Dalang “Nume Salahmu” pekerja bengkel yang peduli Gayo

oleh

nume-salahmu

Sebuah film karya Ari Bengsu berjudul “Nume Salahmu” yang dirilis baru-baru ini di Banda Aceh ternyata menyimpan berbagai pesan untuk generasi muda Gayo yang dinilai sudah jauh dari adat dan budaya nya sendiri. Berbagai pesan sosial masyarakat Gayo, adat dan budaya, agama serta kisah asmara di ramu menjadi sebuah karya film.

Meski bukan orang cinematografi, Ari Bengsu (31) berkeinginan membuat karya tersebut sejak Juli 2013 lalu dan selesai pada Maret 2014. Butuh waktu 8 bulan proses pembuatan karyanya itu. Dan dia pun memilih untuk mengajak mahasiswa asal Aceh Tengah dan Bener Meriah sebagai pemain dalam filmnya tersebut.

Kenapa demikian? Ari Bengsu yang bukan berdarah Gayo ini menilai banyak diantara mahasiswa yang sedang menimba ilmu di Banda Aceh menyukai seni namun tidak tau wadah yang tepat mau tersalurkan kemana. Berbekal itulah, Ari yang merupakan pekerja pada salah satu bengkel motor di Banda Aceh, membuat peluang bagi mahasiswa asal Gayo untuk mengembangkan minat dan bakatnya.

Berbekal dari instink yang diasahnya secara otodidak dan telah lama menetap di Gayo sejak orang tuanya merantau ke negeri kopi ini, Ari kian dekat dengan adat dan budaya Gayo, walaupun bukan terlahir dari darah Gayo. Dia sangat menyukai adat dan budaya Gayo itu, terutama “Opat Sumang” yang merupakan adat yang selalu dipegang teguh oleh urang Gayo sendiri.

Tapi kenyataan di lapangan sangat berbeda, dia pun miris akan generasi Gayo yang tak mau peduli lagi akan adat dan budayanya, terutama pada pemakaian identitas Gayo tat kala menempuh pendidikan di luar Gayo. Mereka pun enggan memakai bahasa Gayo yang merupakan identitas dasar urang Gayo sendiri. Mereka lebih suka memakai bahasa Indonesia, padahal identitas bahasa Gayo sangatlah penting dipertahankan.

“Sejak lama saya menetap di Banda Aceh, perasaan miris ada melihat generasi Gayo disana, mereka enggan menggunakan bahasa daerah Gayo padahal mereka berkomunikasi sesama urang Gayo, atas dasar itulah film ini saya garap, agar menjadi pelajaran bagi kita semua urang Gayo,” kata Ari Bengsu kepada LintasGayo.co beberapa waktu lalu.

Dia mengatakan, film yang digarapnya tersebut lebih menekankan kepada aspek sosial dan budaya Gayo sendiri, dan kisah asmara dalam film tersebut adalah bumbu yang juga sarat akan makna dan pesan kepada orang tua Gayo saat ini yang kurang menjalin silaturrahmi antar kerabat jauhnya, sehingga muncul peristiwa dalam filmnya tersebut.

“Kisah asmara dalam film ini juga sarat akan pesan kepada orang tua di Gayo yang mulai meninggalkan ukhuwah (Gayo : Bersiturin) dengan kerabatnya, orang tua Gayo seakan lupa memperkenalkan kepada anak-anaknya dimana handai taulan nya berada, anak-anak tersebut lalu pergi ke merantau menempuh pendidikan, disitulah mereka jumpa dan menjalin asmara, lama kelamaan mereka tau bahwa mereka adalah kerabat dekat dan tak boleh untuk menikah, tidakkah kita malu akan hal itu, Gayo yang saya tau tidak boleh melakukan pernikahan sesama kerabat,” terang Ari Bengsu.

Dia mengharapkan, film yang digarapnya memakai modal sendiri tanpa ada bantuan pihak lain tersebut dapat membuka kembali mata urang Gayo dalam mempertahankan adat dan budayanya. Karena sudah terlanjur cinta akan tanoh Gayo, Ari Bungsu pun bertekad menyampaikan pesan moral serta adat dalam film yang digarapnya itu bersama dua orang cameran dari Aceh Utara dan Samalanga, sedangkan naskah dan skenario dibuat sendiri.

Selain menyampaikan pesan kepada generasi Gayo, Ari Bengsu juga menciptakan peluang bisnis baru. Tahap awal, Ari mencetak film nya tersebut sebanyak 1000 copy dalam, dia pun memilih bekerjasama dengan salah satu rumah produksi di Banda Aceh. Di Gayo sendiri filmnya baru beredar beberapa hari belakangan ini, 400 keping sudah terjual di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, selebihnya dia menjual di Banda Aceh.

(Darmawan Masri)

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.