulai melunak.

Dibantu dengan sikap rendah hati Jokowi yang mau mendatangi tokoh-tokoh politik yang berseberangan. Akhirnya ketegangan pun perlahan hilang.
Dalam perkembangannya ketika tensi sudah menurun. Jokowi kemudian melarang rakyat yang mendukungnya untuk menyerbu gedung DPR/MPR di hari pelantikan. Rakyat pendukungnya mengiyakan. Tapi rakyat pemilih Jokowi tidak sepenuhnya percaya dengan apa yang ditampilkan oleh politisi Senayan. Jadi akhirnya diputuskan, energi yang sudah terbangun tetap harus disalurkan. Ini juga sekaligus merupakan sikap waspada kalau politisi di Senayan berani macam-macam. Gerakan yang tadinya dimaksudkan untuk menekan langsung para politisi di Senayan melalui demonstrasi di gedung DPR/MPR pun diubah menjadi pesta rakyat yang dipusatkan di bundaran HI dan Monas.
Konstelasi menjelang pelantikan Jokowi berkembang begitu dinamis. Mengetahui massa tidak jadi menyerbu senayan. Para politisi kembali bernyanyi, membuat berbagai pernyataan dan manuver seolah-olah semua perubahan konstelasi politik yang melunak menjelang pelantikan ini terjadi secara alami. Tanpa ada pengaruh atau tekanan dari rakyat sama sekali. Meski mereka tahu, akan tetap ada penumpukan massa di hari pelantikan, tapi wacana yang mereka kembangkan penumpukan massa itu hanyalah gerakan massa yang datang karena ada hiburan.
Atas perkembangan yang terjadi ini. Tujuh kelompok aksi JNIB, AL NISBAT, PROJO, SEKNAS, RPJB, KORNAS dan POSPERA yang digawangi oleh para mantan aktivis 98 yang bergabung di dalam PENA 98. Memutuskan untuk tetap menurunkan massa untuk mengawal pelantikan Jokowi. Aksi yang dinamakan sebagai Gerakan Rakyat 20 Oktober, yang disingkat GERUDUK.
Gerakan inilah yang kemarin kita saksikan melakukan arak-arakan membawa Jokowi naik Andong dari gedung DPR/MPR ke Istana Negara, dimana tampak jelas Jokowi begitu dekat dengan rakyat, tanpa takut sama sekali berada dalam kerumunan massa. Aksi yang sebenarnya tidak masuk dalam rencana yang dibayangkan politisi Senayan yang tadinya berpikir hanya akan ada aksi budaya Syukuran di Monas yang akan dengan mudah mereka pelintir dengan mengatakan itu hanya aksi pesta-pesta. Aksi
Nacung Tajuddin, eksponen dari JNIB dengan tegas mengatakan bahwa aksi kemarin adalah untuk menunjukkan kepada partai-partai dan para politisi di Senayan untuk tidak macam-macam. Aksi kemarin juga dimaksudkan untuk memberi pesan kuat kepada Jokowi .

Jokowi harus percaya pada gerakan rakyat, karena di partai Jokowi sudah kalah. Aksi kemarin juga dimaksudkan untuk memberi penekanan kepada Jokowi supaya tidak perlu takut mengambil sikap yang sesuai kepentingan rakyat. Sebab rakyat sudah membuktikan, ketika Jokowi mendapat tekanan dari partai, entah itu berasal dari koalisi kawan maupun lawan. Rakyat siap memberi dukungan, bukan hanya di Jakarta. Tapi juga dari berbagai tempat di Indonesia.
Ketika pasca gerakan ini politisi senayan sebagaimana yang disampaikan oleh Syarif Hasan, ketua harian partai Demokrat di televisi yang masih tetap memandang remeh kekuatan rakyat ini. Dengan mengatakan tidak mungkin ada people power.
Nacung Tajuddin mewakili teman-temannya dengan enteng mengatakan “Syarif Hasan dan politisi manapun, tidak usah banyak omong. Buat saja produk legislasi yang bertentangan dengan kepentingan rakyat. Boleh dicoba dengan menolak PERPPU Pilkada yang diajukan SBY. Lalu mari sama-sama kita saksikan bersama-sama. People power itu nyata atau cuma isapan jempol”
*Pengamat Politik